Minggu, 19 Januari 2014


MENGENAL RUMAH SEJARAH

Rumah Sejarah merupakan sebuah rumah yang menjadi saksi bisu penyerahan kekuasaan (kapitulasi) dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Jepang. Rumah Sejarah ini merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Subang. 
Rumah Sejarah
Rumah Sejarah terletak di Kompleks Garuda No. 6 Lanud Kalijati, Desa Kalijati Barat, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Bangunan yang bergaya Eropa dengan dinding tembok dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1917 di areal tanah seluas 1.728 m² sebagai rumah dinas perwira Staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di Pangkalan Udara Kalijati. Sebelumnya rumah dinas ini didiami oleh Letnan Jeep Hall, tetapi sejak 4 Agustus 1941 dijadikan markas intel ABDA (American-British-Dutch-Australian), yaitu persekutuan negara Amerika, Inggris, Belanda, dan Australia yang dibentuk di awal tahun 1942 untuk menjaga keamanan Semenanjung Malaya, Singapore, dan Hindia Belanda.

Rumah Sejarah diresmikan sebagai sebuah museum bernama Rumah Sejarah pada 21 Juli 1986 yang pendiriannya atas prakarsa Komandan Lanud Kalijati Letkol PNB Ali BZE. Tujuannya untuk mengenang bahwa di gedung ini diselenggarakan perundingan penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Jepang pada 8 Maret 1942.

Tugu Peringatan Kapitulasi
Seperti diketahui pada 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa, yaitu Merak, Eretan, dan Kranggan. Tentara Jepang yang mendarat di Eretan sebanyak 3.060 personil dilengkapi kendaraan lapis baja dan sepeda menuju pangkalan udara Kalijati. Mereka menyerang pangkalan udara Kalijati dari darat dan udara, sehingga sat itu juga pengkalan udara dapat dikuasai tentara Jepang. Penyerangan tentara Jepang diteruskan menuju Bandung, bersamaan dengan pergerakan pasukan Jepang yang mendarat di Merak menuju Jakarta, dan pasukan Jepang di Kranggan menuju Semarang. 

Sebelum tentara Jepang menyerang Bandung, Panglima Belanda (Jendral Ter Poorten) mengirim utusan menghadap komandan Jepang di Kalijati, yaitu Kolonel Sodji untuk mengadakan perundingan. Selanjutnya Kolonel Sodji memberitahukan kepada panglima tertinggi Jepang yang berada di Jakarta, yaitu Jendral Imamura bahwa panglima tentara Belanda yang berada di Bandung mengajukan perundingan perdamaian.

Jendral Hitoshi Imamura
Pada 8 Maret 1942 berlangsung perundingan antara pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin oleh Jendral Ter Poorten dengan pemerintahan Jepang yang dipimpin oleh Jendral Hitoshi Imamura disaksikan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Pada pukul 17.00 naskah perundingan ditandatangani dan Belanda menyerah tanpa syarat untuk seluruh wilayah Hindia Belanda.

Di Jambi sendiri penyerahan kekuasaan (kapitulasi) berlangsung melalui pertempuran sengit. Di bawah pimpinan Kolonel Namura beberapa kedudukan pasukan Hindia Belanda di Jambi dapat dikuasai pasukan Jepang, seperti Sarolangun pada 23 Februari 1942, Muarobungo pada 28 Februari 1942, Muaratebo pada 4 Maret 1942, dan Kota Jambi pad 4 Maret 1942 yang dipimpin Kapten Oreta. Setelah seluruh Jambi dikuasai Jepang, pada 10 Maret 1942 disusun pemerintahan ala Jepang yang pada dasarnya tetap mempertahankan susunan ketatanegaraan Hindia Belanda. Perubahan hanya pada nama dan istilah, yaitu merubah dari bahasa Belanda ke bahasa Jepang, seperti keresidenan menjadi syu, afdeeling menjadi bunsyu, dan lain-lain. (Budi Prihatna).