Selasa, 16 April 2013

PERJUANGAN BARISAN SELEMPANG MERAH
MENGHADAPI AGRESI MILITER BELANDA II DI TANJUNG JABUNG 1949

Barisan Selempang Merah merupakan sebuah kumpulan kebatinan yang bernafaskan Islam yang bertujuan berjuang mengusir penjajahan Belanda di Tanjung Jabung. Para anggotanya terdiri dari masyarakat dari berbagai suku bangsa yang berada di Tanjung Jabung, seperti Banjar, Bugis, Jawa, dan lain-lain. 

Barisan Selempang Merah merupakan barisan pajuang rakyat yang keyakinannya mengamalkan bacaan-bacaan yang bersumber dari ayat suci Al-Quran, Sunnah Rasul, dan amalan para Wali Allah. Barisan ini terbentuk sebelum Agresi Belanda II dengan anggotanya berjumlah 3.000 orang yang tersebar sepanjang pesisir pantai timur Tanjung Jabung, bahkan sampai ke Indragiri Hilir (Riau). Barisan ini fraksi dari barisan Pejuang Hisbullah. 

Pada masa Agresi II, tentara Belanda memasuki Kuala Tungkal melalui jalur laut dengan menggunakan kapal perang. Pada 21 Januari 1949 Kota Kuala Tungkal mendapat serangan cukup dahsyat dari Belanda dengan melepaskan tembakan beruntun dan membabi buta. Tembakan tersebut sasarannya adalah tempat ibadah, seperti Mesjid Raya Jami' Kuala Tungkal dan Mesjid Agung Kuala Tungkal (Ilir). Dalam serangan tersebut tentara Belanda berhasil meruntuhkan menara Mesjid Agung dan jamaah shalat membubarkan diri untuk menyelamatkan jiwanya. 

Akhirnya penduduk beserta Barisan Selempang Merah dan TNI terdesak untuk mengungsi di beberapa tempat, seperti 1). rombongan pemerintahan beserta stafnya menuju Desa Pembengis dan diterima oleh Camat Masdar, Guru Panak, Guru Sanusi, dan lain-lain; 2) rombongan Letda A. Fatah Lasside dan Pasirah Asmuni yang menuju Teluk Sialang diterima oleh Datuk Haji Mustafa dan Datuk Abd. Razak di Desa Batara (Sungai Gebar); 3) rombongan lainnya ada yang mengungsi ke Tungkal I, bahkan ada yang ke Pematang Lumut dan Pematang Bulu. 

Setelah tentara Belanda menguasai Kota Kuala Tungkal pada pukul 16.00 sore, 3 anggota Selempang Merah seperti H. Saman, Makruf (Aruf), dan Masrun, atas perintah Panglima Adul mengadakan pengintaian Kota Kuala Tungkal dengan menggunakan jukung (perahu kecil).

Pada malam Sabtu tanggal 22 Januari 1949 sebelum membalas serangan Belanda, Panglima Adul pergi ke Parit Haji Yusuf (Tungkal V) menemui Tuan Guru KH. M. Daud Arief untuk berkonsultasi rencana membalas serangan Belanda. Pada 23 Januari 1949 Barisan Selempang Merah yang dipimpin oleh Abdul Samad (Panglima Adul) yang berasal dari Parit Selamat menyerang kedudukan Belanda di Kota Kuala Tungkal. Serangan Panglima Adul bersama 42 anggotanya memakai tanda sehelai "selempang merah". Pada penyerangan ini terjadi kontak senjata dengan tentara Belanda, dan korban pun berjatuhan di kedua belah pihak. 

Pada 28 Januari 1949, satu regu pasukan TNI yang dipimpin oleh Letda A. Fatah Lasside bergerak dari Desa Pembengis menuju Kota Kuala Tungkal. Pertemuan satu regu pasukan TNI dan tentara Belanda di Kota Kuala Tungkal memicu pertempuran yang berlangsung sekitar 1 jam. Dalam pertempuran tersebut beberapa tentara Belanda menjadi korban, sedangkan seluruh pasukan TNI kembali dengan selamat ke Pembengis.

Pada 13 Februari 1949 barisan Selempang Merah bersama pasukan TNI mengadakan serangan bersama dengan kekuatan 115 orang. Barisan Selempang Merah bersenjatakan parang, badik, dan senjata tradisional lainnya berangkat dari Parit Selamat menuju Kota Tungkal. Ke 115 orang ini dibagi menjadi 4 bagian yang masing-masing dipimpin oleh Abdul Samad, H. Saman, H. Nafiah, dan Zaidun.

Saat serangan serentak dan mendadak ini barisan Selempang Merah dipimpin Panglima Adul dan TNI dipimpin Serma Murad  Alwi bersama Serma Buimin Hasan (CPM) bergerak dari Parit Bakau ke Kuala Tungkal. Perlawanan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa apabila mereka gugur, mereka rela mati syahid demi negara, bangsa, agama, dan Kota Kuala Tungkal.

Dalam peristiwa ini Barisan Selempang Merah menggunakan 11 perahu dan ketika perahu di urutan ke 3  bertemu kapal perang Belanda di tengah laut, Panglima Adul beserta anak buahnya melepaskan tembakan. Seketika itu juga terjadi tembak menembak. Panglima Adul segera melompat ke laut dan berenang menuju kapal Belanda untuk naik ke kapal, tapi saat memegang jangkar kapal segera diberondong tembakan. Panglima Adul tewas di laut Sungai Pengabuan. Gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. A. Hamid, pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh H. Saman yang selama ini mendampingi Panglima Adul dalam menyerang kedudukan Belanda di Kota Kuala Tungkal.

Setelah beberapa kali melakukan penyerbuan dari laut, para tokoh Barisan Selempang Merah maupun TNI mengalihkan penyerbuannya dari arah daratan.Untuk mempersiapkan penyerbuan ke Kota Kuala Tungkal terdaftar kurang lebih 1.000 orang yang ingin bertempur, dan setelah diadakan seleksi diterima 441 orang, sisanya cadangan.

Setelah semua persiapan selesai dilakukan, termasuk ajaran/amalan Selempang Merah di bawah pimpinan H. Saman, pada 23 Februari 1949 sejumlah 441 orang yang terdiri dari anggota Barisan Selempang Merah, TNI, Kepolisian, Pagawai Sipil, Pamong Desa, dan alim ulama menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. Serangan ini merupakan yang paling besar jumlahnya dan terbaik persiapannya dibandingkan serangan-serangan sebelumnya. Dalam penyerangan ini antara lain terdapat 1) Sersan Mayor Kadet Madhan A. R., mewakili Komandan Sektor 1023 Front Tungkal Area; 2) H. Syamsuddin, Ketua Front Rimba; 3). M. Sanusi, Wakil Ketua Front Rimba; 4) Masdar Ajang, Camat Tungkal Ilir; 5). Komandan Polisi Zulkarnain Idris bersama Agen Polisi H. Aini, Dahlan Rayisi, Bustami, dan lain-lain.

Dalam penyerangan ini pasukan dibagi menjadi 21 kelompok yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang langsung dipimpin oleh H. Saman. Pemberangkatan dilakukan dari Desa Pembengis dan sebelum subuh pasukan menyerbu Kota Kuala Tungkal dengan membakar rumah-rumah di sekitar tempat yang dijadikan tempat tinggal Belanda. Setelah terjadi pertempuran kurang lebih 1 jam Barisan Selempang Merah mengundurkan diri kembali ke Pembengis dengan meninggalkan korban sebanyak 30 orang gugur. Demikian pula banyak korban di pihak lawan.

Semenjak terjadinya pertempuran itu tentara Belanda membuat rintangan-rintangan berupa kawat berduri di sekeliling kedudukan mereka agar TNI dan Barisan Selempang Merah tidak berani lagi menyerang. Kenyataannya, TNI dan Barisan Selendang Merah tidak pernah menghentikan penyerangannya. Tentara Belanda yang keluar dari kamp mengadakan patroli selalu dihadang TNI dan Barisan Selempang Merah. Pada 8 Maret 1949 kembali gabungan pasukan TNI dan Barisan Selempang Merah berkekuatan 150 orang yang dipimpin oleh H. Saman menyerang tentara Belanda di Kota Kuala Tungkal. Dalam penyerangan ini 12 anggota Barisan Selendang Merah gugur dan di pihak Belanda diperkirakan jatuh beberapa korban.

Di lain pihak, pada 16 Maret 1949 Panglima Camak, pemimpin Barisan Selempang Merah dari Sungai Undan, memimpin pasukan 250 orang Barisan Selempang Merah menyerbu Kota Kuala Tungkal. Turut serta dalam penyerbuan ini 25 orang pasukan TNI yang dipimpin Sersan Mayor Kadet Madhar A. R. Pasukan ini diberangkatkan dari Mesjid Tua Pembengis. Dalam penyerangan ini Panglima Camak bersama pasukannya menyerbu pasukan Belanda yang berada di dalam kamp, sementara pasukan TNI melepaskan tembakan untuk melindungi mereka. Oleh karena kekuatan senjata tidak seimbang yang mana Barisan Selempang Merah hanya menggunakan senjata tajam seperti parang, pedang, keris, badik, tombak, dan senjata tajam lainnya, Barisan Selempang Merah mengundurkan diri ke Pembengis. Dalam pertempuran ini Panglima Camak bersama 80 orang anggotanya gugur. (bpx).

---------------

Sumber: Perjuangan Pasukan Selempang Merah Menghadapi Agresi Militer Belanda ke II Di Tanjung Jabung Barat 1949. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi. 2009.

Minggu, 14 April 2013

PERLAWANAN RAKYAT SAROLANGUN MENGHADAPI 
AGRESI MILITER BELANDA KE II

Sepuluh hari setelah Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia diduduki Belanda, Kota Jambi diserang dari udara menerjunkan pasukan payung dan dari laut menggunakan berbagai jenis kapal perang. Perlawanan oleh TNI untuk mempertahankan kota dan lapangan terbang Pall Merah dilakukan dengan peralatan yang kurang memadai. Pemimpin tentara dan sipil pada malam hari meninggalkan Kota Jambi karena kota sudah dikepung tentara Belanda. 

Setelah Belanda menduduki Kota Jambi dan melancarkan operasi militernya ke berbagai tempat dalam daerah Keresidenan Jambi, pasukan TNI yang tersebar di berbagai tempat melakukan konsolidasi kesatuan-kesatuannya sebagai persiapan untuk mengadakan serangan balasan dengan menggunakan teknik perang gerilya. Demikian pula dengan pasukan-pasukan pejuang rakyat dalam kesatuan laskar-laskar dan barisan-barisan perjuangan. 

Pada 13 April 1949 Belanda menyerang pertahanan TNI di Desa Pauh Sarolangun dan mendapat perlawanan sengit dari TNI. Oleh karena persenjataan tidak seimbang, pasukan H. Teguh mundur sehingga hari itu Belanda dapat menguasai Desa Pauh. 

Esok harinya Belanda meneruskan penyerangan ke arah Sarolangun, tetapi mereka mendapat kesulitan karena TNI dan para pejuang telah membuat rintangan dengan merobohkan pepohonan serta memutuskan beberapa jembatan. Tentara Belanda melakukan serangan darat, sungai, dan udara menyerang pos-pos pertahanan TNI yang berada di Dusun Batu Ampar, Lidung, dan Ladang Panjang. Serangan tentara Belanda ini mendapat perlawanan sengit dari pihak TNI. 

Sarolangun saat itu dipertahankan oleh satu kompi dari Batalyon Gajah Mada yang dipimpin oleh Kapten R. A. Rahman Kadipan dan beberapa perwira lainnya, antara lain Letnan Satu A. Sama, Letnan Dua M. Nawawi, Letnan Dua Mahmud Maloha, seorang perwira Jepang yang berpartisipasi membantu perjuangan Republik Indonesia Mayor Suroto, dan lain-lain.

Melihat situasi semakin gawat dan pasukan Belanda mendekati Sarolangun, berbagai bangunan, seperti asrama TNI eks Banteng, kantor-kantor pemerintahan, dan gudang dibumi hanguskan oleh TNI dibantu rakyat pejuang. Pemerintahan Kewedanan dipindahkan ke Karsio. Pada 18 April 1949  Belanda menduduki Sarolangun. Komandan Sektor 1012 R. A Rahman Kadipan bersama pasukannya mengundurkan diri ke Desa Tanjung Batin VIII arah Bangko. Sementara itu Komandan Sub Sektor 1012 Letnan Muda Nangyu bersama pasukannya membuat rintangan dengan menebangi pepohonan untuk direntangi di tengah jalan raya dan beberap jembatan diputuskan. Untuk mendampingi Komandan Sektor 1012 Kapten A. Rahman Kadipan diangkat A. Roni sebagai camat militer dan Rasyiddin Amin sebagai penerangan yang dapat menyelamatkan pemancar radio. Dengan bantuan pemancar radio yang dikelola Rasyiddin Amin inilah STD dapat berhubungan dengan para pejuang di daerah lain, bahkan sampai di daerah Aceh dapat memonitor situasi perang gerilya.

Saat jatuhnya Pauh dan Sarolangun Komandan Batalyon Gajah Mada mengangkat 1). H. Teguh sebagai Komandan Sektor Bangko dan Pemenang dengan wakil Letnan Dua J. Henulili yang berkedudukan di Pemenang; 2). Kapten R. A. Rahman Kadipan sebagai Komandan Sektor Tanjung Batin VIII dengan wakil Letnan Muda Nangyu yang berkedudukan di Dusun Tanjung; 3). Letnan Satu Tasrif sebagai Komandan Sektor Rantau Panjang Margoyoso dengan wakil Sersan Mayor Kadet R. Soehoer yang berkedudukan di Rantau Panjang.

Setelah dua hari Sarolangun diduduki Belanda, pasukan kecil TNI yang terdiri dari 8 tentara yang dipimpin oleh Letnan Muda Nangyu bermaksud membongkar jembatan Sarolangun yang terletak di Dusun Bernai. Baru saja mulai membongkar jembatan, penduduk Dusun Bernai memberitahukan bahwa Belanda sudah berada di Dusun Lidung yang jaraknya kurang lebih 7 km. Akhirnya belum selesai membongkar jembatan, Nangyu dan anak buahnya mundur dengan menebang pepohonan untuk rintangan jalan sampai Dusun Sungai Baung. Di Dusun Sungai Baung terdapat pasukan TNI/CPM yang dipimpin Sersan Mayor Kasim beserta anak buahnya, antara lain Kopral Sahar dan Prajurit Satar.

Esok harinya satu regu tentara Belanda berpatroli sampai di Dusun Sungai Baung dan terjadilah kontak senjata dengan pasukan Nangyu. Dalam kontak senjata ini tidak jatuh korban yang berarti, hanya seorang anak perempuan berusia 9 tahun terkena peluru nyasar.

Pasukan Nangyu dan Kaim mundur dari Sungai Baung ke Dusun Tanjung Batin VIII, sementara itu Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan bersama 20 prajurit TNI bertahan. Sebelum Belanda sampai di Dusun Tanjung, Letnan Muda Nangyu dan Sersan Ngadul menangkap seorang kaki-tangan Belanda yang bernama Alian. Setelah diintrogasi Camat Militer A. Roni Sani, Ajun Inspektur Polisi M. Ali Hanafiah, dan AIP. II Arijas Syarif, diputuskan hukuman tembak mati pada kaki-tangan Belanda tersebut.

Berdasarkan perkiraan, dalam waktu dekat Belanda akan merebut Dusun Tanjung, atas perintah Komandan Sektor, staf pemerintahan kecamatan yang dipimpin A. Roni Sani dan beberapa anggota polisi mundur ke Karsio, tempat pemerintahan Kewedanaan Sarolangun berada.

Beberapa hari kemudian Belanda menyerang TNI di Dusun Tanjung sehingga terjadi kontak senjata. Oleh karena tidak berimbangnya persenjataan, pasukan Rahman Kadipan berjuang secara gerilya. Dalam pertempuran di Dusun Tanjung ini Prajurit I M. Nur dari TB tertembak kakinya dan seorang pejuang bernama Aliudin dari Dusun Dalam tertembak tangan kanannya.

Setelah pertempuran di Desa Tanjung pasukan yang dipimpin Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan beserta wakilnya Letnan Muda Nangyu beserta para pemuda pejuang mundur secara terpisah-pisah. Ada yang menuju Kubang Ujo dengan menggunakan perahu, termasuk Letnan Muda Nangyu, Sersan Mayor R. Syahbudin, Sersan Simanjuntak, dan lain-lain. Di Kubang Ujo mereka bertemu Letnan Front Pauh. Mereka yang mundur ke Limbur antara lain Sersan Mayor Mat Jangkung, Sersan Wahid Bego, Kopral Rozak Nur, Kopral Prawito, dan beberapa orang lainnya. Mereka membuat pertahanan di Dusun Limbur Tembesi. Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan beserta beberapa orang anak buahnya mundur ke selatan.

Jatuhnya pertahanan TNI di Dusun Tanjung, Belanda mengalihkan kegiatannya ke daerah-daerah lain. Pada pertengah bulan Juli 1949 Belanda menyerbu pertahanan TNI di Kubang Ujo. Adanya kegiatan Belanda tersebut, Komandan STD memindahkan para perwiranya, antara lain: 1). Kapten H. Teguh diangkat menjadi Komandan Kompi I/Sektor Bangko/Pemenang, sedangkan Kapten M. Noer Komandan Sektor Kubang Ujo menggantikan Kapten Rahman Kadipan; 2). Letnan Muda Noorsaga dengan Surat Perintah Nomor 62/SC/1949 Tanggal 25 Mei 1949 dari Sektor 1056 dipindahkan ke Muaro Bungo Sektor 1012, dan digantikan sementara Kapten M. Daud yang selanjutnya pada akhir Juni dipindahkan ke Muaro Bungo dan menyerahkan tugasnya kepada Letnan Dua J. Henuhili.

Saat itu pos pertahanan STD terdepan di Kubang Ujo dipimpin Kapten M. Nur yang dapat berhubungan ke Pemenang dan Bangko. Pertahanan di STD di Pemenang dipimpin Letnan Dua J. Henuhili dengan penempatan pasukan: 1). Satu pasukan 30 orang dipimpin Sersan Mayor Kandung ditempatkan di pinggir Sungai Merangin; 2). di Ilir Dusun ke arah Sarolangun terdapat pos penjagaan 5 orang dipimpin Kopral Darmansyah dengan tugas selain sebagai pos pengawal terdepan, juga memungut 10% bea cukai dari pedagang yang keluar-masuk; 3). gudang perlengkapan (beras, kopi, gula, dan lain-lain) di tempatkan di rumah pasirah dengan dikawal 7 orang yang dipimpin Sersan Mayor Budiman dan Sersan Mayor Effendy; 4); Komandan Sektor Letnan Dua J. Henuhili dengan pasukan sebanyak 20 orang menetap di pinggir pasar Pemenang dengan Pos PHB dipimpin Sersan Mayor Bachrun yang dapat cepat berhubungan dengan Kubang Ujo maupun Bangko (STD).

Pada 25 Juli 1949 Belanda secara besar-besaran menyerang pertahanan, sehingga terjadilah kontak senjata yang hebat di Kubang Ujo. Belanda terus maju dari Kubang Ujo dan sampai di Pemenang pagi hari jam 06.00 tanggal 26 Juli 1949 sehingga terjadi tembak-menembak. Di hari yang sama sekitar pukul 17.00 pasukan Belanda meneruskan penyerangan ke Dusun Sungai Ulak di bawah pimpinan Letnan Dua J. Henuhili yang mundur ke dusun tersebut. Di dusun tersebut berada Mayor Kandung, Sersan Mayor Budiman, Sersan Mayor Effendi, Kopral Mohd. Roem, dan lain-lain. Selain pasukan J. Henuhili terdapat juga pasukan Letnan Dua Tasrif yang datang dari Margoyoso/Rantau Panjang. Saat itu rakyat sedang ramai bersilaturahmi dan TNI pun ikut berlebaran dengan masyarakat setempat.

Pada pos terdepan arah Bangko ditempatkan Sersan Mayor Effendy dan Kopral Mohd. Roem bersama beberapa orang Dusun Sungai Ulak. Tujuan penempatan ini agar kedatangan tentara Belanda dapat segera diketahui. Di Dusun Sungai Ulak sendiri terjadi tembak-menembak antara pasukan TNI yang dipimpin J. Henuhili bersama masyarakat berjuang melawan Belanda. Dalam tembak-menembak ini gugur Achmad Rio Sungai Ulak, Rusdi, Mat Mahi, dan Ibrahim. Rusdi, Mat Mahi, dan Ibrahim adalah anggota pasukan gerilya. Keempat korban tersebut setelah penyerahan kedaulatan makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Bangko. Sejak jatuhnya Kota Bangko, staf STD dan staf Pemerintahan Merangin yang dipimpin M. Kamil pindah dari Muara Siau ke Tanjung Dalam Kecamatan Jangkat.

Pada ahkir Mei 1949 Belanda memasuki Sungai Pinang dan terjadilah pertempuran dengan TNI Sektor Batang Asai yang dipimpin Letnan Satu Sayuti Makalam. Tentara Belanda maju terus ke Batang Asai melalui Dusun Selango dan Payo Sikumbang. Pihak Belanda mengetahui jalan ke desa-desa tersebut atas petunjuk jalan yang dibawanya dari Sarolangun, yaitu H. Wahid, anak Pasirah Sungai Pinang.

Pada awal Juni  1949 tentara Belanda di bawah pimpinan Sersan Mayor KNIL Pattiwael memasuki Kasiro pukul 06.00 pagi. Semua anggota polisi dan aparat pemerintah sipil dapat menyelamatkan diri, kecuali sebuah charge penerangan yang dirampas Belanda.

Dalam upaya merebut kembali Kasiro, pada 8 Agustus 1949 Kapten M. Kukuh sebagai Komandan Sektor TNI Kasiro yang bermarkas di Muaro Talang Batang Asai bersama Letnan Budiman, M. Sayuti Makalam, dan Sersan Mayor Abunsari siap menggempur Kasiro. Pasukan ini berkekuatan 150 orang. Pagi harinya saat pasukan ini berkumpul dan beristirahat di Pondok VII untuk malamnya menggempur Kasiro, tiba-tiba datang seorang kurir membawa surat selebaran yang menyatakan agar semua pihak menghentikan tembak-menembak (cease fire order tanggal 10 Agustus 1945).

Akhirnya pasukan gabungan ini kembali ke posnya masing-masing dan yang tinggal hanyalah pasukan polisi di bawah pimpinan AIP I. Mohd. Ali Hanafiah untuk menghadapi pihak KNIL Sersan Ngairan yang berlakunya caese fire kembali dengan pasukannya ke Sarolangun. (bpx).

-----------------------

Sumber: Perjuangan Rakyat Sarolangun Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda ke II 1949-1950. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi. 2009. 

Minggu, 07 April 2013

PARTISIPASI RAKYAT BATANGHARI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

Perkembangan yang terjadi di Batanghari, seperti Muara Tembesi yang menjadi basis perjuangan kesatuan-kesatuan TNI cukup menggembirakan. Pemerintahan sipil berjalan lancar dan berhasil mengendalikan situasi ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, walaupun di bawah bayang-bayang harga karet yang tidak menentu. Keadaan bahan pangan yang sebagian besar diimpor dari daerah lain maupun luar negeri pada saat itu masih terjangkau rakyat dan masyarakat merasa aman/tentram. Saat itu yang menjabat Kepala Polisi Kewedanaan adalah Inspektur Polisi Darwis.

Di beberapa tempat strategis, seperti di Tanah Minyak, diperkuat lagi pengawalannya untuk menjaga kemungkinan sabotase atau serangan dari pihak Belanda. Hal ini mengingat adanya laporan intelejen yang menyatakan bahwa pihak Belanda bermaksud menguasai wilayah Republik Indonesia. Terbukti banyak terjadi kontak senjata antara para pejuang dengan pasukan Belanda, seperti di Medan (Medan Area), di Palembang (Pertempuran Lima Hari Lima Malam), di Semarang (Pertempuran 5 hari), di Ambarawa (Pertempuran Pelajar Ambarawa), dan di tempat lainnya di Indonesia.

Berbagai pertempuran tersebut meletus sebagai akibat dari sikap Sekutu yang menjengkelkan rakyat Indonesia, bahkan NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) bertindak tidak sesuai dengan misi yang diemban AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) di Indonesia. Misi AFNEI meliputi 1) menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang; 2) membebaskan para tawanan perang dan menerima interniran Sekutu; 3). melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan; 4) menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil; 5) menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang.

Panglima Besar Jenderal Soedirman menginstruksikan kepada semua jajaran kesatuan TRI di Indonesia berjuang menghadapi tentara agresi Belanda sampai titik darah penghabisan. Instruksi Panglima Besar ini didengar pada 9 November 1948 yang dikenal dengan "Perintah Siasat" Nomor 1 dengan menggariskan: 1). Cara-cara perlawanan terhadap agresi dan pendudukan tentara Belanda agar tidak merugikan pertahanan posisi strategis; 2). melaksanakan politik bumi hangus; 3). melaksanakan pengungsian dan penyusupan ke daerah lawan yang diduduki Belanda; konsekwen memegang prinsip non kooperatif terhadap penguasa dan aparat Belanda. Pembentukan daerah perlawanan dan pemerintahan gerilya yang dikenal dengan sebutan Wehrkreise di daerah pendudukan Belanda yang ditugaskan kepada unsur-unsur satuan hijrah yang harus kembali ke daerah asalnya.

Partisipasi masyarakat Kabupaten Batanghari dalam mempertahankan kemerdekaan cukup besar. Mereka mengumpulkan dana yang dikoordinir sebuah panitia yang dibentuk oleh DPR Keresidenan Jambi untuk membeli pesawat terbang jenis Dakota. Dana ini diperoleh dari hasil karet rakyat dan minyak bumi yang keduanya merupakan primadona daerah ini (bpx).

---------------
Sumber: Peranan Permiri Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI Di Jambi 1945-1949. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi. 2009.


Selasa, 02 April 2013

SEJARAH SINGKAT PERMINYAKAN JAMBI

Awalnya di Jambi terdapat perusahaan tambang minyak yang bernama NIAM (Nederlandsch Indie Aardolie Maatschappij, yaitu perusahaan tambang minyak patungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan BPM (Bataaf Petroliuem Maatschappij). Menyerahnya Pemerintahan Pendudukan Jepang pada Sekutu pada 1945 semua tambang dan kilang minyak yang beroperasi di kawasan Sumatra Selatan dan Jambi segera diambil alih oleh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Penyerahan tambang minyak dari pihak Pemerintah Jepang, yaitu Matsuda Butai kepada pihak pemerintah Republik Indonesia dilaksanakan di Bajubang.

Sebagai tindak lanjut penyerahan tersebut, didirikan perusahaan yang diberi nama Permiri (Perusahaan Minyak Republik Indonesia) untuk mengganti NIAM. Permiri merupakan senjata strategis dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di bidang ekonomi dan persenjataan para pejuang Republik Indonesia di Kabupaten Batanghari (1945-1949).

Pemrakarsa pendirian perusahaan perminyakan di Sumatra Selatan (Permiri) adalah M. Isa tahun 1945 di Kenten Palembang. Disusul kemudian dengan berdirinya perusahaan yang sama di Prabumulih dan Jambi. Oleh karena sulitnya sarana perhubungan, Permiri Jambi jarang berhubungan dengan Permiri Palembang. Permiri Jambi wilayah kerjanya meliputi Muara Bulian, Bajubang, Sengeti, Tempino, Bayung Lencir, Sei Buaya, Kasang Jambi, dan Kenali Asam yang menjadi pusat pengolahan.

Saat berproduksi pusat pengolahan tersebut dapat menghasilkan kurang lebih 20 ton bensin, 10 ton kerosin, dan 5 ton solar per harinya, bahkan mampu menghasilkan 3.000 ton bensin per harinya. Pengolahan kilang minyak ini ditangani oleh putra bangsa Indonesia, tanpa bantuan tenaga asing. Oleh karena itu saat berlangsungnya revolusi fisik kilang minyak ini dipertahankan oleh para pejuang Jambi dengan gigih agar tidak dikuasai kembali oleh pemerintah kolonial Belanda.

Minyak hasil penyulingan di Kenali Asam tidak saja memenuhi kebutuhan konsumen di Jambi, tetapi juga dikirim ke daerah lain seperti Lubuk Linggau, Bengkulu, Sumatra Barat, Tapanuli, dan daerah lainnya.

Pada 1946 Permiri yang dipimpin oleh Kapten Tit. R. Soedarsono mendapat instruksi dari Panglima TRI Staf Komando Sumatra di Bukittinggi untuk berunding dengan AURI yang diwakili Kolonel Suyono dan Kolonel Halim Perdana Kusuma. Perundingan menghasilkan putusan agar Permiri Jambi memproduksi minyak pesawat terbang yang dipersiapkan untuk keperluan perjuangan. Hal ini kemungkinan sewaktu-waktu pembelian minyak pesawat terbang di luar negeri terputus oleh tindakan Belanda yang berlangsung pada 1946. Selain itu Permiri diminta pula berpartisipasi dalam pembuatan senjata api untuk keperluan persiapan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pembuatan senjata ini untuk mempersenjatai TRI dengan hasil cukup baik.

Divisi atau bagian pembuatan senjata ini dipimpin oleh Mayor Darko dan dibantu anggota Kesatuan TRI serta karyawan Permiri. Dalam situasi kritis masa revolusi fisik tanah minyak (sebutan untuk daerah penghasil minyak ed.) dikawal oleh Kesatuan TRI di bawah pimpinan Mayor Buiman dan secara bergilir diganti oleh A. Murad Alwi.

Keberhasilan Permiri menghasilkan minyak pesawat terbang, atas instruksi Kolonel (U) Suyono memerintahkan Permiri melanjutkan produksi minyak pesawat terbang dengan jumlah yang lebih besar. Peningkatan produksi ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan perhubungan dalam rangka persiapan penerbangan Bukittinggi, Kutaraja (Banda Aceh), Siborong-Borong (Tapanuli), Bengkulu, dan Tanjungkarang menghadapi blokade Belanda (bpx).

---------------
Sumber: Peranan Permiri Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI Di Jambi 1945-1949. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Museum Perjuangan Rakyat Jambi.