Minggu, 14 April 2013

PERLAWANAN RAKYAT SAROLANGUN MENGHADAPI 
AGRESI MILITER BELANDA KE II

Sepuluh hari setelah Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia diduduki Belanda, Kota Jambi diserang dari udara menerjunkan pasukan payung dan dari laut menggunakan berbagai jenis kapal perang. Perlawanan oleh TNI untuk mempertahankan kota dan lapangan terbang Pall Merah dilakukan dengan peralatan yang kurang memadai. Pemimpin tentara dan sipil pada malam hari meninggalkan Kota Jambi karena kota sudah dikepung tentara Belanda. 

Setelah Belanda menduduki Kota Jambi dan melancarkan operasi militernya ke berbagai tempat dalam daerah Keresidenan Jambi, pasukan TNI yang tersebar di berbagai tempat melakukan konsolidasi kesatuan-kesatuannya sebagai persiapan untuk mengadakan serangan balasan dengan menggunakan teknik perang gerilya. Demikian pula dengan pasukan-pasukan pejuang rakyat dalam kesatuan laskar-laskar dan barisan-barisan perjuangan. 

Pada 13 April 1949 Belanda menyerang pertahanan TNI di Desa Pauh Sarolangun dan mendapat perlawanan sengit dari TNI. Oleh karena persenjataan tidak seimbang, pasukan H. Teguh mundur sehingga hari itu Belanda dapat menguasai Desa Pauh. 

Esok harinya Belanda meneruskan penyerangan ke arah Sarolangun, tetapi mereka mendapat kesulitan karena TNI dan para pejuang telah membuat rintangan dengan merobohkan pepohonan serta memutuskan beberapa jembatan. Tentara Belanda melakukan serangan darat, sungai, dan udara menyerang pos-pos pertahanan TNI yang berada di Dusun Batu Ampar, Lidung, dan Ladang Panjang. Serangan tentara Belanda ini mendapat perlawanan sengit dari pihak TNI. 

Sarolangun saat itu dipertahankan oleh satu kompi dari Batalyon Gajah Mada yang dipimpin oleh Kapten R. A. Rahman Kadipan dan beberapa perwira lainnya, antara lain Letnan Satu A. Sama, Letnan Dua M. Nawawi, Letnan Dua Mahmud Maloha, seorang perwira Jepang yang berpartisipasi membantu perjuangan Republik Indonesia Mayor Suroto, dan lain-lain.

Melihat situasi semakin gawat dan pasukan Belanda mendekati Sarolangun, berbagai bangunan, seperti asrama TNI eks Banteng, kantor-kantor pemerintahan, dan gudang dibumi hanguskan oleh TNI dibantu rakyat pejuang. Pemerintahan Kewedanan dipindahkan ke Karsio. Pada 18 April 1949  Belanda menduduki Sarolangun. Komandan Sektor 1012 R. A Rahman Kadipan bersama pasukannya mengundurkan diri ke Desa Tanjung Batin VIII arah Bangko. Sementara itu Komandan Sub Sektor 1012 Letnan Muda Nangyu bersama pasukannya membuat rintangan dengan menebangi pepohonan untuk direntangi di tengah jalan raya dan beberap jembatan diputuskan. Untuk mendampingi Komandan Sektor 1012 Kapten A. Rahman Kadipan diangkat A. Roni sebagai camat militer dan Rasyiddin Amin sebagai penerangan yang dapat menyelamatkan pemancar radio. Dengan bantuan pemancar radio yang dikelola Rasyiddin Amin inilah STD dapat berhubungan dengan para pejuang di daerah lain, bahkan sampai di daerah Aceh dapat memonitor situasi perang gerilya.

Saat jatuhnya Pauh dan Sarolangun Komandan Batalyon Gajah Mada mengangkat 1). H. Teguh sebagai Komandan Sektor Bangko dan Pemenang dengan wakil Letnan Dua J. Henulili yang berkedudukan di Pemenang; 2). Kapten R. A. Rahman Kadipan sebagai Komandan Sektor Tanjung Batin VIII dengan wakil Letnan Muda Nangyu yang berkedudukan di Dusun Tanjung; 3). Letnan Satu Tasrif sebagai Komandan Sektor Rantau Panjang Margoyoso dengan wakil Sersan Mayor Kadet R. Soehoer yang berkedudukan di Rantau Panjang.

Setelah dua hari Sarolangun diduduki Belanda, pasukan kecil TNI yang terdiri dari 8 tentara yang dipimpin oleh Letnan Muda Nangyu bermaksud membongkar jembatan Sarolangun yang terletak di Dusun Bernai. Baru saja mulai membongkar jembatan, penduduk Dusun Bernai memberitahukan bahwa Belanda sudah berada di Dusun Lidung yang jaraknya kurang lebih 7 km. Akhirnya belum selesai membongkar jembatan, Nangyu dan anak buahnya mundur dengan menebang pepohonan untuk rintangan jalan sampai Dusun Sungai Baung. Di Dusun Sungai Baung terdapat pasukan TNI/CPM yang dipimpin Sersan Mayor Kasim beserta anak buahnya, antara lain Kopral Sahar dan Prajurit Satar.

Esok harinya satu regu tentara Belanda berpatroli sampai di Dusun Sungai Baung dan terjadilah kontak senjata dengan pasukan Nangyu. Dalam kontak senjata ini tidak jatuh korban yang berarti, hanya seorang anak perempuan berusia 9 tahun terkena peluru nyasar.

Pasukan Nangyu dan Kaim mundur dari Sungai Baung ke Dusun Tanjung Batin VIII, sementara itu Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan bersama 20 prajurit TNI bertahan. Sebelum Belanda sampai di Dusun Tanjung, Letnan Muda Nangyu dan Sersan Ngadul menangkap seorang kaki-tangan Belanda yang bernama Alian. Setelah diintrogasi Camat Militer A. Roni Sani, Ajun Inspektur Polisi M. Ali Hanafiah, dan AIP. II Arijas Syarif, diputuskan hukuman tembak mati pada kaki-tangan Belanda tersebut.

Berdasarkan perkiraan, dalam waktu dekat Belanda akan merebut Dusun Tanjung, atas perintah Komandan Sektor, staf pemerintahan kecamatan yang dipimpin A. Roni Sani dan beberapa anggota polisi mundur ke Karsio, tempat pemerintahan Kewedanaan Sarolangun berada.

Beberapa hari kemudian Belanda menyerang TNI di Dusun Tanjung sehingga terjadi kontak senjata. Oleh karena tidak berimbangnya persenjataan, pasukan Rahman Kadipan berjuang secara gerilya. Dalam pertempuran di Dusun Tanjung ini Prajurit I M. Nur dari TB tertembak kakinya dan seorang pejuang bernama Aliudin dari Dusun Dalam tertembak tangan kanannya.

Setelah pertempuran di Desa Tanjung pasukan yang dipimpin Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan beserta wakilnya Letnan Muda Nangyu beserta para pemuda pejuang mundur secara terpisah-pisah. Ada yang menuju Kubang Ujo dengan menggunakan perahu, termasuk Letnan Muda Nangyu, Sersan Mayor R. Syahbudin, Sersan Simanjuntak, dan lain-lain. Di Kubang Ujo mereka bertemu Letnan Front Pauh. Mereka yang mundur ke Limbur antara lain Sersan Mayor Mat Jangkung, Sersan Wahid Bego, Kopral Rozak Nur, Kopral Prawito, dan beberapa orang lainnya. Mereka membuat pertahanan di Dusun Limbur Tembesi. Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan beserta beberapa orang anak buahnya mundur ke selatan.

Jatuhnya pertahanan TNI di Dusun Tanjung, Belanda mengalihkan kegiatannya ke daerah-daerah lain. Pada pertengah bulan Juli 1949 Belanda menyerbu pertahanan TNI di Kubang Ujo. Adanya kegiatan Belanda tersebut, Komandan STD memindahkan para perwiranya, antara lain: 1). Kapten H. Teguh diangkat menjadi Komandan Kompi I/Sektor Bangko/Pemenang, sedangkan Kapten M. Noer Komandan Sektor Kubang Ujo menggantikan Kapten Rahman Kadipan; 2). Letnan Muda Noorsaga dengan Surat Perintah Nomor 62/SC/1949 Tanggal 25 Mei 1949 dari Sektor 1056 dipindahkan ke Muaro Bungo Sektor 1012, dan digantikan sementara Kapten M. Daud yang selanjutnya pada akhir Juni dipindahkan ke Muaro Bungo dan menyerahkan tugasnya kepada Letnan Dua J. Henuhili.

Saat itu pos pertahanan STD terdepan di Kubang Ujo dipimpin Kapten M. Nur yang dapat berhubungan ke Pemenang dan Bangko. Pertahanan di STD di Pemenang dipimpin Letnan Dua J. Henuhili dengan penempatan pasukan: 1). Satu pasukan 30 orang dipimpin Sersan Mayor Kandung ditempatkan di pinggir Sungai Merangin; 2). di Ilir Dusun ke arah Sarolangun terdapat pos penjagaan 5 orang dipimpin Kopral Darmansyah dengan tugas selain sebagai pos pengawal terdepan, juga memungut 10% bea cukai dari pedagang yang keluar-masuk; 3). gudang perlengkapan (beras, kopi, gula, dan lain-lain) di tempatkan di rumah pasirah dengan dikawal 7 orang yang dipimpin Sersan Mayor Budiman dan Sersan Mayor Effendy; 4); Komandan Sektor Letnan Dua J. Henuhili dengan pasukan sebanyak 20 orang menetap di pinggir pasar Pemenang dengan Pos PHB dipimpin Sersan Mayor Bachrun yang dapat cepat berhubungan dengan Kubang Ujo maupun Bangko (STD).

Pada 25 Juli 1949 Belanda secara besar-besaran menyerang pertahanan, sehingga terjadilah kontak senjata yang hebat di Kubang Ujo. Belanda terus maju dari Kubang Ujo dan sampai di Pemenang pagi hari jam 06.00 tanggal 26 Juli 1949 sehingga terjadi tembak-menembak. Di hari yang sama sekitar pukul 17.00 pasukan Belanda meneruskan penyerangan ke Dusun Sungai Ulak di bawah pimpinan Letnan Dua J. Henuhili yang mundur ke dusun tersebut. Di dusun tersebut berada Mayor Kandung, Sersan Mayor Budiman, Sersan Mayor Effendi, Kopral Mohd. Roem, dan lain-lain. Selain pasukan J. Henuhili terdapat juga pasukan Letnan Dua Tasrif yang datang dari Margoyoso/Rantau Panjang. Saat itu rakyat sedang ramai bersilaturahmi dan TNI pun ikut berlebaran dengan masyarakat setempat.

Pada pos terdepan arah Bangko ditempatkan Sersan Mayor Effendy dan Kopral Mohd. Roem bersama beberapa orang Dusun Sungai Ulak. Tujuan penempatan ini agar kedatangan tentara Belanda dapat segera diketahui. Di Dusun Sungai Ulak sendiri terjadi tembak-menembak antara pasukan TNI yang dipimpin J. Henuhili bersama masyarakat berjuang melawan Belanda. Dalam tembak-menembak ini gugur Achmad Rio Sungai Ulak, Rusdi, Mat Mahi, dan Ibrahim. Rusdi, Mat Mahi, dan Ibrahim adalah anggota pasukan gerilya. Keempat korban tersebut setelah penyerahan kedaulatan makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Bangko. Sejak jatuhnya Kota Bangko, staf STD dan staf Pemerintahan Merangin yang dipimpin M. Kamil pindah dari Muara Siau ke Tanjung Dalam Kecamatan Jangkat.

Pada ahkir Mei 1949 Belanda memasuki Sungai Pinang dan terjadilah pertempuran dengan TNI Sektor Batang Asai yang dipimpin Letnan Satu Sayuti Makalam. Tentara Belanda maju terus ke Batang Asai melalui Dusun Selango dan Payo Sikumbang. Pihak Belanda mengetahui jalan ke desa-desa tersebut atas petunjuk jalan yang dibawanya dari Sarolangun, yaitu H. Wahid, anak Pasirah Sungai Pinang.

Pada awal Juni  1949 tentara Belanda di bawah pimpinan Sersan Mayor KNIL Pattiwael memasuki Kasiro pukul 06.00 pagi. Semua anggota polisi dan aparat pemerintah sipil dapat menyelamatkan diri, kecuali sebuah charge penerangan yang dirampas Belanda.

Dalam upaya merebut kembali Kasiro, pada 8 Agustus 1949 Kapten M. Kukuh sebagai Komandan Sektor TNI Kasiro yang bermarkas di Muaro Talang Batang Asai bersama Letnan Budiman, M. Sayuti Makalam, dan Sersan Mayor Abunsari siap menggempur Kasiro. Pasukan ini berkekuatan 150 orang. Pagi harinya saat pasukan ini berkumpul dan beristirahat di Pondok VII untuk malamnya menggempur Kasiro, tiba-tiba datang seorang kurir membawa surat selebaran yang menyatakan agar semua pihak menghentikan tembak-menembak (cease fire order tanggal 10 Agustus 1945).

Akhirnya pasukan gabungan ini kembali ke posnya masing-masing dan yang tinggal hanyalah pasukan polisi di bawah pimpinan AIP I. Mohd. Ali Hanafiah untuk menghadapi pihak KNIL Sersan Ngairan yang berlakunya caese fire kembali dengan pasukannya ke Sarolangun. (bpx).

-----------------------

Sumber: Perjuangan Rakyat Sarolangun Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda ke II 1949-1950. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi. 2009. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar