Senin, 25 Maret 2013

PERTEMPURAN DI BUKIT PALOMON
(Catatan Seorang Pelaku: Raden H. Suhur)


Pada 1 Agustus 1949 dilakukan penghentian tembak-menembak antara Republik Indonesia dengan Belanda sehingga daerah kekuasaan Seksi III Kompi I Batalyon Gajah Mada Sub Territorium Jambi yang meliputi Margoyoso, Rantau Panjang, dan sepanjang Sungai Tabir belum dapat dijamah pihak tentara Belanda. Rupanya, Belanda tidak mempedulikan hal ini. Mereka terus bergerak dari Bangko menuju Rantau Panjang, dan masuk Rantau Panjang pada 13 Agustus 1949.
Memasuki 13 Agustus 1949 saya merasa gelisah, tetapi persiapan yang dapat dilakukan terus ditingkatkan. Pengawalan arah Bangko diteliti kembali dengan memeriksa segala perlengkapan utama, termasuk hubungan telpon dengan pengawalan di Rantau Panjang. 
Komandan pengawal Rantau Panjang sendiri tidak diberitahukan keberadaan saya, karena kahawatir dia diancam Belanda menunjukkan posisi saya. Malam itu saya berpindah-pindah sampai tiga kali, dan terakhir dipilihlah tempat yang diperkirakan kurang dicurigai, yaitu di pondok buruk milik Bapak Wagiran, kira-kira 20 meter dari jalan raya antara Rantau Panjang dengan jembatan Mapun Sungai Tabir. 
Kira-kira pukul 05.00 saya dan Yahya Bay dibangunkan oleh Bapak Wagiran sambil berkata: "Pak ...., Pak ............, wong Londo wis teko". Semula saya kira datang ke pondok kami. Lalu saya mengintip keluar, dan nasib baik rupanya tidak. Mereka datang dengan barisan bersenjata lengkap lewat di depan pondok buruk kami, lalu mampir ke rumah sebelah, yaitu rumah bertiang. 
Dalam keheningan pagi yang diliputi embun, terdengarlah teriakan berikut: "Segh ............., di sini ada tentara?". "Tidak ado tuan ........., Kalau idak percayo periksolah", jawaban dari atas pondok.  Jawaban ini belum berakhir, saya pun bersama Yahya keluar dari belakang rumah Pak Wagiran dan terjun ke sawah, terus mengambil arah Mampun untuk terus ke Dusun Seling. 
Saat terjun ke sawah, kami terjebak ke sebuah pondok nepok di tanah yang orangnya sedang menuang kopi  ke cangkir. Ia terkejut sambil bertanya: "Ado ..... apo ........ pak". "Belando ......". "Silokan minum pak, selagi kepunan". Kami pun minum sebentar lalu meneruskan perjalanan seraya berpesan agar tidak menceritakan tentang pertemuan ini kepada siapapun. 

Di Rantau Panjang ini terdapat 2 orang korban, antara lain Prajurit Tukini dan Paimo, tetapi Belanda belum merasa puas. Dengan dibantu rakyat setempat mereka bergerak ke arah hulu Tabir, yaitu ke Dusun Seling. Untuk menuju arah Muaro Bungo sangat sulit karena kembatan Kotoraya diputuskan, sedang jalan dihalangi kayu-kayu yang ditebang sepanjang jalan sampai batas Muaro Bungo. 

Demikian pula di Seling, terdapat dua orang korban, yaitu Sersan Sawal dan seorang pemuda bernama Baharuddin. Mengenai gugurnya Sersan Sawal perlu dicatat bahwa semula ia tertembak di kaki, tetapi Belanda yang menyuruh menyerah dijawab dengan pekikan merdeka. Dengan pekikan tersebut Belanda mengakhiri hidup Sersan Sawal dengan sebuah tembakan. 

Jika diamati, sasaran Belanda ini ke Ulu Tabir, tetapi di Bukit Mangkuk Kompi I Batalyon Gajah Mada yang dipimpin Kapten H. Teguh berada, sedangkan di jalanan terganggu Seksi III. Beberapa malam berikutnya Belanda bergerak kembali ke arah Ulu Tabir dan sesampainya di Banjar Ganduk menewaskan Kopral Chaidir.

Rombongan kami terdiri dari beberapa orang, antara lain:
  1. R. Suhur            : Sersan Mayor Cadet selaku Komandan;
  2. Yahya Bay         : Kopral CPM selaku ajudan;
  3. Achmad Syah    : Kopral CPM;
  4. Amat Coupun    : Pemuda;
  5. Pasirah Samin    : Pemuda;
  6. Matdis                : Pemuda;
  7. Tiang Panjang    : Pemuda;
  8. Ismail Dukun     : Pemuda;
  9. H. Majid Seling : Pemuda;
10. Sari                    : Pemuda;
11. Yahya                : Prajurit.

Saat menunggu ketentuan penghentian tembak-menembak, beberapa orang anggota jatuh sakit dan beberapa orang meminta izin menjenguk keluarga.

Oleh karena tinggal 6 orang lagi, kami mencari tempat yang dirasa lebih aman lagi, yaitu di Bukit Palomon. Di sini kami tinggal di sebuah pondok kosong milik nenek H. Kasim dan beliaulah yang menahan kami di sana, karena beliau kenal baik dengan orang tua dan mertua saya. Dengan demikian makanan kamipun terjamin dan diurus oleh anak-anaknya Timariah dan Suyah, dan sekali-kali ada antaran dari pondok yang berdekatan dengan pondok kami, yaitu Tipan.

Dengan ketenangan seperti ini, dini hari terdengar letusan (salvo) yang keras. Oleh karena terkejut saya terjun dari pondok dan dalam kegelapan saya tidak dapat bergerak karena masih kesakitan. Salvo yang kedua menyusul dengan komando "Ayo ....... menyerah! ...... een ........ twee ........ drie ....... vier ....! Nah, di saat inilah saya dapat bergerak tiarap ........ merangkak dan akhirnya sampai ke sungai kecil di belakang pondok untuk diseberangi. Nasib baik, Yahya Bay mengikuti dari belakang. Akhirnya sampailah kami di atas bukit di seberang Bukit Palomon.Dalam kegelapan diliputi embun pagi kami bersalaman diiringi kata-kata: "Alhamdulillah ..... kami selamat!". "Tetapi ...... bagaimana kawan-kawan lain?".

Hari berangsur-angsur terang dan dari atas bukit ini nampaklah beberapa orang rakyat memegang cangkul menggali tanah. Tidak lama kemudian orang-orang itu bersama-sama tentara Belanda turun dari Bukit Palomon ke arah Sungai Tabir. Bersamaan dengan itu kami pun turun dari bukit tempat persembunyian. Sesampainya di Bukit Palomon didapati laporan bahwa H. Madjid, Yahya (prajurit), dan Sari gugur dalam gempuran Belanda tadi malam.

Setelah mengucapkan terima kasih kami mohon diri meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Muara Kibul dengan pesan sebagai berikut:
1. Kalau ada orang menanyakan tentang kami, katakan kami juga gugur bersama H. Madjid. Jadi yang dimakamkan bukan tiga orang, tetapi lima orang, termasuk kami berdua.
2. Beras kami yang bersisa setengah kaleng digunakan untuk tahlilan nanti malam.

Amanat ini rupanya dipegang baik, sehingga berita kematian saya itu sampai ke keluarga di Jambi dan mereka pun mengadakan tahlilan. Sekarang tinggal lagi bagaimana saya menghadapi keluarga H. Madjid. Setelah dipertimbangkan baik-baik, saya harus menyerahkan diri pada orang tuanya, H. Saman di Dusun Seling, menerima risiko yang dihadapi.

Dengan penuh haru dan ketakutan saya beserta Yahya Bay pergi ke rumahnya di Seling dan melaporkan tentang kejadian tersebut. Sungguh di luar dugaan, kami mendapatkan jawaban berikut: "Aku idak sedih anakku H. Madjid tewas .... karena ajalnya sudah sampai. Cuma aku minta dengan kawan, patah tumbuh hilang berganti. H. Madjid idak ado lagi .... dan kawanlah gantinyo". Dengan kata-kata tersebut sayapun bersimpuh, dan hingga sekarang terjalinlah keluarga yang harmonis antara saya dengan keluarga H. Saman, H. Isah, H. Muchtar, dan lain-lain.

Tidak lama setelah peristiwa tersebut, timbullah ketentuan garis demarkasi antara Republik Indnesia dengan Belanda di daerah Sungai Tabir, yaitu Dusun Muara Jernih, dan para Komandan TKI dan Belanda yang berbatasan harus mengadakan perundingan. Untuk memenuhi perintah ini, saya bersama Yahya Bay dijemput pihak Belanda menuju Rantau Panjang untuk menentukan perjanjian dan peraturan lalu-lintas bagi rakyat yang keluar-masuk daerah masing-masing. Semula perundingan berjalan lancar, tapi rupanya rakyat yang berpihak kepada Belanda masih belum puas kalau kami masih hidup.

Timbullah berita-berita yang dibuat-buat, pasukan saya dari Ulu Tabir akan menggempur Rantau Panjang sehingga pihak Belanda khawatir. Untuk jaminan saya dan Yahya Bay dimasukkan ke dalam kandang kawat berduri yang terletak di tengah-tengah pasar Rantau Panjang. Setelah tiga hari ditahan, oleh karena tidak ada peristiwa penyerangan kami dilepaskan dengan permintaan maaf dari pihak Belanda. Sebaliknya, kami menghaturkan ucapan terima kasih atas layanan yang diberikan karena dilayani bukan sebagai tawanan. Setelah bebas kami kembali ke daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di Muara Kibul. (Bpx).

Selasa, 12 Maret 2013

PEMBENTUKAN PROVINSI JAMBI 1957
Oleh: Drs. H. Djunaidi T. Noor, M. M

I. Pendahuluan

Dialog hari ini pada hakikatnya adalah suatu penataan untuk menumbuhkembangkan kesadaran sejarah kita, sejarah Provinsi Jambi yang pada 6 Januari 2007 berusia 50 tahun, tahun emas bagi Provinsi Jambi.

Sebagai suatu peristiwa, tanggal 6 Januari tidak mempunyai arti yang begitu mendalam apabila kita memperingatinya sebagai seremonial dalam perayaan suatu upacara formal ataupun non formal saja. Atau tanggal tersebut hanya penanda bahwa umur Provinsi Jambi bertambah 1 tahun. 

Dapat terjadi ada pendapat bahwa yang berlalu tetaplah berlalu kenapa harus diingat-ingat apabila dirayakan. Kita tidak perlu jauh mengambil contoh, hari kelahiran kita (HUT) banyak yang kita rayakan dengan berbagai kualitas dan intensitasnya sesuai kemampuan masing-masing.

Demikian juga dengan tanggal 6 Januari 1957, kita tidak dapat meninggalkan atau melupakan apa sesungguhnya yang terjadi pada 6 Januari 1957 tersebut sehingga menjadi patut dan layak untuk kita peringati. Secara hukum tanggal 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi sebaagai termaktub dalam Peraturan Daerah Provinsi Jambi No. 1 Tahun 1970.


II. Kenapa Harus Diperingati?

Tanggal 6 Januari 1957 sebagai fakta sejarah tertuang dalam Keputusan Pleno Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang memutuskan:

1. Menyatakan Daerah Keresidenan Jambi menjadi daerah otonomi Tingkat I yang berhubungan langsung dengan Pemerintah Pusat; 
2. Mengusulkan sementara Sdr. Djamin Datuk Bagindo sebagai Residen Jambi memangku jabatan Gubernur Provinsi Jambi;
3. Kepada Daerah Provinsi Jambi dalam menjalankan tugas sehari-hari sebelum Dewan Provinsi terbentuk menurut Undang-Undang, pleno BKRD menunjuk 15 (limabelas) orang selaku Dewan Harian;
4. Dengan segera mengirim delegasi kepada Pemerintah Pusat untuk menyampaikan dan memberikan penjelasan sekitar keputusan tersebut di atas guna mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat mengenai pelaksanaannya.

Peristiwa sejarahnya.

a. BKRD bersidang membahas kondisi Jambi yang saat itu sedemikian menghangatnya untuk menjadi provinsi sendiri, lepas dari bagian Provinsi Sumatra Tengah. Keputusan sidang diambil pukul 02.00WIB;
b. Kendati tidak terpaksa, Pleno BKRD pada 5 Januari 1957 merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda Jambi yang berlangsung dari 3 hingga 5 Januari 1957.  Kongres Pemuda Jambi ini dihadiri oleh utusan dari setiap kawedanaan di daerah Jambi, organisasi-organisasi pemuda, organisasi bekas pejuang, dan utusan kampung-mapung dalam Kota Besar Jambi.Kawedanan Jambi tersebut meliputi: Jambi, Bangko, Sarolangun, Muaro Tebo, Muaro Tembesi, dan Kota Besar Jambi.

Kongres Pemuda Jambi memutuskan:
1. Membentuk Badan Kongres Pemuda Jambi yang akan memperjuangkan Provinsi Otonomi Daerah Jambi bersama-sama Badan Kongres Rakyat Jambi;
2. Menuntuk/mendesak Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) segera a)  mengesahkan/menyetujui Pembentukan Dewan Persiapan Provinsi Jambi pada 21 Desember 1956; b) memproklamasikan de facto Provinsi Otonomi Daerah Jambi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957, memutuskan hubungan dengan Provinsi Sumatra Tengah, dan berhubungan langsung ke Pemerintah Pusat;
3. Kongres Pemuda se daerah Jambi bekerja sama dengan BKRD melaksanakan tuntutan tersebut;
4. Jika BKRD tidak bertanggung-jawab atas tuntutan ini, Kongres Pemuda akan menentukan sikap tegas;
5. Kongres Pemuda se Jambi meyakini BKRD menyadari dengan sungguh-sungguh tidak akan mengkhianati perjuangan rakyat Jambi;
6. Resolusi ini disampaikan kepada Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) untuk segera mendapatkan jawaban dalam pleno BKRD pada 5 s/d 6 Januari 1957;
7. Pressure Kongres Pemuda se Jambi mendapat tempat dalam pleno BKRD karena peserta Kongres Pemuda ikut ambil bagian, bahkan ikut serta dalam penandatanganan keputusan BKRD yang bersejarah itu.

Latar belakang peristiwa dapat dicatat dari Konsideran Resolusi Badan Kongres Rakyat Jambi:

1. Tuntutan rakyat Jambi untuk daerah otonom tingkat provinsi dengan menggunakan saluran-saluran demokrasi parlemen berlarut-larut;
2. Janji-janji Pemerintah Pusat kepada utusan-utusan rakyat Jambi yang akan mengabulkan tuntutan rakyat Jambi;
3. Peninjauan-peninjauan dari Pemerintah Pusat di parlemen Republik Indonesia ke daerah Jambi berkali-kali dilakukan.

Perjuangan untuk menjadi provinsi berbenih pada saat pembentukan Provinsi Sumatra Tengah. Saat itu pada sidang Dewan Perwakilan Sumatra (DPS) 17-19 April 1946 di Bukittinggi terpaksa dilakukan voting memasukkan Keresidenan Jambi ke Sub Provinsi Sumatra Tengah bersama Sumatra Barat dan Riau yang dikukuhkan dengan SK Gubernur Sumatra No. 143 tanggal 2 Juli 1946. Aspirasi ini berlanjut bukan saja sebagai sub provinsi administratif, tetapi juga diberikan kewenangan otonomi. Melalui PP No. 8 Tahun 1947 kemudian UU No. 10 tanggal 15 April 1948, Sub Provinsi Sumatra (Utara, Tengah, dan Selatan) dikukuhkan sebagai Provinsi Sumatra. Jambi bersama Sumatra Barat dan Riau menjadi bagian dari wilayah Provinsi Sumatra Tengah.

Pembentukan kabupaten dilakukan melalui Panitia Desentralisasi Sumatra Tengah yang terbentuk pada 2 Oktober 1948 oleh Badan Eksekutif DPR Sumatra Tengah (DPST). Hasilnya adalah 11 kabupaten yang di antaranya Kabupaten Merangin dengan ibu kotanya Muaro Bungo meliputi Kewedanaan Muaro Tebo, Muaro Bungo, Bangko, dan Sarolangun; Kabupaten Batanghari dengan ibukotanya Jambi meliputi Kewedanaan Jambi, Muaro Tembesi, Kuala Tungkal, dan Muaro Sabak. Kabupaten Merangin merupakan alihan dari penyebutan Jambi Ilir. Ibukota Keresidenan Jambi adalah Jambi yang wilayahnya berstatus Kewedanaan Jambi Kota.

Banyak tokoh masyarakat menyatakan keinginan untuk lepas dari lingkungan Provinsi Sumatra Tengah dan bergabung dengan Sumatra Selatan, seperti di awal pembentukan Keresidenan Jambi sebagai bagian dari Keresidenan Palembang di tahun 1901 dan menjadi keresidenan penuh tahun 1908.

Keinginan-keinginan tersebut tidak segera terwujud, karena saat itu lebih banyak menghadapi persoalan dengan Belanda yang ingin kembali bercokol di Indonesia, termasuk penguasaan atas Jambi. Ketegangan politik dan militer dari Agresi Belanda di seluruh Indonesia mendorong pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengadakan rapat dengan Ketua Komisariat Pemerintah Pusat, Mr. T. M. Hasan (Mantan Gubernur Sumatra), Panglima Teritorial Sumatra Kolonel Hidayat, Gubernur Sumatra Tengah Mr. Nasroen, dan beberapa pegawai tinggi lainnya. Rapat tersebut memutuskan membekukan sementara Provinsi Sumatra Tengah. DPR Keresidenan dihidupkan kembali dan diberi kekuasaan penuh untuk melancarkan pemerintah dan perjuangan di keresidenan masing-masing. Pejabat pemerintah saat itu dimiliterisasi dan Jambi dimasukkan ke dalam Pemerintah Militer Sumatra Selatan.

Kondisi seperti inilah terus berlanjut dan di sela-sela itu perjuangan Keresidenan Jambi keluar dari Sumatra Tengah berlanjut hingga tahun 1953. Awal tahun 1954 wacana melepaskan diri dari Sumatra Tengah dan tidak pula bergabung dengan Sumatra Selatan semakin mengkristal untuk mendirikan provinsi sendiri melalui Front Pemuda Jambi, Kongres Pemuda se-daerah Jambi. Hasil konfrensi Pasirah-Pasirah (kepala marga) pada 18 Januari 1955, rapat raksasa Rakyat Jambi di Muaro Tebo pada 18 April 1955, dan dengan tegas dilanjutkan oleh Kongres Rakyat Jambi dalam beberapa kali pertemuan di tahun 1955, berketetapan menuntut Keresidenan Jambi dijadikan suatu daerah otonom setingkat provinsi.

Kongres Rakyat Jambi yang berlangsung pada 15 hingga 18 Juni 1955 di Kota Jambi menghasilkan pembentukan Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang beranggotakan 36 orang. Ketigapuluh enam orang tersebut, 9 orang merupakan hasil pilihan kongres, 16 orang dari unsur kewedanaan dan Kota Jambi, 10 orang mewakili partai politik, dan 1 orang bekas pejuang. Seusai kongres terjadi penambahan 2 orang anggota baru (BKRD).

Kristalisasi tekad pembentukan Provinsi Jambi tidak berjalan mulus. Berbagai pandangan muncul, di antaranya isu keinginan berprovinsi muncul dari parpol tertentu, padahal sejarah mencatat seluruh komponen masyarakat menyatakan upaya tersebut harus diwujudkan. Kendati demikian, memang terjadi pengelompokan. Kelompok pertama ingin menggabungkan Jambi ke Provinsi Sumatra Selatan; kelompok kedua, Jambi tetap berada dalam wilayah Sumatra Tengah; dan kelompok ketiga, sebagai kelompok kecil bertekad Jambi berprovinsi sendiri. Lobi-lobi dan pembahasan berlanjut yang akhirnya tercapai suatu kesatuan tekad Jambi menjadi provinsi sendiri. Berkali-kali para delegasi ke Pemerintah Pusat dan pihak-pihak penguasa lainnya, baik di Sumatra Selatan maupun Sumatra Tengah sendiri. Pemerintah Militer Sumatra Selatan maupun Pemerintah Militer Sumatra Tengah sangat mendukung sehingga terkesan duplikasi kewenangan pemerintah. Hal ini terlihat ketika peresmian Provinsi Jambi pada 8 Februari 1957 dilakukan oleh Penguasa Militer Sumatra Tengah (Dewan Banteng) Letnan Kolonel Ahmad Husein dan disaksikan oleh Panglima Teritorial II Sriwijaya Letnan Kolonel Berlian.

Tuntutan dan pernyaan-pernyataan sikap rakyat Jambi semakin meluas dengan adanya Radio Jambi beroperasi pada 4 Januari 1957. Radio Jambi ini mengudara menggunakan alat kelengkapan Zender Radio Pos, Telepon, dan Telegraf atas dasar persetujuan Kepala Kantor Telekomunikasi Palembang. Radio Jambi ini dikelola oleh Dewan Radio yang dikoordinasikan oleh BKRD dengan pimpinan (Kepala Studio) H. F. Suraty, Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Batanghari.

Perjuangan melalui utusan delegasi yang dikirim BKRD mendapat tanggapan. RRI Jakarta memberitakan bahwa sidang kabinet 8 Januari 1957 menyetujui daerah Riau dan Jambi yang menyatakan menjadi provinsi tersebut belum mempunyai kekuatan hukum dalam bentuk undang-undang. Di bawah koordinasi BKRD dikirim berkali-kali delegasi ke Pusat, Palembang, dan Bukittinggi. Secara internal pun dalam masa seperti itu BKRD mendapat tanggapan-tanggapan pro dan kontra karena lambat dan alotnya mendapat dukungan dari Pusat maupun penguasa militer dari Palembang maupun Bukittinggi.

Menyikapi kelambanan yang terjadi, pada 10 Juli 1957 Badan Harian BKRD mengadakan sidang yang satu di antara putusannya adalah pembentukan Provinsi Jambi agar dikokohkan dengan Undang-Undang Darurat. Keputusan ini mendapat dukungan politis dari DPRD Peralihan Kabupaten Merangin pada 12 Juli 1957, Batanghari 15 Juli 1957, dan DPRDP Kota Praja Jambi pada 15 Juli 1957, Parpol, dan organisasi kemasyarakatan. Persatuan Keluarga Kerinci selain mendukung Pemerintah Provinsi Jambi, juga mengharapkan Kerinci masuk ke Jambi, seperti pernyataan 16 dan 17 Juli 1957 sebagai wujud hasil Kongres Rakyat Jambi 1957. Dukungan dari berbagai lapisan masyarakat juga cukup kuat, misalnya dari Marga Jambi Kecil. Akhirnya yang ditunggu tiba, pada 7 Agustus 1957 (Rabu malam Kemis) kabinet menerima RUU Pembentukan Provinsi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau. Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada 9 Agustus 1957 di Denpasar Bali dalam bentuk Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 dan kemudian UU Darurat menjadi Undang-Undang No. 61 Tahun 1958.

Suasana gembira menyambut de facto dan de jure pendirian Provinsi Jambi, dilanjutkan lagi dengan penempatan figur ketua BKRD H. Hanafi sebagai Gubernur Provinsi Jambi sebagaimana diusulkan dan ditetapkan oleh Sidang BKRD dan dikokohkan oleh Sidang Pleno Gabungan DPRDP Kabupaten Merangin, Batanghari, dan Kota Praja Jambi.

Sesuai Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 wilayah Provinsi Jambi meliputi Kabupaten Merangin, Batanghari, Kota Praja Jambi, dan wilayah-wilayah Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir (semula merupakan bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci). Kemudian dalam UU No. 21 Tahun 1958 tanggal 10 November 1958, Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir menjadi satu kabupaten, yaitu Kabupaten Kerinci yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur KDH Provinsi Jambi M. Yusuf Singadekane atas nama Menteri Dalam Negeri.

Provinsi Jambi sendiri yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 Tahun 1957 dan UU No. 61 Tahun 1958 diresmikan pada 30 Desember 1957 di Gedung Nasional (Gedung BKOW) oleh Pejabat Gubernur Provinsi Jambi Jamin Datuk Bagindo atas nama Mentri Dalam Negeri. Kemudian pada 31 Desember 1957 di kediaman Residen Jambi anggota DPRDP dilantik oleh Pejabat Jambi, dan pada Rapat Pleno 2 Juni 1958 terpilih ketua DPRDP Provinsi Jambi H. Hanafi.

H. Hanafi dari Ketua BKRD dan dipilih sebagai ketua DPRDP kemudian menjadi calon tunggal Gubernur Jambi. Hasil sidang DPRD Provinsi Jambi pada 3 Maret 1958 mengajukan nama H. Hanafi sebagai calon Gubernur Jambi ke Mentri Dalam Negeri. Dalam Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri Sanusi Harjadinata No. Des. 71/15/29 tanggal 24 April 1958 menetapkan H. Hanafi sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi. Oleh karena H. Hanafi terjaring Operasi Sadar oleh Task Force dan beliau ditahan di Palembang, pelantikan dibatalkan dan jabatan sebagai Ketua DPRDP digantikan oleh Murat Alwi. Pada tahun 1958 dilakukan kembali pemilihan gubernur dalam Rapat Pleno DPRDP yang hasilnya memilih Letkol. M. Yusuf Singadekane sebagai Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi. (bpx).