Rabu, 20 Maret 2019

SEDIKIT CATATAN MENGENAI PASUKAN BATANG TEBO 
DALAM AGRESI BELANDA KE II 1949

7 Januari 1949
Pembantu Letnan Hoessin Saad selaku KODM Muara Bungo bersama Pembantu Letnan A. Hadi selaku Kepala Seksi Security STD diperintahkan oleh Komandan STD Letnan Kolonel Abundjani berangkat ke setiap marga dalam Kewedanaan Muara Bungo untuk membentuk dan menyusun pertahankan rakyat. kedatangan kedua Pembantu Letnan ini disambut baik oleh rakyat dan pemuda dari marga-marga di Kecamatan Tanah Tumbuh dengan perhatian penuh. Pada saat inilah pertahanan rakyat dapat disusun dan tugas-tugas pertahanan tidak langsung dapat disebarkan sampai ke dusun-dusun dengan kemajuan yang diharapkan. Dalam arti republiken di Kecamatan Tanah Tumbuh ini sudah dapat dipercaya dan diinsyafi. 

17 Januari 1949
Pembantu Letnan Hoessin Saad menerima surat penetapan dari Komandan STD untuk menjadi Komandan Sub Sektor di Tanah Tumbuh yang meliputi 3 marga, yaitu Marga Tanah Sepenggal (Lubuk Landai), Marga Bilangan V (Tanah Tumbuh), dan Marga Jujuhan (Rantau Ikil). Atas usaha yang giat dari Pembantu Letnan Hoessin Saat, pada 20 Februari 1949 dapat dibentuk tenaga-tenaga pemuda menjadi Pasukan Gerilya dengan nama-nama berikut:
  • Pasukan Pemuda Marga Tanah Sepanggal bernama Pasukan Ular Bidai dengan Kepala Pasukan H.Ismael Fahroeddin;
  •  Pasukan Pemuda Bilangan V bernama Pasukan Beruang Api dengan Kepala Pasukan M. Hassan;
  • Pasukan Pemuda Jujuhan bernama Pasukan Harimau Daun dengan Kepala Pasukan Muchammad;
  • Pasukan Pemuda Pelayang bernama Pasukan Elang Berantai dengan Kepala Pasukan Abubakar. 
Barisan dari pasukan-pasukan tersebut di atas diambil dari dusun-dusun dalam marga masing-masing. Dengan terbentuknya pertahanan rakyat ini, pengertian gerilya dan pertahanan tidak langsung dipahami oleh seluruh lapisan rakyat. 

2 Juni 1949
Diresmikannya Staf Pertempuran Gerilya Kecamatan Tanah Tumbuh yang dihadiri Residen Bachsan (Ketua DPD), A. Sjarnoebi (anggota DPD), Inspektur Sabirin selaku Wakil Kepala Polisi Keresidenan Jambi, dan Letnan Suchaimi selaku Wakil Komandan STD. 
Susunan Staf Pertempuran Gerilya (SPG) sebagai berikut:
  1. Ketua: Camat A. Hafar (Kepala Pemerintah Kecamatan Tanah Tumbuh)
  2. Wakil Ketua: Pembantu Letnan Hoessin Saad (Komandan Sub Sektor II)
  3. Pembantu-pembantu: Pip II Sabirin (Kepala Polisi Tanah Tumbuh)
  4. Pembantu-pembantu: H. A. Rachman (DPR)
  5. Pembantu-pembantu:H. Wahid (Pasirah Bilangan V)
  6. Pembantu-pembantu: H. Sari (Pasirah Tanah Sepenggal)
  7. Pembantu-pembantu: A. Kahar (Pasirah Jujuhan)
  8. Pembantu-pembantu: A. Umar (Panitia Pelayang)
  9. Pembantu-pembantu: H. Hanafie (DPR Sungai Landai)
Staf inilah yang bertugas melaksanakan bahan makanan untuk Pasukan Gerilya TNI dan Pasukan-Pasukan Pemuda. 

1-2 Agustus 1949
Dengan pimpinan Pembantu Letnan Hoessin Saad berangkatlah Pasukan Gerilya TNI dan Pasukan Pemuda ke Muara Bungo dengan jumlah kurang lebih 60. Keberangkatan ke Muara Bungo ditujukan mengadakan penyerbuan ke basis tentara Belanda di Muara Bungo. Sampai di sekitar Muara Bungo tepat jam 02.00 pagi dan pasukan saat itu telah tersebar memblok kota, hanya menanti komando berupa letussan pistol yang harus dilakukan oleh Pembantu Letnan Hoessin Saad. Tanpa diketahui, rupanya tentara Belanda mengepung rombongan Pembantu Letnan Hoessin Saat, sehingga rombongan ini mengundurkan diri, tidak dapat melakukan tembakan sebagai komando. Seluruh pasukan kembali ke Teluk Pandak, kecuali rombongan Pembantu Letnan Hoessin Saad yang sangat sulit meloloskan diri untuk kembali ke pangkalan di Teluk Pandak. Sulitnya rombongan Pembantu Letnan Hoessin Saat kembali Teluk Pandak karena tentara Belanda sudah mengdadakan patroli di jalan-jalan kota. 
beransur-ansur rombongan yang dikomandoi Pembantu Letnan Hoessin Saat menuju Teluk Pandak melalui hutan dan sejak malam hingga siang hari angoota rombongan tidak mendapat makanan. Tepat jam 3 siang rombongan pasukan Pembantu Letnan Hoessin Saat sampai di Teluk Pandak, namun semua pasukan yang datang terdahulu sudah mundur ke tmpat pertahanan di Empelu.Setibanya di Empelu rupanya semua pasukan yang datang terlebih dahulu tidak pula mendapatkan makan karena tidak ada beras. Saat itu juga Pembantu Letnan Hoessin Saad berangkat menuju Tanah Tumbuh menemui SPG (Camat Hafar). Beruntung beras ada dan sore itu juga diangkatlah beras oleh rakyat ke Empelu.

3-4 Agustus 1949
Disebabkan pada malam pertama penyerbuan tidak berhasil, Pembantu Letnan Hoessin Saad memilih 4 orang TNI yang berani masuk Muara Bungo untuk mengadakan gerilya. Mereka adalah:
  1. Sersan Mayor Ibrahim Sjamsir
  2. Sersan Mayor Usman Suib
  3. Sersan Arif
  4. Kopral M. Noer
Pukul 03.00 dini hari mereka berada di tengah kota, yaitu di muka Muara Bungo Hotel. Tanpa disadari Sersan Mayor Ibrahim Sjamsir melakukan tembakan ke atas hotel karena informasi di sanalah kedudukan tentara Belanda. Rupanya sebelumnya di siang hari tentara Belanda pindah kedudukan, yaitu ke rumah penduduk dekat mesjid dan hotel didiami oleh Pasukan Polisi Belanda. Adanya letusan senjata Sersan Mayor Ibrahim Sjamsir, tentara Belanda melakukan tembakan pada pasukan gerilya. Pasukan gerilya yang berjumlah 5 orang lalu berpencar melarikan diri sambil melepaskan tembakan. Pada pukul 05.30 pagi kami (pasukan gerilya) selamat sampai di Teluk Pandak. 

13 Agustus 1949
Oleh karena beras tidak ada lagi, pukul 15.30 sore Pembantu Letnan Hoessin Saad berangkat menuju Tanah Tumbuh dan sebagai wakilnya untuk memimpin pasukan yang bertahan di Teluk Pandak diserahkan kepada Sersan Mayor Ramli Taher. Pada tanggal 13 Agustus 1949 pukul 05.30 pasukan gerilya dikepung tentara Belanda atas petujuk seorang penghianat yang tinggal di Teluk Pandak. Penggerebekan tentara Belanda ini dapat menangkap Sersan Mayor Ramli Taher beserta 13 orang anggota TNI lengkap dengan senjatanya. Ketiga belas TNI ini diikat dan diinterogasi untuk menunjukkan keberadaan Pembantu Letnan Hoessin Saad dan pasukan TNI lainnya. Sersan Mayor Ramli Taher beserta 13 orang TNI lainnya tidak bersedia menunjukkan keberadaan Pembantu Letnan Hoessin. Akhirnya mereka dibawa ke Muara Bungo oleh brigade tentara Belanda, dan 1 brigade tentara Belanda lainnya terus melakukan penggempuran ke Lubuk Landai. 
Kebetulan pada hari itu hari pasar, pasar yang ramai tersebut diblokir tentara Belanda dan semua rakyat dikumpulkan dengan pengawalan bersenjata lengkap. Rakyat yang berkumpul diberi penjelasan berupa hasutan bahwa kedatangan mereka untuk menjaga keamanan karenaTNI selalu meminta bahan makan pada rakyat, sedangkan tentara Belanda akan memberi kepada rakyat beras distribusi.Setelah selesai memberikan penjelasan, hari itu juga tentara Belanda terus ke Tanah Tumbuh, tetapi di Tanah Tumbuh tidak dapat mengumpulkan rakyat karena rakyat sudah menyingkir ke hutan bersama para kepala dusunnya. Oleh tentara Belanda, seluruh orang Tionghoa disuruh ke luar dari tokonya untuk menunjukkan keberadaan TNI, tetapi orang-orang Tionghoa tersebut tidak bersedia menunjukkan keberadaan TNI dengan alasan tidak tahu keberadaannya. 
Saat tentara Belanda meneruskan penyerbuannya ke Tanah Tumbuh, Pembantu Letnan Hoessin Saad keluar menuju Pasar Lubuk Landai. Dikumpulkannya rakyat yang mendengar penjelasan tentara Belanda tadi. Pembantu Letnan Hoessin Saad menyabot penjelasan tentara Belanda sebelumnya dengan mengatakan bahwa penjelasan Belanda tersebut semata-mata membujuk dan penjelasan tersebut tidak benar. Pembantu Letnan Hoessin Saad menegaskan bahwa barang siapa menerima beras retribusi Belanda akan ditangkap dan ditembak mati TNI. Selanjutnya Pembantu Letnan Hoessin Saad meminta kepada rakyat untuk melakukan tugas pertahanan tidak langsung, seperti yang telah diberikan cara-caranya. Penjelasan Pembantu Letnan Hoessin Saad dipatuhi rakyat. Tidak lama kemudian tentara Belanda yang hendak kembali ke Muara Bungo tiba, tetapi rakyat sudah lari semua. Tentara Belanda heran bahwa rakyat tidak ada lagi dan mereka katakan bahwa rakyat komunis semua. 

17 Agustus 1949
Pada hari ini dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat memperingati 4 tahun kemerdekaan Indonesia. Pengibaran bendera merah putih dan upacara dilakukan dalam semak-semak di sekitar Pasar TanahTumbuh. Hal ini dilakukan karena khawatir tentara Belanda akan datang tiba-tiba. Pengawalan dilakukan sekuat-kuatnya di front Teluk Pandak oleh Pembantu Letnan Hoessin Saad.

2 September 1949
Sejak padi Pasukan TNI yang dipimpin oleh Pembantu Letnan Hoessin Saad berjaga-jaga di semak-semak sepanjang jalan sekitar Pasar Lubuk Landai. Hal ini karena mendapat informasi dari salah seorang intelejen TNI di Muara Bungo bahwa tentara Belanda akan melakukan patroli sampai ke Tanah Tumbuh. Oleh karena ditunggu hingga jam 16.00 sore tentara Belanda tidak datang, Pembantu Letnan Hoessin Saad memerintahkan semua pasukan keluar dan datang ke Pasar Lubuh Landai untuk makan, sebab dari pagi hari tidak makan.
Tepat pukul 18.15 sore, setelah pasukan makan dan beristirahat, tiba-tiba tentara Belanda 1 brigade datang menggunakan sepeda. Oleh karena tentara Belanda bersepeda dan agak sulit cepat turun dari sepedanya dan suasana remang-remang senja, suatu kesempatan bagi TNI meloloskan diri. Tidak ada seorangpun yang dapat ditangkap tentara Belanda. Tentara Belanda mengetahui bahwa TNI banyak di sana dan karena sudah malam mereka tidak dapat meneruskan perjalannnya ke Tanah Tumbuh. Mereka bermalam di Kantor Pasirah Lubuk Landai. Oleh tentara Belanda semua laki-laki penduduk pasar dikumpulkan untuk dijadikan pagar hidup bagi mereka. Awalnya akan dilakukan penyerangan pada posisi tentara Belanda ini tetapi sangat sulit karena banyak rakyat yang menjadi pagar hidup. Apabila dilakukan penyerangan dengan penembakan, dipastikan banyak korban jiwa rakyat, maka penyerangan dibatalkan.

7 September 1949
Pembantu Letnan HOessin Saad berangkat ke Muara Jujuhan untuk meminjam senapan yang berada di tangan rakyat untuk dipakai TNI. Hal ini dilakukan karena senjata yang dimiliki TNI jatuh ke tangan Belanda saat penggerebekan tentara Belanda pada Pasukan TNI di Teluk Pandak tanggal 13 dan 14 Agustus 1949. Dengan patuh dan insyaf masyarakat Jujuhan menyerahkan senjatanya dan terkumpul 19 pucuk senapan. Berbekal persenjataan ini pada 11 September 1949 berangkatlah Pasukan TNI ke Teluk Pandak untuk mengatur pertahanan baru.

11 Oktober 1949 
Diterima surat dari PMC Belanda di Muara Bungo yang menjelaskan berlakunya gancatan senjata antara tentara TNI dan tentara Belanda. Dengan keragu-raguan dan keberanian, dikirimkan Sersan Arif dan Kopral Zaini sebagai kurir pengantar surat dari Pembantu Letnan Hoessin Saad mengenai cease fire.  Diperoleh jawaban menyenangkan dari PMC dan kedua orang TNI tidak mendapat gangguan dari pasukan Belanda saat kembali ke Teluk Pandak. Sersan Arif dan Kopral Zaini membawa surat balasan dari PMC Belanda yang isinya undangan mengadakan perundingan di Air Gemuruh.

12 Oktober 1949
Pada pukul 09.00 Letnan I Daud, Letnan II Suchaimi, dan Pembantu Letnan Hoessin Saad berangkat ke Air Gemuruh untuk mengadakan perundingan dengan tentara Belanda. Pada pukul 10.00 diadakan perundingan dengan PMC Belanda bernama Vrachter, perundingan untuk menghilangkan permusuhan dan daerah patroli. Perundingan berjalan baik dan pukul 15.30 pasukan TNI kembali ke Teluk Pandak dan PMC Vrachter bersama pasukannya kembali ke Muara Bungo. Kembalinya rombongan tim perunding ke Teluk Pandak disambut seluruh lapisan masyarakat yang juga datang dari Tanah Tumbuh dan Lubuk Landai.

6 November 1949
Residen Bachsan, A. Sjarnubi, dan Komisaris Polisi A. Bastari beserta beberapa staf TNI berangkat ke Muara Bungo untuk mengadakan perundingan dengan para pembesar Belanda di Muara Tembesi.

11 Desember 1949
Pada pukul 17.30 semua Pasukan TNI memasuki Kota Muara Bungo untuk menerima penyerahan dari Pasukan Tentara Belanda.


Catatan:
Naskah ini merupakan dokumen Museum Perjuangan Rakyat Jambi yang ditulis tangan tanpa diketahui penulisnya.



Selasa, 12 Maret 2019

Pasukan Pemuda Gerilya Muara Bungo

Pasukan Pemuda Gerilya Muara Bungo merupakan pasukan tempur beranggotakan 18 orang pemuda yang diketuai Muhd. Jusuf Mauti dibentuk pada 5 Juni 1949. Struktur Pasukan Pemuda Gerilya yang dikenal juga sebagai Barisan Pemuda Marga terdiri dari ketua Muhd. Jusuf Mauti; logistik Abun Sani; Persenjataan Juliar B. J. Atjik, Penasehat Jacub Mauti dan Amad Basjaruddin, dan 13 anggota lainnya. Walaupun merupakan pasukan tempur, Pasukan Pemuda Gerilya ini berada di luar struktur kemiliteran yang berlaku. 

Oleh Komandan Sektor 1012 Letnan Adnan dan Staf STD (Sub Territorium Djambi) Letnan Suhaimi memberi kuasa pada Pasukan Pemuda Gerilya Muara Bungo untuk mengumpulkan senjata api yang ada di tangan masyarakat. Hasilnya diperoleh 14 pucuk senjata api berupa 1 pucuk senapan panjang Belanda, 1 pucuk senapan mauser, 1 pucuk cis, 1 pucuk senapan bouman, 1 pucuk senapan kaliber 16, 6 pucuk kecepek, 1 pucuk pistol colt 42, 1 pucuk pistol/revolver, dan 1 pucuk takagun. Senjata api yang terkumpul selanjutnya diserahkan kepada Komandan Sektor 1012. 

Untuk meningkatkan kinerja pasukan gerilya ini, pada 15 Juni 1949 Letnan Muda Nursaga diperintahkan oleh Komandan Sektor 1012 STD, Letnan Muda Adnan, membantu memberikan bimbingan pada Pasukan Pemuda Gerilya tersebut.

Ilustrasi Pertempuran di Muara Pelepat
Dalam kiprahnya, Pasukan Pemuda Gerilya setidaknya terlibat dalam 4 kali pertempuran melawan pasukan Belanda, yaitu pertama kali bertempur di Muara Pelepat pada 8 Juni 1949. Seperti diketahui pada 5 Juli 1949 Pos Pabean Darurat di Muara Pelepat yang saat itu komandannya Lettu Ramli Amir dan wakilnya Lenan Muda Husin Talib diserang Belanda. Dalam serangan tersebut seorang anggota polisi bernama Mat Keriting gugur tertembak.

Pertempuran kedua terjadi di Dusun Bebeko saat pagi hari tanggal 23 Juli 1949. Pada pertempuran kedua ini jatuh korban seorang anggota Pasukan Pemuda Gerilya dan pada hari itu juga Muara Bungo diduduki tentara Belanda. Didudukinya Kota Muara Bungo tidak menyurutkan semangat Pasukan Pemuda Gerilya untuk menyerang kedudukan pasukan Belanda. Pada 24 Juli 1949 dan merupakan pertempuran ketiga, Pasukan Pemuda Gerilya menyerang kedudukan tentara Belanda di Kota Muara Bungo. Hasilnya, Pasukan Pemuda Gerilya berhasil menewaskan 3 orang tentara Belanda.

Pertempuran keempat atau terakhir terjadi di Tambang Cucur/Tanjung Agung. Pertempuran berlangsung dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore dengan korban 2 orang tentara Belanda tewas. Mengenai peristiwa pertempuran ini Mukti Nasruddin dalam buku Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949 menuliskan:

".... Pada jam 07.30 di minggu pagi pertama bulan September 1949 tentara Belanda memasuki pasar Tanjung Agung, dan terjadilah tembaj-menembak selama lebih kurang setengah jam. Seorang tentara Belanda terluka dan di pihak kita (Indonesia) tidak ada seorang pun terluka. Saat tentara Belanda bergerak mundur kembali ke Muara Bungo, di Tambang Cucur mereka dihadang Pasukan Batang Bungo yang berasal dari Barisan Pemuda Marga di bawah komando Letnan Muda Umar, dan kontak senjata tidak terelakkan. Setelah baku tambak lebih kurang 1 jam Pasukan Batang Bungo terpaksa mengundurkan diri karena datangnya bantuan berupa pesawat penyerang Belanda yang terbang rendah. Pertempuran yang berlangsung satu jam tersebut menewaskan 2 orang tentara Belanda dan 2 lainnya terluka, sedangkan di pihak kita Prada Jum'at tertawan....".

Pada tanggal 28 Desember 1949 Pasukan Pemuda Gerilya memasuki Kota Muara Bungo dan 2 hari kemudian Pasukan Pemuda Gerilya resmi dibubarkan melalui Surat Keputusan dari Sub Territorium Djambi.


Sumber:
Arsip Koleksi Museum Perjuangan Rakyat Jambi.
A. Mukti Nasruddin. Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949. Jambi. Tanpa Tahun.