Minggu, 30 September 2012

Selempang Merah

Selempang merah merupakan sebuah perkumpulan kebatinan bernafaskan agama Islam yang dibentuk bertujuan mengusir keberadaan pasukan Belanda di Kuala Tungkal. Perkumpulan kebatinan ini beranggotakan masyarakat dari berbagai suku bangsa yang berada di Tanjung Jabung, seperti Banjar, Bugis, Jawa, Melayu, dan lain-lain. Diperkirakan anggotanya berjumlah 3.000 orang yang tersebar di sepanjang pesisir pantai Tanjung Jabung, bahkan sampai Indragiri. Perkumpulan ini merupakan fraksi barisan pejuang Hisbullah yang terbentuk sebelum terjadinya Agresi Belanda ke II (1949) dengan keyakinan perjuangannya didasarkan mengamalkan bacaan-bacaan dari Al-Quran, Hadits, dan amalan para wali.
Tentara Belanda yang berusaha memasuki kota Kuala Tungkal melalui jalur laut menghujani kota dengan tembakan arteleri pada 21 Januari 1949. Sasarannya antara lain tempat ibadah, seperti Mesjid Raya Jami' (Kuala Tungkal Ulu) dan Mesjid Agung (Kuala Tungkal Ilir). Dalam serangan tersebut Belanda meruntuhkan menara Mesjid Agung saat itu sedang ramai jamaah yang hendak melaksanakan shalat. Akibatnya para jamaah membubarkan diri menghindarkan serangan membabi buta dan mengungsi ke berbagai tempat yang dirasakan aman. Selain masyarakat, pengungsian juga dilakukan oleh staf pemerintahan dan TNI. 
Staf pemerintahan mengungsi ke Pembengis yang letaknya 7 km dari kota Kuala Tungkal. Rombongan pengungsi ini diterima oleh Camat Masdar, guru Panak, guru Sanusi, dan lain-lain. Rombongan Letda A. Fatah dan Pasirah Asmuni mengungsi ke Teluk Sialang yang letaknya 9 km dari kota Kuala Tungkal. Mereka diterima oleh Datuk Haji Mustafa dan Datuk Abd. Razak di desa Betara (Sungai Gebar). Rombongan pengungsi lainnya menuju Tungkal I, Pematang Bulu, bahkan Pematang Lumut.
Pada hari yang sama (21 Januari 1949), tepatnya jam 16.00 pasukan Belanda berhasil menguasai Kuala Tungkal. Membalas serangan tersebut, pada 22 Januari 1949 Panglima Adul menemui Kh. M. Daud Arief yang berada di Parit Haji Yusuf (Tungkal V) untuk berkonsultasi rencana serangan balasan. Serangan belasan yang direncanakannya itu dilaksanakan esok harinya (23 Januari 1949) oleh Pasukan Selempang Merah yang dipimpin oleh Abdul Samad. Abdul Samad yang dikenal dengan julukan Panglima Adul berasal dari Desa Parit Selamat berkekuatan 24 orang menyerang kedudukan pasukan Belanda di Kuala Tungkal. Anggota Pasukan Selempang Merah ini bercirikan mengenakan pita berwarna merah. Pada penyerangan ini terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda yang berusaha mempertahankan kedudukannya di Kota Kuala Tungkal.
Pada 28 Januari 1949 satu regu pasukan TNI yang dipimpin oleh Letda A. Fatah L. juga bergerak dari Desa Pembengis menuju Kota Kuala Tungkal untuk melakukan penyerangan. Penyerangan kedudukan pasukan Belanda juga dilakukan pada 13 Februari 1949 oleh gabungan barisan Selempang Merah dan TNI. Penyerangan bersama antara TNI dan barisan Selempang Merah berkekuatan 115 orang. Dalam penyerangan ini Barisan Selempang Merah hanya menggunakan senjata tradisional, seperti parang dan badik. Mereka berangkat dari Parit Selamat menuju Kuala Tungkal dengan pasukan yang terbagi menjadi empat bagian yang masing-masing dipimpin oleh Abdul Samad, H. Saman, H. Nafiah, dan Zaidun.
Dalam penyerangan bersama ini Barisan Selempang Merah dipimpin Panglima Adul, sedangkan TNI dipimpin Serma Murad Alwi bersama Serma Buimin Hasan (CPM) yang bergerak dari Parit Bakau menuju Kuala Tungkal. Penyerangan ini dilandasi keyakinan bahwa apabila gugur mereka mati syahid demi negara, bangsa, agama, dan Kota Kuala Tungkal.
Dalam peristiwa penyerangan ini barisan Selempang Merah menggunakan 11 perahu. Satu di antara kesebelas perahu tersebut (urutan ke 3) bertemu pasukan Belanda di tengah laut, Panglima Adul beserta anak buahnya segera melepaskan tembakan. Seketika itu juga terjadi tembak menembak dan Panglima Adul segera melompak ke laut berenang menuju kapal Belanda. Tujuannya agar dapat naik ke atas kapal Belanda. Saat memegang bagian jangkar kapal, Panglima Adul diberondong peluru senjata Belanda hingga tewas tenggelam di laut Sungai Pengabuan. Gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. A. Hamid, pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh H. Saman yang selama ini mendampingi Panglima Adul dalam penyerangan terhadap Belanda.
Beberapa kali melakukan penyerangan dari laut yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban, para tokoh pemimpin Selempang Merah dan TNI memutuskan mengalihkan penyerangan dari daratan.Untuk melakukan penyerangan melalui darat ke Kuala Tungkal, terdaftar lebih kurang 1.000 orang partisipan, tetapi hanya 441 orang terseleksi ikut dalam penyerangan ini, dan sisanya disiapkan sebagai pasukan cadangan.
Terpenuhinya semua persiapan, pada 23 Februari 1949 di bawah pimpinan H. Saman sejumlah 441 orang yang terdiri dari anggota Barisan Selempang Merah, TNI, Kepolisian, pegawai pemerintah, pamong desa, alim ulama, dan masyarakat lainnya menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. Serangan ini merupakan serangan terbesar dan terbaik persiapannya dibandingkan dengan serangan-serangan yang dilakukan sebelumnya. Dalam penyerangan ini terdapat tokoh-tokoh masyarakat, seperti Mayor Kadet Madhan A.R yang mewakili Komandan Sektor 1023 Front Tungkal Area; H. Syamsuddin selaku Ketua Front Rimba; M. Sanusi selaku Wakil Ketua Front Rimba; Masdar Ajang selaku Camat Tungkal Ilir; Komandan Polisi Zulkarnain Idris; Agen Polisi H. Aini, Dahlan Rayisi, Bustami, dan lain-lain.
Dalam penyerangan ini pasukan dibagi menjadi 21 kelompok yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok dan pemberangkatan dilakukan dari Desa Pembengis. Sebelum subuh menjelang, pasukan yang diketuai oleh H. Saman menyerang Kota Kuala Tungkal dengan membakar rumah-rumah di sekitar tempat yang dijadikan tempat tinggal tentara Belanda. Kurang lebih 3 jam pertempuran, Barisan Selempang Merah mengundurkan diri kembali ke Pembengis dengan korban sebanyak 30 orang pejuang tewas, tidak diketahui korban dari pihak tentara Belanda.
Semenjak penyerangan tersebut, tentara Belanda membuat rintangan-rintangan kawat berduri di sekeliling kamp mereka agar TNI dan Barisan Selempang Merah tidak berani lagi menyerang Belanda. Kenyataannya, TNI dan Barisan Selempang Merah tidak surut menghentikan penyerangannya. Tentara Belanda yang keluar dari kamp mengadakan patroli selalu dihadang oleh TNI dan Barisan Selempang Merah. Pada 8 Maret 1949 kembali gabungan pasukan TNI dan Barisan Selempang Merah berkekuatan 150 orang yang dipimpin H. Saman menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. Dalam penyerangan ini 12 orang anggota Barisan Selempang Merah gugur.
Selanjutnya pada 16 Maret 1949 Panglima Camak, pemimpin Barisan Selempang Merah dari Sungai Undan memimpin 250 pasukan menyerang Kuala Tungkal. Turut dalam penyerangan ini 25 anggota TNI yang dipimpin oleh Mayor Kadet Madhan A.R. Dalam penyerangan ini pasukan diberangkatkan dari Mesjid Tua Pembengis. Oleh karena tidak seimbang persenjataan banyak anggota Barisan Selempang Merah gugur, termasuk Panglima Camak bersama 90 orang anggotanya.
Menyimak uraian di atas, selempang merah merupakan atribut yang dikenakan para pejuang yang tidak semua orang dapat mengenakannya. Untuk dapat mengenakannya mereka harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Barisan Selempang Merah merupakan merupakan barisan pejuang rakyat Kuala Tungkal yang rela berkorban mengusir penjajah Belanda demi mempertahankan kemerdekaan semata-mata karena Allah (bpx).

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. 2009. Perjuangan Pasukan Selempang Merah Menghadapi Agresi Militer ke II di Tanjung Jabung Barat 1949. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Museum Perjuangan Rakyat Jambi.

Rabu, 05 September 2012

Dialog Sejarah:


PAHLAWAN NASIONAL: SULTAN THAHA
(Oleh: Drs. H. Junaidi T. Noor, M.M)

Sultan Thaha Saifuddin adalah Pahlawan Nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden RI No.079/TK/Tahun 1977, tanggal 24 Oktober 1977. Penganugerahan gelar tersebut sebagai penghargaan atas tindak kepahlawanannya dalam membela bangsa dan Negara. Pengharagaan itu memang layak, karena masa perjuangan pahlawan Sultan menentang penjajah Belanda berlangsung lama, yaitu 46 tahun (1858-1904). Perlawanan yang sedemikian lama dengan luas cakupan wilayah yang melebar membutuhkan penanganan dan strategi yang mantap. Semua sumber daya dan komponen pendukung berada dalam jejaring koordinasi dapat berfungsi pada status dan kedudukannya masing-masing. Katakanlah sebagai suatu sistem, perlawanan Sultan dalam masa yang begitu lama ditopang oleh kemampuan strategis dan manajerial yang mumpuni.
Kemampuan mendayagunakan sumber daya perangkat perang atau pasukan, dalam suatu perang gerilya dukungan lingkungan masyarakat di kantong-kantong perlawanan ikut menentukan sifat gerilya itu sendiri. Kekuatan pemukul pada serangan tiba-tiba atau penghadangan pasukan Sultan terhadap pasukan dan patroli Belanda. Selain kemampuan “hit and run”, juga dukungan kemampuan strategi dari mata-mata intelijen dan analisis kekuatan sendiri maupun lawan.
Pengejaran Belanda terhadap mobilitas kedudukan Sultan Thaha sebagai pemimpin besar pasukan Fisabilillah dapat dideteksi Belanda sejak dikuasainya Muaro Tembesi di tahun 1901. Itupun di tahun 1903 Belanda punya keyakinan posisi keberadaan Sultan, yaitu Pematang Tanah Garo.
Terlepas dari legenda adanya tunggangan (kendaraan) dalam wujud dua ekor harimau peliharaan, Sultan Thaha Saifuddin menunjukkan kemampuannya sebagai seorang Panglima, pemimpin perang gerilya dengan strateginya yang terkenal, yaitu bertemu langsung dengan (utusan) Belanda dalam setiap perundingan yang digagas Belanda. Perundingan tersebut sebenarnya merupakan wahana lobi menekan Sultan untuk takluk dan diikat oleh perjanjian.
Strategi perjuangan yang dipatri sumpah setia untuk memegang teguh bahwa “Sultan tidak mati” menimbulkan berbagai versi ketidakpercayaan bahwa yang dimakamkan di Muaro Tebo bukan jasad Sultan Thaha, tetapi jasad salah seorang panglima atau pengawalnya. Belanda jelas tidak dapat memastikan pula karena tidak mengenal wajah dan sosok Sultan Thaha, karena Sultan berpantang berhadapan muka dengan Belanda.
Strategi pemindahan secara cepat dan persebaran front perlawanan, menunjukan perlawanan terorganisir, terangkai dalam komunitas yang fleksibel dan langsung. Strategi pemindahan ini dilakukan melalui tipe berantai maupun melalui cara yang tak kenal lelah.
Selain itu, mengadakan hubungan perdagangan dengan perwakilan dagang atau negara, seperti Turki, Inggris atau Amerika yang ada di Semenanjung Malaka melalui sistem barter hasil hutan dan perkebunan dengan persenjataan maupun suplai kebutuhan hidup Sultan dan pasukannya di daerah uluan DAS Batanghari. Penggunaan kamuflase perahu/ kapal dagang (kapal canon/kenen) ternyata cukup ampuh untuk melewati barikade dan patrol Belanda di DAS ilir Batanghari, termasuk pusat markas Belanda di Jambi maupun di Muaro Kumpeh. Simpul-simpul pasokan kebutuhan Sultan dipegang oleh Pangeran Wiro Kesumo sebagai anggota Pepatih Dalam, sahabat, dan besan Sultan Thaha Saifuddin beserta beberapa orang lainnya.
Alasan perlawanan Sultan Thaha Saifuddin bukan saja adanya markas Belanda di Muaro Kumpeh atau tambahan kekuatan pasukan Belanda. Tambahan pasukan ini didatangkan dari Batavia ke Muaro Kumpeh di bawah pimpinan Mayor Van Langen dengan 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu Belanda pada 25 September 1858, tetapi jauh melebihi itu.
Tekanan Belanda melalui perjanjian Sungai Baung (Rawas) pada 14 November 1833 yang ditandatangani Sultan Muhammad Fachruddin dengan Letkol Michiels begitu menyakitkan hati Sultan Thaha. Betapa tidak, Belanda menguasai dan melindungi Kerajaan Jambi. Bahkan penguasaan itu memberi kebebasan Kerajaan Belanda untuk mendirikan tempat pertahanan di mana saja yang menurut Belanda strategis dan dapat mendukung kepentingan Belanda. Dampak perjanjian ini berdirilah markas patrol Belanda di Muaro Kumpeh yang sejak semula dipandang strategis sebagai pintu keluar masuknya pelayaran DAS Batanghari. Pendirian di lokasi tersebut cukup taktis untuk mengawasi pusat pemerintahan Kesultanan Jambi, baik pertahanan maupun ekonomi melalui perdagangan hasil bumi, perkebunan dan hutan.  
Perjanjian Sungai Baung ini oleh Residen Palembang, yaitu Proeforiut dikukuhkan ke dalam bentuk traktat pada 15 Desember 1834. Dalam traktat tersebut dipertegas ikatan penguasaan yang lebih melebar dengan detail menambah ekspansi sebagaimana dimuat dalam perjanjian tambahan yang kemudian disyahkan parlemen Belanda pada 21 April 1835. Perjanjian ini ditandatangani Sultan Muhammad Fachruddin dan Pangeran Ratu Martaningrat Abdurrahman serta disaksikan para pembesar kerajaan dan keluarga istana Tanah Pilih.
Perjanjian tanggal 21 April 1835 tersebut memberikan kewenangan Pemerintah Belanda memungut cukai ekspor-impor barang-barang. Sebagai ganti rugi, Sultan dan Pangeran Ratu menerima f. 8000 setahun, dan Pemerintah Belanda memiliki hak monopoli penjualan garam. Yang menyakitkan dan ironisnya, dalam perjanjian tersebut dinyatakan Jambi menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam kerajaan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada penggelapan berkenaan dengan cukai yang menjadi hak dan kewenangan Pemerintah Belanda.
Aplikasi perjanjian Sultan Jambi dengan pemerintah Belanda itu menjadi bahan kajian dan rekaman perbandingan dalam diri Sultan. Perbandingan baik ketika menuntut ilmu di Tanah Rencong Aceh Darussalam maupun perjalanan muhibahnya ketika diangkat sebagai Pangeran Ratu mendampingi pamannya yang dinobatkan sebagai pengganti Sultan Muhamad Fachruddin, yaitu Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855).
Pada masa Raden Thaha menjadi Pangeran Ratu ia menyaksikan dan merasakan campur tangan Belanda terlalu jauh, berlindung pada perjanjian-perjanjian yang ditandatangani ayahnya (Sultan Muhammad Fachruddin). Jiwa patriotnya mulai menggelembung. Tanpa musyawarah dengan sang pamannya sebagai Sultan, Pangeran Ratu Thaha Saifuddin mengadakan kontak dengan misi dagang Amerika (Walter Gibson) untuk pembelian senjata. Perjanjian ini merupakan wujud persiapan perlawanannya mengusir Belanda dari Jambi.
Upaya Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam  mempersiapkan perlawanan bersenjata, pembangkangan, dan penghindaran pemungutan cukai diketahui Belanda. Walter Gibson ditangkap dan dibawa ke Batavia. Asisten Residen Strom Van s’Graven Sande dari Palembang dikirim untuk menginspeksi kantor Belanda di Muaro Kumpeh dan menghadap Sultan Abdurrahman Nazaruddin untuk memperingati Sultan agar mematuhi perjanjian (1834,1835) dan melarang memperdagangkan persenjataan. Peringatan ini tidak digubris. Orang Jambi tetap melakukan penghindaran diri dari pemungutan cukai. Orang Palembang tetap mengadakan hubungan dalam jual-beli bahan peledak, mesiu, dan senjata api. Pengawasan Belanda terhadap Kesultanan Jambi semakin keras dan ketat. Akibat tekanan-tekanan Belanda itu menimbulkan ketidaksenangan dan menuai perlawanan. Perlawanan tersebut masih terselubung karena tidak diperkuat peralatan dan perlengkapan yang sebanding dengan peralatan Belanda.
Awalnya perlawanan rakyat Jambi dengan Belanda masih bersifat pemboikotan penjualan hasil bumi, hutan, maupun perdagangan lain yang dimonopoli Belanda. Akibat pemboikotan ini, kantor dagang di Muaro Kumpeh ditutup, karena tidak ada transaksi penjualan hasil bumi kepada Belanda. Kondisi ini tidak diinginkan Belanda. Berbagai upaya untuk mengadakan perjanjian baru terus dilakukan kendati tidak mendapat tanggapaan, apalagi Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam kewenangannya sebagai Perdana Menteri semakin membatasi kemungkinan diadakannya pertemuan dengan Belanda.
Ketika Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dinobatkan menjadi Sultan pada tahun 1856, ia tidak mengajukan restu ke Pemerintah Belanda. Sultan hanya memberitahukan penobatannya, karena yang dibuat melalui perjanjian adalah pelanggaran terhadap kedaulatan Sultan yang mengarah pada jalan pencaplokan kesultanan. Dengan berani Sultan Thaha membatalkan semua perjanjian dengan Belanda yang dibuat secara paksa oleh ayahnya.
Sikap perlawanan yang ditujukan Sultan sangat mengejutkan Belanda. Apalagi beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 1857 Belanda mengetahui Sultan mengutus Pangeran Ratu Martaningrat menyampaikan surat kepada Sultan Turki (masa itu diakui sebagai khalifah dunia Islam) melalui Perwakilan Kesultanan Turki di Singapura untuk mengumumkan larangan campur tangan atas urusan dalam negeri Jambi bagi semua kekuatan di kawasan itu (Taufik Abdullah, 1984). Tak ada jalan lain, Belanda mengancam menangkap Sultan dan membuangnya ke Batavia. Sultan tak gentar, bahkan mempersiapkan pasukan menyerang Muaro Kumpeh.
Belanda kembali menawarkan perundingan sambil memperkuat diri dengan mendatangkan kapal perang dengan 800 personil ke Muaro Kumpeh pada akhir Agustus 1858. Perundingan gagal dan Belanda memutuskan mengirim pasukan ke Jambi, sekaligus mengultimatum Sultan Thaha untuk menandatangani perjanjian baru. Apabila menolak, Sultan akan diganti dan diasingkan ke Batavia. Ultimatum dan pemaksaan ini dijawab Sultan “Kerajaan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan akan kami pertahankan dari perjanjian atau perkosaan oleh siapapun juga dengan tetesan darah yang penghabisan, tidak ada pedoman yang lebih celaka dari pada ketakutan“ (A. Mukti Nasrudin,1986). Sultan semakin gigih mempersiapkan perlawanan.
Tanggal 25 September 1858, Mayor Van Langen dengan kekuatan militernya menyerbu Jambi. Semama 2 hari terjadi pertempuran sengit dan pasukan Sultan terpaksa mundur setelah berhasil menenggelamkan kapal perang Houtman. Istana Tanah Pilih berhasil dikuasai Belanda yang sebelumnya dibumihanguskan oleh Sultan sendiri.
Sebelum terjadinya penyerangan Belanda ke Tanah Pilih Jambi, Sultan Thaha Saifuddin mengadakan pertemuan dengan semua pangeran dan pembesar Kerajaan Jambi. Pertemuan tersebut membahas persiapan bahan makanan yang cukup di basis-basis pedalaman. Mereka juga bertekad tidak akan menyerah kepada Belanda dan tidak berkhianat kepada teman seperjuangan maupun kepada negeri.
Persiapan yang dilakukan dari sisi perlawanan rakyat adalah penggeseran pusat pemerintahan dan perlawanan ke hulu DAS Batanghari berjalan dengan baik. Muaro Tembesi ditetapkan sebagai benteng pertahanan untuk menghadang Belanda dan Markas Komando Pusat Perlawanan, sebagian lain ke Lubuk Ruso dan Dusun Tengah. Untuk menjalankan roda pemerintahan Sultan Thaha di Muaro Tembesi, ditunjuk Pangeran Hadi sebagai Kepala Bala Tentara, Pangeran Singo sebagai Kepala Pemerintahan Sipil, dan Pangeran Lamong dipercaya menjabat Kepala Keuangan (Zuraima,1996). Upaya memperkuat mesin perangnya, selain secara estafet menanamkan semangat juang kepada rakyat, Sultan juga mengadakan kapal dagang pengangkut hasil Jambi ke luar negeri untuk ditukar dengan senjata. Kapal tersebut diberi nama “Canon atau Kenen” yang sebagian besar diawaki pelaut Inggris. Kapal Kenen ini adalah kapal Inggris yang dirombak sedemikian rupa oleh Pangeran Wiro Kusumo dan Temenggung Jafar menjadi kapal dagang.
Bermodalkan persenjataan yang cukup modern di masa itu, Sultan membangun pasukan fisabilillah berkekuatan 20.000 personil dibawah asuhan pelatih yang didatangkan dari Aceh Darussalam. Pasukan fisabilillah ini kemudian dipecah ke dalam tiga Front Komando (Usman Meng, Zuraima: 1996), yaitu wilayah Muaro Tembesi, Batang Tembesi, Serampas, Sungai Tenang, Merangin, Mesumai, Tantan, Pelepat, Senamat, Tabir sampai ke Kerinci berada dibawah komando Tumenggung Mangku Negoro dengan dibantu para Panglima Pangeran H.Umar bin Pangeran H.Yasir dan Depati Parbo. Mulai dari Muaro Tembesi, sepanjang Sungai Batanghari, Batang Tebo, Batang Bungo, Jujuhan, Tanjung Simalidu langsung dipimpin Sultan Thaha dan dibantu oleh saudaranya Pangeran Diponegoro (Pangeran Dipo). Selanjutnya dari Muaro Tembesi kehilir Kumpeh, Muaro Sabak dan Tungkal dibawah Komando Raden Mattaher, dibantu oleh Raden Pamuk dan Raden Perang.
Kepada para panglima di masing-masing wilayah diamanatkan untuk memobilisasi kekuatan rakyat, meningkatkan pertahanan di wilayah masing-masing dan melakukan sabotase atau penyerangan tiba-tiba pada pos-pos atau patroli Belanda tanpa menunggu komando Sultan. Bahkan Raden Anom berhasil merebut beberapa pucuk senjata di Balai Pertemuan dan beberapa pos Belanda di Jambi (April 1895). Serangan mendadak juga terjadi di Sarolangun Rawas (Februari 1890) dibawah pimpinan H. Kedemang Rantau Panjang dibantu beberapa Hulubalang, Belanda sangat terkejut oleh serangan tiba-tiba seperti itu, apalagi didukung oleh peralatan yang cukup modern.
Tidak mengherankan apabila Sultan melakukan pembagian wilayah penyerangan dan penyerangan secara mobil, juga terhadap patroli-patroli yang dilakukan Belanda dalam upaya menangkap terhadap Sultan Thaha. Terjadilah pertempuran sporadis di masing-masing wailayah cukup memusingkan Belanda dan terpaksa Belanda memperkuat pertahanannya dengan mendatangkan marsose (pasukan istimewa) dari Aceh dan Palembang.
Sementara itu, di tahun  1893 Pangeran Diponegoro dan Pangeran Kusen membangun kantor bea cukai di Muaro Sungai Tembesi, Muaro Sikamis, Sungai Aro. Kegiatan ini jelas memukul upaya Belanda memungut cukai atas barang-barang yang dibawa dari pedalaman. Barter hasil Jambi yang dilakukan Sultan tetap berjalan melalui DAS Batanghari tanpa dapat terdeteksi Belanda.
Pihak Belanda pun tidak mengetahui bahwa di jantung Batang Tabir terbangun rumah besak (istana) di Pematang Tanah Garo yang sebagian bahan bangunannya dipasok dari Jambi dan Singapura oleh Pangeran Wiro Kusumo. Bahkan lepas dari pengamatan Belanda di Jambi, Sultan pun sempat melaksanakan pernikahan anaknya dengan Putra Said Idrus gelar Pangeran Wiro Kusumo di rumah besak Pematang Tanah Garo selama satu bulan secara meriah. Ketertutupan pertahanan dan kediaman keluarga Sultan dari pengamatan Belanda ini antara lain adanya kesetiaan pengikut dan rakyatnya atau kemungkinan pengalihan perhatian Belanda yang lebih besar ke daerah lain.
Sumpah setia (Setih Setio) para pengikut mengikuti anjuran Sultan bahwa “Apabila keadaan memaksa untuk menyerah kepada Belanda, berpura-pura lah kamu menyerah. Apabila ada kesempatan Belanda menanyakan dimana tempat Sultan Thaha Saifuddin, janganlah kamu menunjukan tempat itu. Sumpah ini tetap dipegang kuat dan menyebabkan Belanda kewalahan mendeteksi keberadaan Sultan dan pertahanannya.
Medan pertempuran Sultan Thaha berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai garis strategis perlawanannya. Pusat komando tersebar dalam mobilitas kepemimpinan seorang panglima yang konon didukung oleh kemampuan spiritual dan hewan kendaraan (harimau) yang juga setia mendampingi Sultan bergerak dari satu front ke front lain.
Menghadapi ketidakmampuan operasi militer belanda lewat patroli yang sering diserang dengan tiba-tiba atau adanya aral rintang di permukaan sungai, anak-anak sungai DAS, pihak belanda selalu mengupayakan mengadakan perundingan. Sultan dengan teguh hati tetap menolak upaya Belanda tersebut. Sultan tidak mau berunding dan menyatakan: “Saya tidak mau berunding dengan Belanda. Apabila saya berunding (tatap muka) dengan mereka, hilanglah amal saya selama 40 hari “.
Pada tahun 1894, Sultan Thaha akhirnya mengizinkan Pangeran Ratu mengadakan pertemuan dengan Roodt Van Oldenber Nepelt di Muaro Ketalo. Sultan mengikuti perundingan dari kamar sebelah ruang pertemuan. Perundingan tersebut gagal, karena Belanda tetap menghendaki kesultanan Jambi berada dibawah kekuasaan Belanda. Sebaliknya Sultan tetap pada pendiriannya, bahwa urusan Kesultanan Jambi sepenuhnya tidak dapat dicampuri Belanda.
Gagalnya perundingan tersebut, Belanda tetap berupaya menangkap Sultan. Untuk itu penguasa Belanda dengan gencar mengadakan patroli dan menambah personil untuk menggempur pusat pertahanan Sultan di Muaro Tembesi. Sebelum tindakan  militer,  Belanda  mengirim kepala staf angkatan perangnya G.W. Beeger ke Jambi untuk mengkoordinasikan data intelijen dan informasi yang mendukung operasi militer besar-besaran. Peta-peta topografi disempurnakan, terutama mengenai sungai, jalan-jalan tikus antar dusun di daerah Jambi, maupun jalan kecil yang menghubungi Rawas dengan Jambi. Data dan informasi tersebut segera diolah, karena Belanda mendapat informasi yang cukup merisaukan, yaitu adanya penyelundupan senjata api repeater sampai 1500 buah. Pada 4 September 1890 kembali tim intel Belanda dikirim ke sekitar Muaro Tembesi untuk mengamati dan membuat perhitungan strategis militer menyusul adanya informasi pedagang dari Sumatera Barat yang diharuskan membayar cukai di Sungai Aro.
Awal November 1900, kapal-kapal penyelidik bersenjata sudah dekat Muaro Tembesi, tapi show of force itu tidak dilanjutkan, karena Belanda masih tetap berupaya mengadakan perundingan. Selain itu pihak Belanda sedang merampungkan program pembangunan jalan darat dari Jambi ke Muaro Tembesi sebagai sarana pendukung mobilisasi pasukan infantri dan peralatan serta perbekalan perang. Alur-alur sungai pun semakin disempurnakan untuk pengerahan kapal-kapal perangnya dari Jambi.
Kapal-kapal penyelidik belanda yang berlayar sampai hulu Batanghari (Teluk Kayu Putih) tidak mendapat gangguan. Sikap penduduk pun cukup bersahabat, tidak memusuhi Belanda. Rupanya sikap itu sesuai perintah Sultan Thaha agar Belanda tidak mencurigai adanya pos-pos pertahanan pasukan Sultan.
Sultan menilai gangguan terhadap kapal penyelidik tersebut akan berdampak pada mobilisasi pasukan yang lebih besar, sementara itu Sultan sendiri sedang menghimpun kekuatan dan persiapan kemungkinan serangan besar-besaran ke Muaro Tembesi.
Pada 21 Maret 1901 pasukan Belanda dari Palembang tiba dan membangun benteng di Muaro Tembesi tanpa ada bentrokan dengan pasukan Sultan atau Pangeran Diponegoro. Kendati pendudukan Belanda di Muaro Tembesi berlangsung cepat, tapi Belanda tidak berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Sultan dan pasukannya. Para kepala dusun atau rakyat yang dipanggil ambtenar Belanda tetap bersahabat tapi tetap membungkam.
Pencarian terus dilakukan atas dasar laporan Christian tertanggal 20 Februari 1901, bahwa Sultan Thaha berada di Pematang Dipo di Parunusan yang terletak di tepian sungai Tabir. Sungai itu ditebari batang-batang kayu sehingga kapal kecil pun tak dapat melayarinya. Laporan lain, kepada komando angkatan darat menginformasikan posisi penting jalan setapak antara Parunusan ke Pematang yang harus dikuasai untuk masuk ke tempat berkumpulnya para pembesar Kesultanan. Patroli harus sering dilakukan untuk mengganggu konsentrasi Sultan. Dalam laporan tertanggal  12 Juni 1901 disarankan untuk bertindak tegas terhadap Sultan dan menutup Muaro Tabir. Operasi penangkapan terus dijalankan dengan pengerahan pasukan bersenjata atau setidak-tidaknya mendorong Sultan keluar dari persembunyiannya.
Suasana yang dianggap tenang oleh Belanda dalam pendudukan di Muaro Tembesi, ternyata terganggu oleh penyerangan kedudukan kontroler di Sarolangun pada 30 Mei 1901. Pada 6 Juni 1901 beberapa pos di tepi sungai Batanghari juga diserang. Lampu-lampu di seberang Muaro Tembesi berhasil dilenyapkan oleh pasukan Sultan pada 11 Juli 1901 dan pada 27 Juli 1901 pasukan patrol Belanda ditembaki dengan gencar oleh pasukan Sultan. Pada 13 Juli 1901 pasukan Belanda yang sedang berpatroli di Singkut ditembaki sehingga satu orang juru tembak Belanda tews dan dua orang lainnya menderita luka.
Serangan-serangan di Singkut tersebut mendorong Belanda menambah kekuatan pasukan Ambon dari Batalyon Garnizun Magelang. Perlawanan semakin seru walau akhirnya pasukan Sultan meninggalkan Singkut dan tidak seorang pun yang menyerah. Benteng-benteng perlawanan, seperti Tanjung Limbur, Limbur, Merangin, Pelayangan, Sekancing, Limbur Tembesi, Datuk Nan Tigo, Kuto Rayo, Sungai Manau, Sungai Alai, dan Muaro Siau berturut-turut berhasil diduduki pasukan Belanda. Walaupun demikian Sultan Thaha dan pasukannya masih tetap melakukan serangan-serangan bergerilya.
Belanda akhirnya menggerakan pasukan-pasukan yang ada di Bayung Lincir, Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Sijunjung, Tebo, dan Jambi untuk melakukan serangan serentak ke wilayah Tabir setelah didapat kepastian posisi Sultan berada disana.
Tampaknya strategi penyempitan wilayah pertahanan dan perlawanan Sultan yang dilakukan Belanda cukup efektif menjerat posisi Sultan Thaha. Rupanya anti gerilya belanda memutus komunikasi Sultan, Belanda menerapkan serangan ovensif agresif dengan dukungan personil yang banyak dan persenjataan yang kuat. Personil intel yang fleksibel dan akurat prajurit pribumi dan isyarat seorang Demang yang dipaksa Belanda membuka rahasia keberadaan Sultan Thaha..  
Pasukan infantri yang dipimpin Letnan G.Badings menyelusuri Sungai Tabir menuju Bangko Pintas pada 23 April 1904. Juga dari penapalan, Remaji, dan Muaro Sunga Api (Rantau Api) bergerak pasukan infantr pada 25 April 1904. Semua pasukan tersebut serentak maju ke Betung Bedaro. Situasi tersebut disadari Sultan yang pada saat itu berada di Rumah Besak Pematang Tanah Garo. Malam itu tanggal 26 April 1904 Sultan berpesan pada Hulubalang “Menurut gerak perasaan saya kemungkinan besar malam ini akan terjadi pertempuran. Kalau itu terjadi musuh tidak akan dapat menyentuh badan saya hidup-hidup, karena saya tidak rela kulit saya disentuh oleh musuh dan ditawan adalah pantang besar bagi saya”. Malam itu terbukti tekad perjuangan Sultan Thaha yang berjuang sampai titik darah penghabisan ke bumi persada ibu pertiwi. Seiring munculnya mentari di ufuk timur pada 27 April 1904, Sultan Thaha gugur dalam kancah desingan peluru Belanda dengan pedang masih tergenggam di tangan. Benarlah tak ada kata menyerah bagi sang panglima.
Sebagai seorang Panglima, Sultan Thaha Saifuddin memegang prinsip sampai akhir hayatnya tidak pernah mau berunding dengan pihak Belanda. Sultan cukup menyadari bahwa setiap perundingan dengan Belanda pada intinya adalah pengekangan dan intervensi terhadap kedaulatan kesultanan Jambi.
Untuk menghadapi siasat licik Belanda melalui perjanjian yang dipaksakan, Sultan melancarkan perlawanan gerilya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya di bawah pimpinan hulubalangnya dalam tiga front. Selain itu, sikap tidak mau bertemu Belanda semakin memoles sikap politik Sultan dalam menggelorakan semangat perjuanggannya yang belakangan menimbulkan keraguan atas wafatnya Sultan di medan laga Betung Bedaro.
Strategi gerilya Sultan dalam format modern ternyata mendapatkan prlawanan anti gerilya yang cukup ampuh menekan dan mempersempit posisi Sultan yang ditutup dengan serangan frontal ovensif berkekuatan besar. Walapunu kemudian Belanda meyakini perang dengan Sultan adalah perang tanpa perdamaian.
Pada saat terakhir ada upaya perlindungan terhadap Sultan yang dilakukan oleh Pangeran Ratu Martadiningrat pada bulan Desember 1903. Pangeran Ratu kembali ke Jambi dan menyerahkan keris kepangeranan Ratunya “Singamarjayo” kepada Residen Palembang. Tindakan ini dilakukan karena usia Sultan sudah lanjut (87 tahun dan selama 46 tahun dari umurnya dalam perjuangan). Menurut Belanda bersama penyerahan keris Singamarjayo, Pangeran Ratu juga menyerahkan keris “Siginje” sebagai perlambang kekuasaan Kesultanan.
Alur cerita ini seperti pertanda takdir berakhirnya perlawanan Sultan. Sultan Thaha memaklumi sikap proteksi terhadap dirinya dari Pangeran Ratu Martadiningrat, sedangkan Belanda menyikapi langkah itu dengan kesangsian besar bahwa tanpa keris Siginje pun Sultan Thaha akan tetap melakukan perlawanan dan dia pun tetap dipatuhi sebagai Sultan. Oleh karena itu Belanda tetap melakukan pengejaran terhadap Sultan yang tidak menyerah sampai titik darah penghabisan.
Nilai kejuangan Sultan ini tetap relevan bagi kita dalam pembangunan daerah di segala bidang, yaitu tanpa kenal menyerah terhadap berbagai kendala dan keterbatasan. Sistem zoning dalam perkuatan sumber daya merupakan salah satu perkuatan di dalam kita menyikapi wilayah kerja yang terlalu luas. Manajerial dan skill Sultan patut menjadi pegangan dalam penanganan wilayah (bpx).


Minggu, 22 Juli 2012

Pertempuran Durian Luncuk

Durian Luncuk adalah nama sebuah kelurahan di Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Di daerah ini di tahun 1949 terjadi peristiwa penyerangan besar-besaran pada kedudukan pasukan Belanda oleh pasukan STD (Sub Teritorium Djambi) dengan komandan Kolonel Abunjani. 
Peristiwa ini diawali pada 29 Desember 1948 saat pasukan STD yang sedang berbenah diri di Bangko ditembaki pesawat Belanda. Pesawat tersebut menembaki beberapa tempat, seperti kantor Pekerjaan Umum (PU), jembatan Merangin (jembatan H. Syamsuddin), dan iring-iringan kendaraan yang sedang menuju Sungai Manau. Walaupun demikian penembakan tersebut tidak menimbulkan korban jiwa. 
Penembakan ini menimbulkan kemarahan Komandan STD Kolonel Abunjani dan memerintahkan Kepala Staf Mayor Brori Masyur untuk mengumpulkan semua perwira yang berada di Kota Bangko di kediaman Komandan STD. Di dalam pertemuan tersebut terjadi dialog antara Komandan STD dengan para perwira, seperti: "Kito sudah litak dibuat Belanda ... di Jambi kito diserang .... baru beberapo hari di Bangko, kito lah diserang lagi ..... Apokah kito idak sanggup menyerangnyo balik?'. Pertanyaan komandan ini dijawab oleh para hadirin dengan serentak .... "sanggup!!!! Sasarannya pun ditetapkan, yaitu kedudukan Belanda terdekat, di Durian Luncuk.
Persiapan penyerangan mulai dilakukan, terutama persenjataan dan pengangkutannya ke Durian Luncuk. Para perwira pun mulai berangkat ke Sarolangun, Pauh, dan berakhir di Mandiangin. Terakhir sekali yang berangkat adalah komandan dengan mengenakan perahu melalui Sei Merangin menuju ke Mandiangin. Rombongan terakhir ini terdiri dari Kolonel Abunjani sebagai komandan, Mayor Brori Mansyur sebagai kepala staf, Sersan Mayor Cadet R. Suhur sebagai ajudan, Datuk Panglima Putih, Mayor Jepang Suroto, seorang Suku Anak Dalam sebagai penunjak jalan, dan 2 orang tukang kayuh perahu. Sesampainya di Mandiangin rombongan komandan menempati rumah Pasirah H. Arsyad yang letaknya di seberang Dusun Mandiangin.
Setelah beberapa hari beristirahat dan menyiapkan seluruh pasukan, pertengahan Februari 1949 rombongan Komandan STD mulai bergerak menuju Dusun Durian Luncuk dengan berjalan kaki. Sebelum memasuki Dusun Durian Luncuk, di Bukit Peranginan rombongan memasuki hutan agar dapat keluar menyerang dari belakang Dusun Durian Luncuk. Perjalanan memasuki hutan dengan membawa senjata yang berat sangatlah sulit, tetapi risiko dicurigai musuh berkurang apabila dilakukan melalui jalan raya.
Setelah sekian lama berjalan sampailah rombongan di jalan raya, tetapi jalan tersebut masih jauh dari Dusun Durian Luncuk, tepatnya di Dusun Jelutih. Oleh karena masih banyak waktu serangan tersisa, pasukan diistirahkan agar kondisi mereka pulih kembali. Setelah beristirahat, dalam suasana malam yang gelap, pasukan per pasukan bergerak maju hati-hati dengan didahului oleh 2 orang pengintai, yaitu Mayor Jepang Suroto dan Sersan Mayor Cadet R. Suhur. Sebelum melakukan penyerangan pasukan berkumpul di pendakian bukit, di muka rumah Pasirah Sarbaini.
Komandan STD Kolonel Abunjani didampingi Kepala Staf Mayor Brori Mansyur melalui penghubung (ordenans) mengumpulkan semua komandan pasukan untuk memberi perintah sasaran penyerangan pada tempat kedudukan Belanda di Pasar Durian Luncuk dengan pembagian: 1) senapan mesin ringan di sebelah hulu dusun ditangani oleh Letnan Muda Syamsuddin; 2) senapan mesin berat cal. 12,7 di barat camp Belanda ditangani oleh Kapten Daud dan kawan-kawan didampingi Sersan Mayor Cadet P.Cl Lubis yang kemudian membentuk Pasukan B 17; 3) hilir dusun ditempatkan 2 orang yang bertugas memutuskan kabel telpon sehingga hubungan Belanda dengan induk pasukannya di Muara Tembesi terputus; 4) Mayor Suroto akan ber-jibaku menyerbu ke dalam barak Belanda dengan bersenjatakan pedang samurai; 5) di seberang Sungai Tembesi ditempatkan Kapten Sulaiman dengan pasukannya; dan 6) jam tembak pukul 03.30.
Setelah menyocokan jam, Komandan Pasukan masing-masing membawa pasukannya dengan hati-hati di tempat yang ditentukan.Tepat pukul 03.30 tanggal 18 Februari 1949 penyerangan dimulai dan dalam penyerangan ini banyak timbul korban di pihak Belanda.Untuk mengenang peristiwa heroik tersebut, didirikanlah sebuah tugu perjuangan yang dikenal sebagai Tugu Juang Durian Luncuk. (bpx).

----------
Sumber: Ringkasan Latar Belakang Tugu Juang Durian Luncuk Kabupaten Batanghari oleh R. H. Suhur. Makalah Ceramah Kebudayaan Daerah Jambi 1991-1992.

Rabu, 18 Juli 2012

Dialog Sejarah

PERJUANGAN RADEN MAT TAHIR DALAM MENENTANG KOLONIALISME DI JAMBI
(Oleh: Drs. Fachruddin Saudagar, M.Pd.)

Pendahuluan
Salah seorang panglima perang Jambi yang sangat terkenal dan ditakuti Belanda adalah Raden Mat Tahir. Osman Situmorang (1973) dalam skripsinya yang berjudul Raden Mattahir Pahlawan Jambi menuliskan nama asli Raden Mat Tahir adalah Raden Mohammad Tahir. Raden Mohammad Tahir sering dipanggil masyarakat sebagai Raden Mat Tahir. Penulisan nama Raden Mat Tahir menurut berbagai sumber dijumpai berbagai versi, seperti G.J. Veld menuliskannya sebagai Raden Mat Tahir dan atau Mat Tahir; Raden Syarif (1969) menuliskan Raden Mat Tahir; Osman Situmorang (1973) menuliskan Raden Mattahir; Ratumas Siti Aminah Ningrat menuliskan Raden Mat Tahier; J. Tideman menuliskan nama Raden Mat Tahir sebagai Mattaher; Elsbeth Locher-Scholten (1994) menuliskan Mat Tahir; Mukti Nasruddin (1989) menuliskan Raden Mattahir; dan Rumah Sakit Umum Raden Mattaher menuliskan Raden Mattaher. 
Raden Mattaher yang biasa dipanggil Mat Tahir adalah anak Pangeran Kusin Bin Pangaren Adi. Pangeran Adi adalah saudara kandung Sultan Thaha Syaifuddin. Dengan demikian Sultan Thaha Syaifuddin adalah kakek bagi Raden Mat Tahir. Mat Tahir dilahirkan di Dusun Sekamis, Kasau Melintang Pauh, Air Hitam, Batin VI pada tahun 1871. Ibunya kelahiran Mentawak, Air Hitam Pauh yang dahulunya adalah daerah tempat berkuasanya Temenggung Merah Mato. Ayah Raden Mat Tahir, yaitu Pangeran Kusin wafat di Mekkah, sedangkan Mat Tahir sendiri gugur dalam pertempuran melawan tentara Belanda di Dusun Muarojambi pada Jumat subuh, 10 September 1907. Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Jambi di tepi Danau Sipin Jambi.

Perjuangan
Di awal tahun 1900 Raden Mat Tahir bersama Pangeran Maaji gelar Pangeran Karto dan Panglima Tudak Alam dari Mentawak melakukan penyergapan pada konvoi 8 jukung Belanda yang ditarik oleh kapal "Musi" di Tanjung Menyaringan. Kapal dan jukung tersebut membawa senjata, perlengkapan perang, dan perbekalan dari Tembesi menuju Sarolangun. Persenjataan ini diperuntukan Belanda untuk membantu militer Belanda yang sedang bertempur di Benteng Tanjung Gagak. Dalam penyergapan tersebut semua serdadu Belanda tewas dan persenjataan dirampas. Sementara itu, para pegawai dari Palembang dan Jawa yang turut dalam kapal "Musi" menyerahkan diri dan meminta perlindungan pada pasukan Raden Mat Tahir. Dampak penyerangan tersebut nama Raden Mat Tahir menjadi terkenal di masyarakat dan tentara Belanda dan berkembanglah berbagai cerita dan mitos tentang kehebatan Raden Mat Tahir. Oleh Mat Tahir sebagian senjata rampasan dikirimkan ke Tanah Garo, Merangin, Bangko Pintas, Tabir. Berita keberhasilan Raden Mat Tahir yang sampai di telinga Residen Belanda di Palembang membuat ia sangat marah.
Pada tahun 1901, pasukan Raden Mat Tahir kembali melakukan penyergapan pada pasukan Belanda yang berkedudukan di Sungai Bengkal dengan keberhasilan merampas senjata dan karaben Belanda. Dibantu pasukan Raden Usman dan Puspo Ali, dari Sungai Bengkal pasukan Raden Mat Tahir terus bergerak menyerang posisi Belanda di Merlung. Selanjutnya dari Merlung pasukan Raden Mat Tahir terus bergerak ke Labuhan Dagang, Tungkal Ulu. Bersama 40 orang pasukannya, Raden Mat Tahir dari Tungkal Ulu melalui Pematang Lumut bergerak menuju Sengeti untuk menuju Pijoan. Di Pijoan bivak Belanda diserang dan hasil memperoleh banyak senjata karaben. Oleh Raden Pamuk gelar Panglima Panjang Ambur senjata-senjata tersebut diangkut ke Jelatang.
Pasukan Raden Mat Tahir bersama Raden Pamuk dan Raden Perang gelar Panglima Tangguk Mato Alus yang membawa pasukan yang terdiri dari Suku Anak Dalam dari Bahar pada pertengahan April 1901 menyerang pasukan Belanda di Banyu Lincir (Bajung Lincir). Dalam penyerangan tersebut selain menewaskan kepala bea cukai Belanda dan pengawalnya tewas, juga dirampas senjata laras pendek dan uang sebesar f 5.000 serta 30.000 uang ringgit cap tongkat di dalam brangkas perusahan minyak. Dalam penyerangan ini seorang pasukan Raden Mat Tahir tewas dan 3 lainnya luka-luka.
Pada 1902 pasukan Raden Mat Tahir di Tanjung Gedang Sungai Alai melakukan penyerangan terhadap 30 buah jukung yang berisi serdadu Belanda. Jukung berhasil ditenggelamkan dan semua pasukan Belanda tewas. Setibanya pasukan Raden Mat Tahir di Sungai Alai, secara kebetulan sedang berlangsung perang antara pasukan yang dipimpin oleh Panglima Maujud, Pangeran Suto, Panglima Itam dari Tanah Sepanggal, Rio Air Gemuruh, Rio Gereman Tembago dari Teluk Panjang dengan pasukan Belanda. Dahsyatnya perang tersebut membuat masyarakat di sekitarnya tidak berani mengambil air minum di Batang Tebo karena banyaknya mayat pasukan Belanda yang membusuk terapung di sungai.
Setelah bertempur di Sungai Alai pasukan Raden Mat Tahir bergerak menuju Jambi untuk menyerang kedudukan Belanda di Muara Kumpeh. Dalam perang ini pasukan Raden Mat Tahir dibantu oleh Raden Seman, Raden Pamuk, Raden Perang dan para kepala kampung dari Marosebo Ilir serta Jambi Kecil. Kapal Belanda yang diserang adalah kapal perang yang baru datang dari Palembang. Konon keberhasilan penyerangan ini atas jasa seorang juru mesin kapal bernama Wancik yang merusak mesin kapal sehingga kapal tidak mampu berlayar. Juru mesin ini adalah seorang keturunan Palembang yang bersimpati dengan perjuangan Jambi. Dengan keberhasilan menyerang kapal Belanda ini Raden Mat Tahir diberi gelar Singo Kumpeh.

Menangkap Hidup Atau Mati
Menjelang akhir abad 19 Belanda menambah kekuatannya dengan mendatangkan pasukan dari Palembang, Jawa, dan Aceh ke Jambi. Mengantisipasi serangan Belanda, Sultan Thaha Syaifuddin menyusun strategi dengan membagi wilayah pertahanan, yaitu: 1) Raden Mat Tahir ditetapkan sebagai panglima perang yang wilayahnya meliputi Jambi Kecil, Air Hitam Darat, Ulu Pijoan, Pematang Lumut, Bulian Dalam, Ulu Pauh, Payo Siamang, Jelatang, dan Pijoan; 2) Pangeran Haji Umar Bin Yasir bergelar Pangeran Puspojoyo wilayahnya meliputi Batang Tembesi hingga Kerinci; dan Sultan Thaha Syaifuddin bersama Raden Hamzah gelar Diponegoro wilayahnya meliputi Batanghari dan Tembesi.
Strategi yang disusun Sultan Thaha Syaifuddin tidak berlangsung lama karena beberapa pimpinan tewas atau tertawan, seperti Sultan Thaha Syaifuddin sendiri tewas di Betung Bedara pada 27 April 1904; Pangeran Ratu Kartaningrat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Parigi, Sulawesi Tengah; Depati Parbo dari Kerinci ditangkap dan diasingkan ke Ternate; Pangeran Haji Umar Puspowijoyo dan Pangeran Seman Jayanegara tewas di Pemunyian, Bungo di tahun 1906; Ratumas Sina di tahun 1906 ditangkap di Pemunyian; Raden Hamzah tewas di tahun 1906 di Lubuk Mengkuang; dan tahun yang sama Raden Pamuk ditangkap di Thehok, Jambi.
Raden Mat Tahir yang kerap kali berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan Belanda disebutkan sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukan, seorang lawan yang gesit, dan ditakuti. Pemerintah Belanda melalui residen di Palembang  memerintahkan pasukan marsose untuk menangkap Raden Mat Tahir hidup atau mati. Pengejaran terhadap Raden Mat Tahir pun ditingkatkan dan dengan dibantu seorang Kapten Melayu kedudukan Raden Mat Tahir di Muarojambi diserang. Serangan ini selain menewaskan Raden Mat Tahir, juga Raden Achmad gelar Raden Pamuk Kecik, dan Pak Gabuk, salah seorang pengawal Raden Mat Tahir.
Untuk memastikan kebenaran  bahwa yang tewas adalah Raden Mat Tahir, jenazah Raden Mat Tahir dibawa ke Jambi dengan menggunakan kapal "Robert" untuk diperlihatkan pada khalayak ramai. Atas permintaan para pemuka agama Islam, jenazah Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks makam raja-raja di tepi Danau Sipin, Jambi.

----------
Naskah ini disarikan dari makalah dialog sejarah yang diselenggarakan oleh Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012.

Selasa, 17 Juli 2012

Dialog Sejarah

DEPATI PARBO. PEJUANG KERINCI, JAMBI
(Oleh: Drs. Risnal Mawardi)

Biografi Depati Parbo
Depati Parbo dilahirkan di Desa Lolo, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci. Ayahnya bernama Bimbe, sedangkan ibunya bernama Kembang. Beberapa kajian mendapati bahwa nama sebenarnya Depati Parbo saat kecil adalah Ahmad Karib. Depati Parbo memiliki tiga orang saudara perempuan yang bernama Bende, Siti Makam, dan Likom. Dikabarkan bahwa Depati Parbo atau Karib sejak kecil memiliki berbagai keanehan, antara lain memiliki gigi geraham berwarna kehitaman. Oleh karena itu masyarakat setempat memanggil Karib dengan Germon Besol.
Sebagaimana di kampung lainnya di Kerinci, sebagai seorang remaja Karib juga ikut dan senang belajar bela diri silat serta ilmu agama yang dilengkapi ilmu kebatinan. Setelah dewasa Karib mempersunting seorang gadis bernama Timah Sahara dan dikaruniai seorang anak yang diberi nama Ali Mekah. Untuk mengemban tugasnya sebagai seorang suami dan ayah, Karib memilih untuk merantau ke Batang Asai mengikuti jejak sejumlah orang Kerinci merantau bekerja sebagai pendulang emas. Selain ke Batang Asai, Karib juga melanglang buana ke beberapa daerah di Sumatera Selatan, seperti Rawas. Selain mencari nafkah untuk menyambung hidup, beliau juga aktif mencari ilmu bela diri dan kebatinan. Kegiatan ini dilakukannya sejak tahun 1859 hingga 1862.
Sebagai pemuda yang cerdas dan terampil di kampungnya, Karib akhirnya dilantik dan dikukuhkan sebagai seorang depati dalam sebuah upacara tradisional kanduhai sko (kenduri pusako). Karib diberi gelar Depati Parbo. Dengan demikian Karib tidak hanya memikirkan kehidupan keluarganya saja, tetapi sebagai depati beliau juga harus memikirkan masyarakatnya, bahkan hingga ke Kesultanan Jambi.

Sebagai Pejuang
Untuk melakukan pengawasan di wilayah Gunung Raya, Belanda yang datang ke Kerinci mendirikan pos patroli pada 1900 dengan memanfaatkan tenaga pribumi sebagai kuli.  Depati Parbo bersama sejumlah hulubalang mengatur siasat untuk menyerang pos patroli tersebut. Inilah pertempuran pertama di Kerinci, tepatnya di Renah Manjuto, berkecamuk antara hulubalang Kerinci di bawah pimpinan Depati Parbo dengan pasukan Belanda. Akibat pertempuran yang terjadi pada 1901 dengan banyak korban di pihak Belanda memaksa mereka mengurungkan niat memasuki Kerinci. Walaupun demikian, pada Oktober 1901 sejumlah 120 orang pasukan Belanda yang berada di Indrapura bersiap-siap menyerang Kerinci.
Pada Maret 1902 sejumlah 500 orang pasukan Belanda di bawah pimpinan Komandan Bolmar mendarat di Muarosakai dengan Tuanku Regen sebagai penunjuk jalan ke Kerinci. Belanda menyerang ke tiga tempat di Kerinci seperti Renah Manjuto, Koto Limau Sering, dan Temiai. Perang hebat pun berkecamuk di ketiga tempat tersebut, tetapi setelah Koto Limau Sering dikuasi, pasukan Belanda tanpa kesukaran memasuki lembah Kerinci.
Dalam perang di Pulau Tengah yang dipimpin oleh seorang ulama ternama, yaitu Haji Ismail dan Haji Husin turut bergabung para hulubalang dari dusun lainnya di Kerinci. Dalam sejarah Kerinci disebutkan bahwa pertempuran di dusun ini merupakan pertempuran yang tersengit dan terlama (lebih kurang 3 bulan). Pulau Tengah diserang Belanda sejak 27 Maret 1903 melalui 3 jurusan, yaitu di timur: Sanggaran Agung-Jujun; utara: Batang Merao-danau Kerinci; barat: Semerap-Lempur Danau.
Masjid Keramat Pulau Tengah merupakan salah satu tempat yang dijadikan benteng pertahanan masyarakat dalam menghadapi Belanda. Serangan terakhir pada Pulau Tengah dilakukan Belanda pada 9 hingga 10 Agustus 1903 dengan membakar Dusun Baru, tetapi Masjid Keramat luput terbakar. Perlawanan rakyat ini dapat diselesaikan Belanda.
Terakhir pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Lolo, markas panglima perang Kerinci, Depati Parbo. Pertempuran berlangsung selama 5 hari. Akhirnya Belanda dapat membujuk Depati Parbo untuk mengadakan perundingan damai. Dalam perundingan inilah Depati Parbo ditangkap dan selanjutnya dibuang ke Ternate.
Setelah Kerinci aman pada 1927, atas permohonan para kepala mendapo di Kerinci pada Pemerintah Belanda, Depati Parbo dibebaskan dan kembali ke Kerinci.

----------
Artikel ini disarikan dari makalah yang disampaikan dalam Dialog Sejarah di Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 1912.

Senin, 16 Juli 2012

Dialog Sejarah

PERAN ABUNJANI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI JAMBI
(Oleh: Drs. Junaidi T. Noor, M.M)

Siapa Abunjani?
Abunjani merupakan anak seorang demang yang berkedudukan di Rantau Panjang, Batang Asai yang bernama Demang Makalam. Demang Makalam berasal dari Pondok Tinggi, Kerinci, sedangkan ibunya bernama Siti Umbuk berasal dari Desa Keladi. Abunjani yang lahir pada 24 Oktober 1918 merupakan anak keempat dari 5 bersaudara dengan urutan sebagai berikut: Siti Rodiah, M. Kamil, Siti Raimin, dan adiknya M. Sayuti.
Kedudukan orang tuanya sebagai demang memberi kesempatan untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan formal. Pada usia 8 tahun Abunjani bersama kakaknya, M. Kamil, dikirim ke Jambi untuk bersekolah di bawah asuhan Ali Sudin (keponakan Makalam) yang saat itu (1926) telah bekerja sebagai jurutulis (klerk) di kantor Kontrolir Jambi. Dengan beberapa pertimbangan, Makalam menitipkan kedua anaknya pada temannya yang berkebangsaan Belanda yang bekerja di BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila M. Kamil dan Abunjani mahir berbahasa Belanda.
Secara berturut-turut, tahun 1931 Abunjani berhasil menamatkan pendidikan di Hollandsc-Inlandsche School (HIS) selama 7 tahun dan tahun 1934 menamatkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bandung. Pada 1940 Abunjani mengikuti pendidikan di Middelbare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaar (MOSCVIA) di Bandung, tetapi tidak tamat karena berlangsungnya pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang ini Abunjani menamatkan pendidikan di Shonan Kao Kun Renjo (Sionanto) di Singapura selama 1 tahun. Abunjani kemudian diangkat sebagai asisten Ki Imuratyo. Pendidikan militer ini kemudian diteruskan ke akademi militer Giyugun di Pagaralam, Lahat dengan pangkat tamatan Letnan Dua (Shoi). Alumni pendidikan Angkatan Darat (Kanbu Kyoyiku tai) Jepang ini merupakan cikal bakal tentara nasional di masing-masing daerahnya. Abunjani sebagai Sudantyo Giyugun dari tahun 1942-1945 yang mempunyai kemampuan bahasa Belanda, Inggris, Jepang sangat berguna dalam kiprahnya di dunia bisnis selepas menanggalkan karir militernya. 

Peran Abunjani Di Masa Awal Kemerdekaan.
Menyusul menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, masyarakat Indonesia mulai bergerak untuk memerdekakan diri. Berbagai gerakan di pusat pemerintahan Jakarta membawa situasi yang berkembang cepat untuk mewujudkan kemerdekaan tersebut.
Berita kekalahan Jepang oleh sekutu cepat beredar dalam 2 garis. Garis pertama adalah reaksi cepat memanfaatkan peralihan kekuasaan Jepang ke tangan elit-elit politik Indonesia dengan tokoh-tokoh militer Indonesia yang mendapat kesempatan dari pejabat Pemerintahan Jepang di Jakarta. Garis kedua, jalur Pemerintah Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan alasan kalahnya Jepang maka Indonesia kembali dalam status jajahan Belanda. Bagi Belanda, Proklamasi yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 adalah hadiah Jepang karena usaha-usaha yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merupakan rangkaian proes yang dipersiapkan bersama Jepang. Selain itu, kemerdekaan Indonesia itu berarti hilangnya penguasaan atas negara jajahan sejak abad XVII.
Berita Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tersebar di pelosok Indonesia melalui berita-berita radio yang dikirim oleh orang-orang Indonesia yang bekerja di kantor radio dan telegrap Jepang. Dr. A. K. Gani di Palembang mengabarkan via telepon kepada R. Soedarsono di pertambangan minyak Bajubang Jambi pada 18 Agustus 1945. Abdullah Karta Wirana, seorang tokoh pergerakan Jambi yang bekerja sebagai pejabat penting di Jawatan Penerangan Jepang (Hodokan) pada 20 Agustus 1945 menggalang tokoh politik dan pemuda Jambi untuk bersatu dalam sikap memerdekakan Jambi. 
Bendera Merah Putih dikibarkan di puncak menara air oleh para pemuda Jambi, antara lain R. Hoesen, Akipo, dan Amin Aini. Sementara itu, Kantor Pengadilan Jepang (dekat RS. Thersia sekarang) beberapa pejuang, seperti Zuraida, Nuraini, Sri Rexeki, Nurlela, dan Nursiah menurunkan bendera Jepang (Hinomaru) dan menggantinya dengan menaikan bendera Merah Putih. Praktis pada 22 Agustus 1945 bendera Merah Putih berkibar di Jambi dan beberapa kota lainnya di Keresidenan Jambi. Pada tanggal tersebut merupakan awal gerakan kemerdekaan Indonesia di Jambi, yaitu terbentuknya Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang diketuai oleh Abunjani. API ini bertugas menjaga ketertiban, keamanan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan.
Menindaklanjuti pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan Badan Penolong Keluarga Perang (BPKKP) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban  umum di Jakarta, pada 25 Agustus 1945 terbentuklah KNI Jambi yang dilantik pada Oktober 1945. Selain  mengetuai BKR, Abunjani juga ditunjuk mengetuai kelompok pemuda dari KNI. Pada 5 Oktober 1945 BKR diganti namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan komandannya Abunjani yang berpangkat Kolonel.
Pada 24 Juni 1946 TKR pun dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan Jambi kesatuannya menjadi Resimen II Devisi II Jambi sebagai bagian dari Sumatera Selatan. Sebelumnya, pada 17 Juni 1946 diadakan penyempurnaan susunan Dewan Pertahanan Daerah Keresidenan Jambi yang diketuai Inu Kertapati dan Kolonel Abunjani sebagai wakil ketua. Residen II Divisi II pada 3 Juni 1947 dirubah lagi menjadi Resimen 43 Jambi dan terakhir menjadi Brigade Garuda Putih. Pada 10 September 1947 menyusul Agresi Belanda, Keresidenan Jambi dibentuk Komando Daerah Militer Jambi dengan komandannya Kolonel Abunjani dan wakilnya Letnan Kolonel Tituler R. Soedarsono. Komando Daerah Militer Jambi kemudian pada 1 Juni 1948 menjadi TNI Sub Teritorium Djambi (STD) sebagai bagian TNI Sub Komando Sumatera Selatan (Sub KOSS) dengan komandannya Kolonel Abunjani.
Dalam kedudukannya sebagai Komandan STD Jambi merangkap pimpinan Komando Daerah Militer Brigade Garuda Putih dipegang sejak Juni 1948 hingga Januari 1949. Adanya kebijakan rasionalisasi di kalangan TNI, pangkat Kolonel Abunjani diturunkan menjadi Letnan Kolonel. Walaupun demikian, Letnan Kolonel Abunjani tetap di militer dengan jabatan rangkap sebagai Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan khusus daerah Jambi, juga sebagai Komandan STD sampai pertengahan Januari 1950.Terhitung Februari 1950 Letnan Kolonel Abunjani mengundurkan diri dari TNI beralih profesi menjadi seorang pengusaha di Jambi dan Jakarta.
Salah satu peran Abunjani dalam menunjang perjuangan di masanya adalah membentuk Badan Keuangan Perjuangan yang memobilisasi pedagang karet ke Singapura dengan menyisihkan 10% keuntungan untuk perjuangan. Usaha tersebut selain dapat membantu perjuangan Pemerintah Pusat, sewa-beli Pesawat Catalina (RI 05) sebagai pesawat penghubung ke Sumatera Barat maupun Yogyakarta dalam jaringan pemerintahan, juga memasok perlengkapan dan perbekalan pasukan dengan sistem barter komoditi lada, vanili, karet, dan lain-lain.
Peran yang perlu dicatat kepemimpinan Letnan Kolonel Abunjadi adalah memindahkan pusat pemerintahan dan pertahanan militer saat serangan Belanda pada 29 Desember 1948. Bersama dengan Rd. Inu Kertapati dan M. Kamil mengungsi ke pedalaman, tetapi terhenti di Sengeti. Rd. Inu Kertapati kembali ke Jambi untuk menenangkan keluarga dan masyarakat kota Jambi oleh bombardir pesawat dan serangan tentara Belanda melalui Kenali Asam dan Palmerah. Pada 1 Januari 1949 terbitlah surat kuasa Residen Jambi Rd. Inu Kertapati kepada M. Kamil, Bupati Jambi Hilir untuk meneruskan Pemerintahan Darurat Keresidenan Jambi. Dalam rapat antara unsur pemerintah dan militer di Tebo menghasilkan keputusan bahwa H. Baksan yang saat itu menjabat sebagai Bupati Jambi Ulu sebagai Residen Pemerintah Darurat Keresidenan Jambi dan Pusat Komando Militer dipindahkan ke Bangko. Walaupun mengalami berbagai gempuran, perjuangan dan pemerintahan darurat berjalan sebagaimana mestinya.

---------------
Artikel ini disarikan dari makalah yang disampaikan dalam Dialog Sejarah di Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012. 

Senin, 07 Mei 2012

Mengenal Lintasan Sejarah Jambi

Mengenal lintasan sejarah Jambi merupakan judul yang diketengahkan Museum Perjuangan Rakyat Jambi dalam pameran di arena MTQ ke 42 yang berlangsung di Sungai Misang, Merangin. Judul ini diangkat guna menjelaskan perjalanan panjang sejarah Jambi dari masa prasejarah hingga Jambi menjadi daerah otonom.
Dalam pameran dijelaskan bahwa perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan di Jambi berlangsung dari masa kesultanan hingga terbentuknya Jambi menjadi suatu daerah otonom dari Negara Kesatuan Indonesia Republik Indonesia (NKRI). Perjuangan yang mengorbankan harta dan jiwa dilakukan tidak hanya melalui perjuangan bersenjata, tetapi juga melalui diplomasi dan pemanfaatan sumber daya yang dimilki Jambi. Sumber daya tersebut meliputi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Salah satu kekayaan sumber daya alam di Kabupaten Merangin adalah kekayaan geologi di Batang Merangin yang meliputi geodiversity, geoherritage, dan geofenomena tiada tara. Kekayaan geologi tersebut menjadi jejak rekam evolusi bumi terlengkap dan terlestari di dunia yang hingga kini masih ada.
Keberhasilan perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dapat terwujud atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan kegigihan para pejuang kusuma bangsa. Kegigihan dalam perjuangan dibuktikan dengan digunakannya berbagai persenjataan yang dimiliki para pejuang, seperti berbagai senjata tajam dan senjata api buatan lokal.
Di sisi lain perjuangan tersebut melahirkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang memberikan inspirasi dan kekuatan dahsyat bagi perjuangan bangsa ini. Sebagai generasi penerus yang handal haruslah memahami, mendalami, menghayati jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan bangsa hingga ke lubuk hati yang paling dalam untuk mempelajari sejarah perjuangan bangsa ini.

Bacaan: B. Kunto Wibisono. "Geopark Merangin Dibicarakan Pada Konferensi Unesco" dalam www.antaranews.com/berita/308822/geopark-merangin-dibicarakan-pada-konferensi-unesco

Rabu, 28 Maret 2012

Bendera Pangeran Ratu

Serupa dengan Bendera katun hitam, bendera wol kuning menjadi koleksi Museum Nasional pada tanggal 22 Mei 1905 dengan nomor inventaris 11679. Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini Museum Nasional melalui Gubermenten Besluit No. 17, tanggal 12 Mei 1905. 
Bendera kain kuning ini berbentuk empat persegi panjang polos dari bahan wol. Bendera yang berukuran panjang 246 cm dan lebar 140 cm dahulu menunjukkan jabatan Pangeran Ratu atau putra mahkota, calon sultan. Disayangkan, kondisi koleksi rapuh dan beberapa bagian robek. (Budi Prihatna).

Selasa, 27 Maret 2012

Bendera Raja Sehari

Bendera katun berbentuk segi empat panjang berwarna hitam berukuran 179 x 82 cm dengan tepi atas disisipkan sehelai katun putih segi empat panjang berukuran 28 x 44 cm merupakan bendera yang menunjukkan kedudukan Raja Sehari saat prosesi pelantikan sultan baru.
Sejak 22 Mei 1905 Bendera katun hitam ini menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris 11674. Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini menjadi Museum Nasional melalui Gubermenten Besluit No. 17, tanggal 12 Mei 1905.
Mengenai Raja Sehari disebutkan dalam Undang-Undang, Piagam, dan Kisah Negeri Jambi, Pasal pertama yang menyatakan keturunan orang Kerajaan Jambi berbunyi: “Adapun Raja Sari itu keturunan Orang Kayo Pingai. Dan kepalanya yang besar tumbuhnya di Kampung Baharu Tanjung Pedalaman, asalnya sekarang sudah pindah di Tanjung Pasir. Dan pengaturannya hadap raja, jika hendak mendirikan raja dialah dahulu menjadi raja, satu hari itu lalu mendirikan sulthan”.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang dan Ketentuan Tentang Pencacahan Orang-Orang di Dalam Kerajaan Yaitu Yang 12 Kalbu berbunyi: “Adapun mengenai periyayi Raja Sari adalah keturunan Orang Kayo Pingai, pembesar yang mengepalai kalbu ini duduknya ada di Kampung Baru Tanjung Pedalaman akan tetapi sekarang ini sudah pindah di Dusun Tanjung Pasir, kalbu ini memegang adat dan aturan untuk memegang jabatan raja untuk satu hari, bila negeri melakukan penobatan/pelantikan raja, karena itu disebutkan sebagai Raja Sari (Raja Sehari)”. (Budi Prihatna).
Sumber: Budi Prihatna. Tesis. 2010. Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Senin, 19 Maret 2012

Keris Singa Merjaya


Keris Singa Merjaya merupakan keris pusaka Kesultanan Jambi yang disandang oleh Pangeran Ratu atau putra mahkota. Keris ini dari 14 Agustus 1904 berada di lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini menjadi Museum Nasional. Keris ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda  melalui Binnenlandsch Bestuur (Kementrian Dalam Negeri) dengan Gubermenten Besluit (Keputusan Pemerintah) No. 7, tanggal 14 Agustus 1904.
Keris Senja Merjaya yang bernomor inventaris 10920 (E 264) bilahnya dibuat dari besi dengan sedikit hiasan motif sulur daun dari emas daun, terutama pada bagian dapur dan lambe. Keris yang panjangnya 35 cm berhulu kayu bentuk katak duduk dengan tangan membelit badan, ber-luk 7, dan ber-selut emas dengan motif sulur daun, tumpal, bunga, dan lidah api. Kondisi koleksi sangat baik.
Keris Singa Merjaya merupakan keris pemberian Sultan Palembang kepada Pangeran Ratu Anom Martadiningrat sebagai hadiah perkawinannya dengan putri Palembang. Dalam Naskah Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi, Pasal Raja Jambi Pergi Beristri di Palembang, Nikah Dengan Anak Sunan Palembang, dipaparkan sebagai berikut:
“Maka berwasiatlah Ratu Ibu kepada anaknya dan kepada raja yang besar-besar, dan kepada mentrinya yang besar dikatanya inilah keris aku yang disangui Sri Paduka Ayahanda Susunan Palembang, masa aku hendak berangkat ke Jambi dahulu, maka sekarang ini keris aku namai Singo Marjayo yang aku jadikan kerajaan kepada orang Tembesi, dan kepada Orang Batin Sembilan. Siapa juga yang bergelar Pangeran Ratu, maka itulah yang memegang keris ini, maka itulah raja orang Tembesi dan orang Batin Sembilan ……”. (Darahim, 2005: 35).

Sebelum diserahkan ke Pemerintah Hindia Belanda di bulan Desember 1903 Keris Singa Merjaya dikuasai oleh Pangeran Ratu Martaningrat. (Budi Prihatna).



Sumber: Budi Prihatna. Tesis. Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Universitas Padjadjaran. 2010.

Minggu, 11 Maret 2012

Bintang Penghargaan Kesultanan Turki

Berbeda halnya dengan Keris Si Ginjei, Bintang Penghargaan Kesultanan Turki sebagai regalia Kesultanan Jambi berada di Jambi, tepatnya di Museum Negeri Jambi sejak 31 Mei 2002. Sebelumnya regalia kesultanan ini berada di Kemaman, Terengganu, Malaysia, disimpan di kediaman Engku Zubir Bin Engku Ja'far. Seperti diketahui, pada  Oktober 1857 Sultan Thaha melakukan misi diplomatik dengan mengutus Pangeran Ratu ke Singapura untuk diteruskan kepada Sultan Turki. Sultan Thaha mengirimkan permintaan tertulis kepada Sultan Turki agar diperoleh pengakuan yang menyatakan bahwa Jambi adalah wilayah Turki dan pihak luar tidak punya hak. Surat tersebut dititipkan pada seorang pembesar Singapura dengan memberi imbalan 30 ribu dollar Spanyol untuk menyampaikannya ke Istambul. Dipilihnya Turki karena imperium Utsmani dianggap memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan oleh negara-negara "kafir" (penjajah).
Pengiriman surat pada pemimpin Imperium Utsmani tersebut memberikan dampak dengan dikeluarkannya utimatum berupa: 1) diberi kesempatan kepada Sultan Thaha dalam tempo 2 x 24 jam untuk membuat perjanjian baru pada Belanda; 2) apabila Sultan Thaha tetap membangkang Belanda akan menurunkan sultan dari tahta kerajaan dan akan menunjuk sultan baru yang menyetujui perajian baru; 3) sultan diwajibkan segera mengirim utusan kerajaan ke Batavia untuk memberi tanda kehormatan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda; 4) jika semuanya ditolak, Belanda akan mengirimkan pasukan perang untuk menaklukan Jambi. Utimatum dari Pemerintah Hindia Belanda dijawab oleh Sultan Thaha "Kerajaan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan akan kami pertahankan dari penjajahan oleh siapapun juga dengan tetesan dari penghabisan".
Walaupun surat dari Sultan Thaha sampai di Turki, Kesultanan Turki hanya memberikan jawaban berupa pemberian penghargaan Kesultana Turki tanpa memberikan bantuan lainnya. Saat itu Bintang Penghargaan Kesultanan Turki tidak dapat diterima Sultan Thaha karena adanya blokade laut yang dilakukan pasukan Pemerintah Hindia Belanda. (Budi Prihatna).

Sumber: Elsbeth Locher-Scholten, 2008. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial. Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Jakarta: Banana & KITLV; A. Mukti Nasruddin, tt. Jambi Dalam Sejarah Nusantara. Jambi: Tidak dipublikasikan.