Minggu, 30 September 2012

Selempang Merah

Selempang merah merupakan sebuah perkumpulan kebatinan bernafaskan agama Islam yang dibentuk bertujuan mengusir keberadaan pasukan Belanda di Kuala Tungkal. Perkumpulan kebatinan ini beranggotakan masyarakat dari berbagai suku bangsa yang berada di Tanjung Jabung, seperti Banjar, Bugis, Jawa, Melayu, dan lain-lain. Diperkirakan anggotanya berjumlah 3.000 orang yang tersebar di sepanjang pesisir pantai Tanjung Jabung, bahkan sampai Indragiri. Perkumpulan ini merupakan fraksi barisan pejuang Hisbullah yang terbentuk sebelum terjadinya Agresi Belanda ke II (1949) dengan keyakinan perjuangannya didasarkan mengamalkan bacaan-bacaan dari Al-Quran, Hadits, dan amalan para wali.
Tentara Belanda yang berusaha memasuki kota Kuala Tungkal melalui jalur laut menghujani kota dengan tembakan arteleri pada 21 Januari 1949. Sasarannya antara lain tempat ibadah, seperti Mesjid Raya Jami' (Kuala Tungkal Ulu) dan Mesjid Agung (Kuala Tungkal Ilir). Dalam serangan tersebut Belanda meruntuhkan menara Mesjid Agung saat itu sedang ramai jamaah yang hendak melaksanakan shalat. Akibatnya para jamaah membubarkan diri menghindarkan serangan membabi buta dan mengungsi ke berbagai tempat yang dirasakan aman. Selain masyarakat, pengungsian juga dilakukan oleh staf pemerintahan dan TNI. 
Staf pemerintahan mengungsi ke Pembengis yang letaknya 7 km dari kota Kuala Tungkal. Rombongan pengungsi ini diterima oleh Camat Masdar, guru Panak, guru Sanusi, dan lain-lain. Rombongan Letda A. Fatah dan Pasirah Asmuni mengungsi ke Teluk Sialang yang letaknya 9 km dari kota Kuala Tungkal. Mereka diterima oleh Datuk Haji Mustafa dan Datuk Abd. Razak di desa Betara (Sungai Gebar). Rombongan pengungsi lainnya menuju Tungkal I, Pematang Bulu, bahkan Pematang Lumut.
Pada hari yang sama (21 Januari 1949), tepatnya jam 16.00 pasukan Belanda berhasil menguasai Kuala Tungkal. Membalas serangan tersebut, pada 22 Januari 1949 Panglima Adul menemui Kh. M. Daud Arief yang berada di Parit Haji Yusuf (Tungkal V) untuk berkonsultasi rencana serangan balasan. Serangan belasan yang direncanakannya itu dilaksanakan esok harinya (23 Januari 1949) oleh Pasukan Selempang Merah yang dipimpin oleh Abdul Samad. Abdul Samad yang dikenal dengan julukan Panglima Adul berasal dari Desa Parit Selamat berkekuatan 24 orang menyerang kedudukan pasukan Belanda di Kuala Tungkal. Anggota Pasukan Selempang Merah ini bercirikan mengenakan pita berwarna merah. Pada penyerangan ini terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda yang berusaha mempertahankan kedudukannya di Kota Kuala Tungkal.
Pada 28 Januari 1949 satu regu pasukan TNI yang dipimpin oleh Letda A. Fatah L. juga bergerak dari Desa Pembengis menuju Kota Kuala Tungkal untuk melakukan penyerangan. Penyerangan kedudukan pasukan Belanda juga dilakukan pada 13 Februari 1949 oleh gabungan barisan Selempang Merah dan TNI. Penyerangan bersama antara TNI dan barisan Selempang Merah berkekuatan 115 orang. Dalam penyerangan ini Barisan Selempang Merah hanya menggunakan senjata tradisional, seperti parang dan badik. Mereka berangkat dari Parit Selamat menuju Kuala Tungkal dengan pasukan yang terbagi menjadi empat bagian yang masing-masing dipimpin oleh Abdul Samad, H. Saman, H. Nafiah, dan Zaidun.
Dalam penyerangan bersama ini Barisan Selempang Merah dipimpin Panglima Adul, sedangkan TNI dipimpin Serma Murad Alwi bersama Serma Buimin Hasan (CPM) yang bergerak dari Parit Bakau menuju Kuala Tungkal. Penyerangan ini dilandasi keyakinan bahwa apabila gugur mereka mati syahid demi negara, bangsa, agama, dan Kota Kuala Tungkal.
Dalam peristiwa penyerangan ini barisan Selempang Merah menggunakan 11 perahu. Satu di antara kesebelas perahu tersebut (urutan ke 3) bertemu pasukan Belanda di tengah laut, Panglima Adul beserta anak buahnya segera melepaskan tembakan. Seketika itu juga terjadi tembak menembak dan Panglima Adul segera melompak ke laut berenang menuju kapal Belanda. Tujuannya agar dapat naik ke atas kapal Belanda. Saat memegang bagian jangkar kapal, Panglima Adul diberondong peluru senjata Belanda hingga tewas tenggelam di laut Sungai Pengabuan. Gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. A. Hamid, pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh H. Saman yang selama ini mendampingi Panglima Adul dalam penyerangan terhadap Belanda.
Beberapa kali melakukan penyerangan dari laut yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban, para tokoh pemimpin Selempang Merah dan TNI memutuskan mengalihkan penyerangan dari daratan.Untuk melakukan penyerangan melalui darat ke Kuala Tungkal, terdaftar lebih kurang 1.000 orang partisipan, tetapi hanya 441 orang terseleksi ikut dalam penyerangan ini, dan sisanya disiapkan sebagai pasukan cadangan.
Terpenuhinya semua persiapan, pada 23 Februari 1949 di bawah pimpinan H. Saman sejumlah 441 orang yang terdiri dari anggota Barisan Selempang Merah, TNI, Kepolisian, pegawai pemerintah, pamong desa, alim ulama, dan masyarakat lainnya menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. Serangan ini merupakan serangan terbesar dan terbaik persiapannya dibandingkan dengan serangan-serangan yang dilakukan sebelumnya. Dalam penyerangan ini terdapat tokoh-tokoh masyarakat, seperti Mayor Kadet Madhan A.R yang mewakili Komandan Sektor 1023 Front Tungkal Area; H. Syamsuddin selaku Ketua Front Rimba; M. Sanusi selaku Wakil Ketua Front Rimba; Masdar Ajang selaku Camat Tungkal Ilir; Komandan Polisi Zulkarnain Idris; Agen Polisi H. Aini, Dahlan Rayisi, Bustami, dan lain-lain.
Dalam penyerangan ini pasukan dibagi menjadi 21 kelompok yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok dan pemberangkatan dilakukan dari Desa Pembengis. Sebelum subuh menjelang, pasukan yang diketuai oleh H. Saman menyerang Kota Kuala Tungkal dengan membakar rumah-rumah di sekitar tempat yang dijadikan tempat tinggal tentara Belanda. Kurang lebih 3 jam pertempuran, Barisan Selempang Merah mengundurkan diri kembali ke Pembengis dengan korban sebanyak 30 orang pejuang tewas, tidak diketahui korban dari pihak tentara Belanda.
Semenjak penyerangan tersebut, tentara Belanda membuat rintangan-rintangan kawat berduri di sekeliling kamp mereka agar TNI dan Barisan Selempang Merah tidak berani lagi menyerang Belanda. Kenyataannya, TNI dan Barisan Selempang Merah tidak surut menghentikan penyerangannya. Tentara Belanda yang keluar dari kamp mengadakan patroli selalu dihadang oleh TNI dan Barisan Selempang Merah. Pada 8 Maret 1949 kembali gabungan pasukan TNI dan Barisan Selempang Merah berkekuatan 150 orang yang dipimpin H. Saman menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. Dalam penyerangan ini 12 orang anggota Barisan Selempang Merah gugur.
Selanjutnya pada 16 Maret 1949 Panglima Camak, pemimpin Barisan Selempang Merah dari Sungai Undan memimpin 250 pasukan menyerang Kuala Tungkal. Turut dalam penyerangan ini 25 anggota TNI yang dipimpin oleh Mayor Kadet Madhan A.R. Dalam penyerangan ini pasukan diberangkatkan dari Mesjid Tua Pembengis. Oleh karena tidak seimbang persenjataan banyak anggota Barisan Selempang Merah gugur, termasuk Panglima Camak bersama 90 orang anggotanya.
Menyimak uraian di atas, selempang merah merupakan atribut yang dikenakan para pejuang yang tidak semua orang dapat mengenakannya. Untuk dapat mengenakannya mereka harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Barisan Selempang Merah merupakan merupakan barisan pejuang rakyat Kuala Tungkal yang rela berkorban mengusir penjajah Belanda demi mempertahankan kemerdekaan semata-mata karena Allah (bpx).

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. 2009. Perjuangan Pasukan Selempang Merah Menghadapi Agresi Militer ke II di Tanjung Jabung Barat 1949. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Museum Perjuangan Rakyat Jambi.

Rabu, 05 September 2012

Dialog Sejarah:


PAHLAWAN NASIONAL: SULTAN THAHA
(Oleh: Drs. H. Junaidi T. Noor, M.M)

Sultan Thaha Saifuddin adalah Pahlawan Nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden RI No.079/TK/Tahun 1977, tanggal 24 Oktober 1977. Penganugerahan gelar tersebut sebagai penghargaan atas tindak kepahlawanannya dalam membela bangsa dan Negara. Pengharagaan itu memang layak, karena masa perjuangan pahlawan Sultan menentang penjajah Belanda berlangsung lama, yaitu 46 tahun (1858-1904). Perlawanan yang sedemikian lama dengan luas cakupan wilayah yang melebar membutuhkan penanganan dan strategi yang mantap. Semua sumber daya dan komponen pendukung berada dalam jejaring koordinasi dapat berfungsi pada status dan kedudukannya masing-masing. Katakanlah sebagai suatu sistem, perlawanan Sultan dalam masa yang begitu lama ditopang oleh kemampuan strategis dan manajerial yang mumpuni.
Kemampuan mendayagunakan sumber daya perangkat perang atau pasukan, dalam suatu perang gerilya dukungan lingkungan masyarakat di kantong-kantong perlawanan ikut menentukan sifat gerilya itu sendiri. Kekuatan pemukul pada serangan tiba-tiba atau penghadangan pasukan Sultan terhadap pasukan dan patroli Belanda. Selain kemampuan “hit and run”, juga dukungan kemampuan strategi dari mata-mata intelijen dan analisis kekuatan sendiri maupun lawan.
Pengejaran Belanda terhadap mobilitas kedudukan Sultan Thaha sebagai pemimpin besar pasukan Fisabilillah dapat dideteksi Belanda sejak dikuasainya Muaro Tembesi di tahun 1901. Itupun di tahun 1903 Belanda punya keyakinan posisi keberadaan Sultan, yaitu Pematang Tanah Garo.
Terlepas dari legenda adanya tunggangan (kendaraan) dalam wujud dua ekor harimau peliharaan, Sultan Thaha Saifuddin menunjukkan kemampuannya sebagai seorang Panglima, pemimpin perang gerilya dengan strateginya yang terkenal, yaitu bertemu langsung dengan (utusan) Belanda dalam setiap perundingan yang digagas Belanda. Perundingan tersebut sebenarnya merupakan wahana lobi menekan Sultan untuk takluk dan diikat oleh perjanjian.
Strategi perjuangan yang dipatri sumpah setia untuk memegang teguh bahwa “Sultan tidak mati” menimbulkan berbagai versi ketidakpercayaan bahwa yang dimakamkan di Muaro Tebo bukan jasad Sultan Thaha, tetapi jasad salah seorang panglima atau pengawalnya. Belanda jelas tidak dapat memastikan pula karena tidak mengenal wajah dan sosok Sultan Thaha, karena Sultan berpantang berhadapan muka dengan Belanda.
Strategi pemindahan secara cepat dan persebaran front perlawanan, menunjukan perlawanan terorganisir, terangkai dalam komunitas yang fleksibel dan langsung. Strategi pemindahan ini dilakukan melalui tipe berantai maupun melalui cara yang tak kenal lelah.
Selain itu, mengadakan hubungan perdagangan dengan perwakilan dagang atau negara, seperti Turki, Inggris atau Amerika yang ada di Semenanjung Malaka melalui sistem barter hasil hutan dan perkebunan dengan persenjataan maupun suplai kebutuhan hidup Sultan dan pasukannya di daerah uluan DAS Batanghari. Penggunaan kamuflase perahu/ kapal dagang (kapal canon/kenen) ternyata cukup ampuh untuk melewati barikade dan patrol Belanda di DAS ilir Batanghari, termasuk pusat markas Belanda di Jambi maupun di Muaro Kumpeh. Simpul-simpul pasokan kebutuhan Sultan dipegang oleh Pangeran Wiro Kesumo sebagai anggota Pepatih Dalam, sahabat, dan besan Sultan Thaha Saifuddin beserta beberapa orang lainnya.
Alasan perlawanan Sultan Thaha Saifuddin bukan saja adanya markas Belanda di Muaro Kumpeh atau tambahan kekuatan pasukan Belanda. Tambahan pasukan ini didatangkan dari Batavia ke Muaro Kumpeh di bawah pimpinan Mayor Van Langen dengan 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu Belanda pada 25 September 1858, tetapi jauh melebihi itu.
Tekanan Belanda melalui perjanjian Sungai Baung (Rawas) pada 14 November 1833 yang ditandatangani Sultan Muhammad Fachruddin dengan Letkol Michiels begitu menyakitkan hati Sultan Thaha. Betapa tidak, Belanda menguasai dan melindungi Kerajaan Jambi. Bahkan penguasaan itu memberi kebebasan Kerajaan Belanda untuk mendirikan tempat pertahanan di mana saja yang menurut Belanda strategis dan dapat mendukung kepentingan Belanda. Dampak perjanjian ini berdirilah markas patrol Belanda di Muaro Kumpeh yang sejak semula dipandang strategis sebagai pintu keluar masuknya pelayaran DAS Batanghari. Pendirian di lokasi tersebut cukup taktis untuk mengawasi pusat pemerintahan Kesultanan Jambi, baik pertahanan maupun ekonomi melalui perdagangan hasil bumi, perkebunan dan hutan.  
Perjanjian Sungai Baung ini oleh Residen Palembang, yaitu Proeforiut dikukuhkan ke dalam bentuk traktat pada 15 Desember 1834. Dalam traktat tersebut dipertegas ikatan penguasaan yang lebih melebar dengan detail menambah ekspansi sebagaimana dimuat dalam perjanjian tambahan yang kemudian disyahkan parlemen Belanda pada 21 April 1835. Perjanjian ini ditandatangani Sultan Muhammad Fachruddin dan Pangeran Ratu Martaningrat Abdurrahman serta disaksikan para pembesar kerajaan dan keluarga istana Tanah Pilih.
Perjanjian tanggal 21 April 1835 tersebut memberikan kewenangan Pemerintah Belanda memungut cukai ekspor-impor barang-barang. Sebagai ganti rugi, Sultan dan Pangeran Ratu menerima f. 8000 setahun, dan Pemerintah Belanda memiliki hak monopoli penjualan garam. Yang menyakitkan dan ironisnya, dalam perjanjian tersebut dinyatakan Jambi menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam kerajaan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada penggelapan berkenaan dengan cukai yang menjadi hak dan kewenangan Pemerintah Belanda.
Aplikasi perjanjian Sultan Jambi dengan pemerintah Belanda itu menjadi bahan kajian dan rekaman perbandingan dalam diri Sultan. Perbandingan baik ketika menuntut ilmu di Tanah Rencong Aceh Darussalam maupun perjalanan muhibahnya ketika diangkat sebagai Pangeran Ratu mendampingi pamannya yang dinobatkan sebagai pengganti Sultan Muhamad Fachruddin, yaitu Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855).
Pada masa Raden Thaha menjadi Pangeran Ratu ia menyaksikan dan merasakan campur tangan Belanda terlalu jauh, berlindung pada perjanjian-perjanjian yang ditandatangani ayahnya (Sultan Muhammad Fachruddin). Jiwa patriotnya mulai menggelembung. Tanpa musyawarah dengan sang pamannya sebagai Sultan, Pangeran Ratu Thaha Saifuddin mengadakan kontak dengan misi dagang Amerika (Walter Gibson) untuk pembelian senjata. Perjanjian ini merupakan wujud persiapan perlawanannya mengusir Belanda dari Jambi.
Upaya Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam  mempersiapkan perlawanan bersenjata, pembangkangan, dan penghindaran pemungutan cukai diketahui Belanda. Walter Gibson ditangkap dan dibawa ke Batavia. Asisten Residen Strom Van s’Graven Sande dari Palembang dikirim untuk menginspeksi kantor Belanda di Muaro Kumpeh dan menghadap Sultan Abdurrahman Nazaruddin untuk memperingati Sultan agar mematuhi perjanjian (1834,1835) dan melarang memperdagangkan persenjataan. Peringatan ini tidak digubris. Orang Jambi tetap melakukan penghindaran diri dari pemungutan cukai. Orang Palembang tetap mengadakan hubungan dalam jual-beli bahan peledak, mesiu, dan senjata api. Pengawasan Belanda terhadap Kesultanan Jambi semakin keras dan ketat. Akibat tekanan-tekanan Belanda itu menimbulkan ketidaksenangan dan menuai perlawanan. Perlawanan tersebut masih terselubung karena tidak diperkuat peralatan dan perlengkapan yang sebanding dengan peralatan Belanda.
Awalnya perlawanan rakyat Jambi dengan Belanda masih bersifat pemboikotan penjualan hasil bumi, hutan, maupun perdagangan lain yang dimonopoli Belanda. Akibat pemboikotan ini, kantor dagang di Muaro Kumpeh ditutup, karena tidak ada transaksi penjualan hasil bumi kepada Belanda. Kondisi ini tidak diinginkan Belanda. Berbagai upaya untuk mengadakan perjanjian baru terus dilakukan kendati tidak mendapat tanggapaan, apalagi Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam kewenangannya sebagai Perdana Menteri semakin membatasi kemungkinan diadakannya pertemuan dengan Belanda.
Ketika Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dinobatkan menjadi Sultan pada tahun 1856, ia tidak mengajukan restu ke Pemerintah Belanda. Sultan hanya memberitahukan penobatannya, karena yang dibuat melalui perjanjian adalah pelanggaran terhadap kedaulatan Sultan yang mengarah pada jalan pencaplokan kesultanan. Dengan berani Sultan Thaha membatalkan semua perjanjian dengan Belanda yang dibuat secara paksa oleh ayahnya.
Sikap perlawanan yang ditujukan Sultan sangat mengejutkan Belanda. Apalagi beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 1857 Belanda mengetahui Sultan mengutus Pangeran Ratu Martaningrat menyampaikan surat kepada Sultan Turki (masa itu diakui sebagai khalifah dunia Islam) melalui Perwakilan Kesultanan Turki di Singapura untuk mengumumkan larangan campur tangan atas urusan dalam negeri Jambi bagi semua kekuatan di kawasan itu (Taufik Abdullah, 1984). Tak ada jalan lain, Belanda mengancam menangkap Sultan dan membuangnya ke Batavia. Sultan tak gentar, bahkan mempersiapkan pasukan menyerang Muaro Kumpeh.
Belanda kembali menawarkan perundingan sambil memperkuat diri dengan mendatangkan kapal perang dengan 800 personil ke Muaro Kumpeh pada akhir Agustus 1858. Perundingan gagal dan Belanda memutuskan mengirim pasukan ke Jambi, sekaligus mengultimatum Sultan Thaha untuk menandatangani perjanjian baru. Apabila menolak, Sultan akan diganti dan diasingkan ke Batavia. Ultimatum dan pemaksaan ini dijawab Sultan “Kerajaan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan akan kami pertahankan dari perjanjian atau perkosaan oleh siapapun juga dengan tetesan darah yang penghabisan, tidak ada pedoman yang lebih celaka dari pada ketakutan“ (A. Mukti Nasrudin,1986). Sultan semakin gigih mempersiapkan perlawanan.
Tanggal 25 September 1858, Mayor Van Langen dengan kekuatan militernya menyerbu Jambi. Semama 2 hari terjadi pertempuran sengit dan pasukan Sultan terpaksa mundur setelah berhasil menenggelamkan kapal perang Houtman. Istana Tanah Pilih berhasil dikuasai Belanda yang sebelumnya dibumihanguskan oleh Sultan sendiri.
Sebelum terjadinya penyerangan Belanda ke Tanah Pilih Jambi, Sultan Thaha Saifuddin mengadakan pertemuan dengan semua pangeran dan pembesar Kerajaan Jambi. Pertemuan tersebut membahas persiapan bahan makanan yang cukup di basis-basis pedalaman. Mereka juga bertekad tidak akan menyerah kepada Belanda dan tidak berkhianat kepada teman seperjuangan maupun kepada negeri.
Persiapan yang dilakukan dari sisi perlawanan rakyat adalah penggeseran pusat pemerintahan dan perlawanan ke hulu DAS Batanghari berjalan dengan baik. Muaro Tembesi ditetapkan sebagai benteng pertahanan untuk menghadang Belanda dan Markas Komando Pusat Perlawanan, sebagian lain ke Lubuk Ruso dan Dusun Tengah. Untuk menjalankan roda pemerintahan Sultan Thaha di Muaro Tembesi, ditunjuk Pangeran Hadi sebagai Kepala Bala Tentara, Pangeran Singo sebagai Kepala Pemerintahan Sipil, dan Pangeran Lamong dipercaya menjabat Kepala Keuangan (Zuraima,1996). Upaya memperkuat mesin perangnya, selain secara estafet menanamkan semangat juang kepada rakyat, Sultan juga mengadakan kapal dagang pengangkut hasil Jambi ke luar negeri untuk ditukar dengan senjata. Kapal tersebut diberi nama “Canon atau Kenen” yang sebagian besar diawaki pelaut Inggris. Kapal Kenen ini adalah kapal Inggris yang dirombak sedemikian rupa oleh Pangeran Wiro Kusumo dan Temenggung Jafar menjadi kapal dagang.
Bermodalkan persenjataan yang cukup modern di masa itu, Sultan membangun pasukan fisabilillah berkekuatan 20.000 personil dibawah asuhan pelatih yang didatangkan dari Aceh Darussalam. Pasukan fisabilillah ini kemudian dipecah ke dalam tiga Front Komando (Usman Meng, Zuraima: 1996), yaitu wilayah Muaro Tembesi, Batang Tembesi, Serampas, Sungai Tenang, Merangin, Mesumai, Tantan, Pelepat, Senamat, Tabir sampai ke Kerinci berada dibawah komando Tumenggung Mangku Negoro dengan dibantu para Panglima Pangeran H.Umar bin Pangeran H.Yasir dan Depati Parbo. Mulai dari Muaro Tembesi, sepanjang Sungai Batanghari, Batang Tebo, Batang Bungo, Jujuhan, Tanjung Simalidu langsung dipimpin Sultan Thaha dan dibantu oleh saudaranya Pangeran Diponegoro (Pangeran Dipo). Selanjutnya dari Muaro Tembesi kehilir Kumpeh, Muaro Sabak dan Tungkal dibawah Komando Raden Mattaher, dibantu oleh Raden Pamuk dan Raden Perang.
Kepada para panglima di masing-masing wilayah diamanatkan untuk memobilisasi kekuatan rakyat, meningkatkan pertahanan di wilayah masing-masing dan melakukan sabotase atau penyerangan tiba-tiba pada pos-pos atau patroli Belanda tanpa menunggu komando Sultan. Bahkan Raden Anom berhasil merebut beberapa pucuk senjata di Balai Pertemuan dan beberapa pos Belanda di Jambi (April 1895). Serangan mendadak juga terjadi di Sarolangun Rawas (Februari 1890) dibawah pimpinan H. Kedemang Rantau Panjang dibantu beberapa Hulubalang, Belanda sangat terkejut oleh serangan tiba-tiba seperti itu, apalagi didukung oleh peralatan yang cukup modern.
Tidak mengherankan apabila Sultan melakukan pembagian wilayah penyerangan dan penyerangan secara mobil, juga terhadap patroli-patroli yang dilakukan Belanda dalam upaya menangkap terhadap Sultan Thaha. Terjadilah pertempuran sporadis di masing-masing wailayah cukup memusingkan Belanda dan terpaksa Belanda memperkuat pertahanannya dengan mendatangkan marsose (pasukan istimewa) dari Aceh dan Palembang.
Sementara itu, di tahun  1893 Pangeran Diponegoro dan Pangeran Kusen membangun kantor bea cukai di Muaro Sungai Tembesi, Muaro Sikamis, Sungai Aro. Kegiatan ini jelas memukul upaya Belanda memungut cukai atas barang-barang yang dibawa dari pedalaman. Barter hasil Jambi yang dilakukan Sultan tetap berjalan melalui DAS Batanghari tanpa dapat terdeteksi Belanda.
Pihak Belanda pun tidak mengetahui bahwa di jantung Batang Tabir terbangun rumah besak (istana) di Pematang Tanah Garo yang sebagian bahan bangunannya dipasok dari Jambi dan Singapura oleh Pangeran Wiro Kusumo. Bahkan lepas dari pengamatan Belanda di Jambi, Sultan pun sempat melaksanakan pernikahan anaknya dengan Putra Said Idrus gelar Pangeran Wiro Kusumo di rumah besak Pematang Tanah Garo selama satu bulan secara meriah. Ketertutupan pertahanan dan kediaman keluarga Sultan dari pengamatan Belanda ini antara lain adanya kesetiaan pengikut dan rakyatnya atau kemungkinan pengalihan perhatian Belanda yang lebih besar ke daerah lain.
Sumpah setia (Setih Setio) para pengikut mengikuti anjuran Sultan bahwa “Apabila keadaan memaksa untuk menyerah kepada Belanda, berpura-pura lah kamu menyerah. Apabila ada kesempatan Belanda menanyakan dimana tempat Sultan Thaha Saifuddin, janganlah kamu menunjukan tempat itu. Sumpah ini tetap dipegang kuat dan menyebabkan Belanda kewalahan mendeteksi keberadaan Sultan dan pertahanannya.
Medan pertempuran Sultan Thaha berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai garis strategis perlawanannya. Pusat komando tersebar dalam mobilitas kepemimpinan seorang panglima yang konon didukung oleh kemampuan spiritual dan hewan kendaraan (harimau) yang juga setia mendampingi Sultan bergerak dari satu front ke front lain.
Menghadapi ketidakmampuan operasi militer belanda lewat patroli yang sering diserang dengan tiba-tiba atau adanya aral rintang di permukaan sungai, anak-anak sungai DAS, pihak belanda selalu mengupayakan mengadakan perundingan. Sultan dengan teguh hati tetap menolak upaya Belanda tersebut. Sultan tidak mau berunding dan menyatakan: “Saya tidak mau berunding dengan Belanda. Apabila saya berunding (tatap muka) dengan mereka, hilanglah amal saya selama 40 hari “.
Pada tahun 1894, Sultan Thaha akhirnya mengizinkan Pangeran Ratu mengadakan pertemuan dengan Roodt Van Oldenber Nepelt di Muaro Ketalo. Sultan mengikuti perundingan dari kamar sebelah ruang pertemuan. Perundingan tersebut gagal, karena Belanda tetap menghendaki kesultanan Jambi berada dibawah kekuasaan Belanda. Sebaliknya Sultan tetap pada pendiriannya, bahwa urusan Kesultanan Jambi sepenuhnya tidak dapat dicampuri Belanda.
Gagalnya perundingan tersebut, Belanda tetap berupaya menangkap Sultan. Untuk itu penguasa Belanda dengan gencar mengadakan patroli dan menambah personil untuk menggempur pusat pertahanan Sultan di Muaro Tembesi. Sebelum tindakan  militer,  Belanda  mengirim kepala staf angkatan perangnya G.W. Beeger ke Jambi untuk mengkoordinasikan data intelijen dan informasi yang mendukung operasi militer besar-besaran. Peta-peta topografi disempurnakan, terutama mengenai sungai, jalan-jalan tikus antar dusun di daerah Jambi, maupun jalan kecil yang menghubungi Rawas dengan Jambi. Data dan informasi tersebut segera diolah, karena Belanda mendapat informasi yang cukup merisaukan, yaitu adanya penyelundupan senjata api repeater sampai 1500 buah. Pada 4 September 1890 kembali tim intel Belanda dikirim ke sekitar Muaro Tembesi untuk mengamati dan membuat perhitungan strategis militer menyusul adanya informasi pedagang dari Sumatera Barat yang diharuskan membayar cukai di Sungai Aro.
Awal November 1900, kapal-kapal penyelidik bersenjata sudah dekat Muaro Tembesi, tapi show of force itu tidak dilanjutkan, karena Belanda masih tetap berupaya mengadakan perundingan. Selain itu pihak Belanda sedang merampungkan program pembangunan jalan darat dari Jambi ke Muaro Tembesi sebagai sarana pendukung mobilisasi pasukan infantri dan peralatan serta perbekalan perang. Alur-alur sungai pun semakin disempurnakan untuk pengerahan kapal-kapal perangnya dari Jambi.
Kapal-kapal penyelidik belanda yang berlayar sampai hulu Batanghari (Teluk Kayu Putih) tidak mendapat gangguan. Sikap penduduk pun cukup bersahabat, tidak memusuhi Belanda. Rupanya sikap itu sesuai perintah Sultan Thaha agar Belanda tidak mencurigai adanya pos-pos pertahanan pasukan Sultan.
Sultan menilai gangguan terhadap kapal penyelidik tersebut akan berdampak pada mobilisasi pasukan yang lebih besar, sementara itu Sultan sendiri sedang menghimpun kekuatan dan persiapan kemungkinan serangan besar-besaran ke Muaro Tembesi.
Pada 21 Maret 1901 pasukan Belanda dari Palembang tiba dan membangun benteng di Muaro Tembesi tanpa ada bentrokan dengan pasukan Sultan atau Pangeran Diponegoro. Kendati pendudukan Belanda di Muaro Tembesi berlangsung cepat, tapi Belanda tidak berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Sultan dan pasukannya. Para kepala dusun atau rakyat yang dipanggil ambtenar Belanda tetap bersahabat tapi tetap membungkam.
Pencarian terus dilakukan atas dasar laporan Christian tertanggal 20 Februari 1901, bahwa Sultan Thaha berada di Pematang Dipo di Parunusan yang terletak di tepian sungai Tabir. Sungai itu ditebari batang-batang kayu sehingga kapal kecil pun tak dapat melayarinya. Laporan lain, kepada komando angkatan darat menginformasikan posisi penting jalan setapak antara Parunusan ke Pematang yang harus dikuasai untuk masuk ke tempat berkumpulnya para pembesar Kesultanan. Patroli harus sering dilakukan untuk mengganggu konsentrasi Sultan. Dalam laporan tertanggal  12 Juni 1901 disarankan untuk bertindak tegas terhadap Sultan dan menutup Muaro Tabir. Operasi penangkapan terus dijalankan dengan pengerahan pasukan bersenjata atau setidak-tidaknya mendorong Sultan keluar dari persembunyiannya.
Suasana yang dianggap tenang oleh Belanda dalam pendudukan di Muaro Tembesi, ternyata terganggu oleh penyerangan kedudukan kontroler di Sarolangun pada 30 Mei 1901. Pada 6 Juni 1901 beberapa pos di tepi sungai Batanghari juga diserang. Lampu-lampu di seberang Muaro Tembesi berhasil dilenyapkan oleh pasukan Sultan pada 11 Juli 1901 dan pada 27 Juli 1901 pasukan patrol Belanda ditembaki dengan gencar oleh pasukan Sultan. Pada 13 Juli 1901 pasukan Belanda yang sedang berpatroli di Singkut ditembaki sehingga satu orang juru tembak Belanda tews dan dua orang lainnya menderita luka.
Serangan-serangan di Singkut tersebut mendorong Belanda menambah kekuatan pasukan Ambon dari Batalyon Garnizun Magelang. Perlawanan semakin seru walau akhirnya pasukan Sultan meninggalkan Singkut dan tidak seorang pun yang menyerah. Benteng-benteng perlawanan, seperti Tanjung Limbur, Limbur, Merangin, Pelayangan, Sekancing, Limbur Tembesi, Datuk Nan Tigo, Kuto Rayo, Sungai Manau, Sungai Alai, dan Muaro Siau berturut-turut berhasil diduduki pasukan Belanda. Walaupun demikian Sultan Thaha dan pasukannya masih tetap melakukan serangan-serangan bergerilya.
Belanda akhirnya menggerakan pasukan-pasukan yang ada di Bayung Lincir, Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Sijunjung, Tebo, dan Jambi untuk melakukan serangan serentak ke wilayah Tabir setelah didapat kepastian posisi Sultan berada disana.
Tampaknya strategi penyempitan wilayah pertahanan dan perlawanan Sultan yang dilakukan Belanda cukup efektif menjerat posisi Sultan Thaha. Rupanya anti gerilya belanda memutus komunikasi Sultan, Belanda menerapkan serangan ovensif agresif dengan dukungan personil yang banyak dan persenjataan yang kuat. Personil intel yang fleksibel dan akurat prajurit pribumi dan isyarat seorang Demang yang dipaksa Belanda membuka rahasia keberadaan Sultan Thaha..  
Pasukan infantri yang dipimpin Letnan G.Badings menyelusuri Sungai Tabir menuju Bangko Pintas pada 23 April 1904. Juga dari penapalan, Remaji, dan Muaro Sunga Api (Rantau Api) bergerak pasukan infantr pada 25 April 1904. Semua pasukan tersebut serentak maju ke Betung Bedaro. Situasi tersebut disadari Sultan yang pada saat itu berada di Rumah Besak Pematang Tanah Garo. Malam itu tanggal 26 April 1904 Sultan berpesan pada Hulubalang “Menurut gerak perasaan saya kemungkinan besar malam ini akan terjadi pertempuran. Kalau itu terjadi musuh tidak akan dapat menyentuh badan saya hidup-hidup, karena saya tidak rela kulit saya disentuh oleh musuh dan ditawan adalah pantang besar bagi saya”. Malam itu terbukti tekad perjuangan Sultan Thaha yang berjuang sampai titik darah penghabisan ke bumi persada ibu pertiwi. Seiring munculnya mentari di ufuk timur pada 27 April 1904, Sultan Thaha gugur dalam kancah desingan peluru Belanda dengan pedang masih tergenggam di tangan. Benarlah tak ada kata menyerah bagi sang panglima.
Sebagai seorang Panglima, Sultan Thaha Saifuddin memegang prinsip sampai akhir hayatnya tidak pernah mau berunding dengan pihak Belanda. Sultan cukup menyadari bahwa setiap perundingan dengan Belanda pada intinya adalah pengekangan dan intervensi terhadap kedaulatan kesultanan Jambi.
Untuk menghadapi siasat licik Belanda melalui perjanjian yang dipaksakan, Sultan melancarkan perlawanan gerilya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya di bawah pimpinan hulubalangnya dalam tiga front. Selain itu, sikap tidak mau bertemu Belanda semakin memoles sikap politik Sultan dalam menggelorakan semangat perjuanggannya yang belakangan menimbulkan keraguan atas wafatnya Sultan di medan laga Betung Bedaro.
Strategi gerilya Sultan dalam format modern ternyata mendapatkan prlawanan anti gerilya yang cukup ampuh menekan dan mempersempit posisi Sultan yang ditutup dengan serangan frontal ovensif berkekuatan besar. Walapunu kemudian Belanda meyakini perang dengan Sultan adalah perang tanpa perdamaian.
Pada saat terakhir ada upaya perlindungan terhadap Sultan yang dilakukan oleh Pangeran Ratu Martadiningrat pada bulan Desember 1903. Pangeran Ratu kembali ke Jambi dan menyerahkan keris kepangeranan Ratunya “Singamarjayo” kepada Residen Palembang. Tindakan ini dilakukan karena usia Sultan sudah lanjut (87 tahun dan selama 46 tahun dari umurnya dalam perjuangan). Menurut Belanda bersama penyerahan keris Singamarjayo, Pangeran Ratu juga menyerahkan keris “Siginje” sebagai perlambang kekuasaan Kesultanan.
Alur cerita ini seperti pertanda takdir berakhirnya perlawanan Sultan. Sultan Thaha memaklumi sikap proteksi terhadap dirinya dari Pangeran Ratu Martadiningrat, sedangkan Belanda menyikapi langkah itu dengan kesangsian besar bahwa tanpa keris Siginje pun Sultan Thaha akan tetap melakukan perlawanan dan dia pun tetap dipatuhi sebagai Sultan. Oleh karena itu Belanda tetap melakukan pengejaran terhadap Sultan yang tidak menyerah sampai titik darah penghabisan.
Nilai kejuangan Sultan ini tetap relevan bagi kita dalam pembangunan daerah di segala bidang, yaitu tanpa kenal menyerah terhadap berbagai kendala dan keterbatasan. Sistem zoning dalam perkuatan sumber daya merupakan salah satu perkuatan di dalam kita menyikapi wilayah kerja yang terlalu luas. Manajerial dan skill Sultan patut menjadi pegangan dalam penanganan wilayah (bpx).