Minggu, 22 Juli 2012

Pertempuran Durian Luncuk

Durian Luncuk adalah nama sebuah kelurahan di Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Di daerah ini di tahun 1949 terjadi peristiwa penyerangan besar-besaran pada kedudukan pasukan Belanda oleh pasukan STD (Sub Teritorium Djambi) dengan komandan Kolonel Abunjani. 
Peristiwa ini diawali pada 29 Desember 1948 saat pasukan STD yang sedang berbenah diri di Bangko ditembaki pesawat Belanda. Pesawat tersebut menembaki beberapa tempat, seperti kantor Pekerjaan Umum (PU), jembatan Merangin (jembatan H. Syamsuddin), dan iring-iringan kendaraan yang sedang menuju Sungai Manau. Walaupun demikian penembakan tersebut tidak menimbulkan korban jiwa. 
Penembakan ini menimbulkan kemarahan Komandan STD Kolonel Abunjani dan memerintahkan Kepala Staf Mayor Brori Masyur untuk mengumpulkan semua perwira yang berada di Kota Bangko di kediaman Komandan STD. Di dalam pertemuan tersebut terjadi dialog antara Komandan STD dengan para perwira, seperti: "Kito sudah litak dibuat Belanda ... di Jambi kito diserang .... baru beberapo hari di Bangko, kito lah diserang lagi ..... Apokah kito idak sanggup menyerangnyo balik?'. Pertanyaan komandan ini dijawab oleh para hadirin dengan serentak .... "sanggup!!!! Sasarannya pun ditetapkan, yaitu kedudukan Belanda terdekat, di Durian Luncuk.
Persiapan penyerangan mulai dilakukan, terutama persenjataan dan pengangkutannya ke Durian Luncuk. Para perwira pun mulai berangkat ke Sarolangun, Pauh, dan berakhir di Mandiangin. Terakhir sekali yang berangkat adalah komandan dengan mengenakan perahu melalui Sei Merangin menuju ke Mandiangin. Rombongan terakhir ini terdiri dari Kolonel Abunjani sebagai komandan, Mayor Brori Mansyur sebagai kepala staf, Sersan Mayor Cadet R. Suhur sebagai ajudan, Datuk Panglima Putih, Mayor Jepang Suroto, seorang Suku Anak Dalam sebagai penunjak jalan, dan 2 orang tukang kayuh perahu. Sesampainya di Mandiangin rombongan komandan menempati rumah Pasirah H. Arsyad yang letaknya di seberang Dusun Mandiangin.
Setelah beberapa hari beristirahat dan menyiapkan seluruh pasukan, pertengahan Februari 1949 rombongan Komandan STD mulai bergerak menuju Dusun Durian Luncuk dengan berjalan kaki. Sebelum memasuki Dusun Durian Luncuk, di Bukit Peranginan rombongan memasuki hutan agar dapat keluar menyerang dari belakang Dusun Durian Luncuk. Perjalanan memasuki hutan dengan membawa senjata yang berat sangatlah sulit, tetapi risiko dicurigai musuh berkurang apabila dilakukan melalui jalan raya.
Setelah sekian lama berjalan sampailah rombongan di jalan raya, tetapi jalan tersebut masih jauh dari Dusun Durian Luncuk, tepatnya di Dusun Jelutih. Oleh karena masih banyak waktu serangan tersisa, pasukan diistirahkan agar kondisi mereka pulih kembali. Setelah beristirahat, dalam suasana malam yang gelap, pasukan per pasukan bergerak maju hati-hati dengan didahului oleh 2 orang pengintai, yaitu Mayor Jepang Suroto dan Sersan Mayor Cadet R. Suhur. Sebelum melakukan penyerangan pasukan berkumpul di pendakian bukit, di muka rumah Pasirah Sarbaini.
Komandan STD Kolonel Abunjani didampingi Kepala Staf Mayor Brori Mansyur melalui penghubung (ordenans) mengumpulkan semua komandan pasukan untuk memberi perintah sasaran penyerangan pada tempat kedudukan Belanda di Pasar Durian Luncuk dengan pembagian: 1) senapan mesin ringan di sebelah hulu dusun ditangani oleh Letnan Muda Syamsuddin; 2) senapan mesin berat cal. 12,7 di barat camp Belanda ditangani oleh Kapten Daud dan kawan-kawan didampingi Sersan Mayor Cadet P.Cl Lubis yang kemudian membentuk Pasukan B 17; 3) hilir dusun ditempatkan 2 orang yang bertugas memutuskan kabel telpon sehingga hubungan Belanda dengan induk pasukannya di Muara Tembesi terputus; 4) Mayor Suroto akan ber-jibaku menyerbu ke dalam barak Belanda dengan bersenjatakan pedang samurai; 5) di seberang Sungai Tembesi ditempatkan Kapten Sulaiman dengan pasukannya; dan 6) jam tembak pukul 03.30.
Setelah menyocokan jam, Komandan Pasukan masing-masing membawa pasukannya dengan hati-hati di tempat yang ditentukan.Tepat pukul 03.30 tanggal 18 Februari 1949 penyerangan dimulai dan dalam penyerangan ini banyak timbul korban di pihak Belanda.Untuk mengenang peristiwa heroik tersebut, didirikanlah sebuah tugu perjuangan yang dikenal sebagai Tugu Juang Durian Luncuk. (bpx).

----------
Sumber: Ringkasan Latar Belakang Tugu Juang Durian Luncuk Kabupaten Batanghari oleh R. H. Suhur. Makalah Ceramah Kebudayaan Daerah Jambi 1991-1992.

Rabu, 18 Juli 2012

Dialog Sejarah

PERJUANGAN RADEN MAT TAHIR DALAM MENENTANG KOLONIALISME DI JAMBI
(Oleh: Drs. Fachruddin Saudagar, M.Pd.)

Pendahuluan
Salah seorang panglima perang Jambi yang sangat terkenal dan ditakuti Belanda adalah Raden Mat Tahir. Osman Situmorang (1973) dalam skripsinya yang berjudul Raden Mattahir Pahlawan Jambi menuliskan nama asli Raden Mat Tahir adalah Raden Mohammad Tahir. Raden Mohammad Tahir sering dipanggil masyarakat sebagai Raden Mat Tahir. Penulisan nama Raden Mat Tahir menurut berbagai sumber dijumpai berbagai versi, seperti G.J. Veld menuliskannya sebagai Raden Mat Tahir dan atau Mat Tahir; Raden Syarif (1969) menuliskan Raden Mat Tahir; Osman Situmorang (1973) menuliskan Raden Mattahir; Ratumas Siti Aminah Ningrat menuliskan Raden Mat Tahier; J. Tideman menuliskan nama Raden Mat Tahir sebagai Mattaher; Elsbeth Locher-Scholten (1994) menuliskan Mat Tahir; Mukti Nasruddin (1989) menuliskan Raden Mattahir; dan Rumah Sakit Umum Raden Mattaher menuliskan Raden Mattaher. 
Raden Mattaher yang biasa dipanggil Mat Tahir adalah anak Pangeran Kusin Bin Pangaren Adi. Pangeran Adi adalah saudara kandung Sultan Thaha Syaifuddin. Dengan demikian Sultan Thaha Syaifuddin adalah kakek bagi Raden Mat Tahir. Mat Tahir dilahirkan di Dusun Sekamis, Kasau Melintang Pauh, Air Hitam, Batin VI pada tahun 1871. Ibunya kelahiran Mentawak, Air Hitam Pauh yang dahulunya adalah daerah tempat berkuasanya Temenggung Merah Mato. Ayah Raden Mat Tahir, yaitu Pangeran Kusin wafat di Mekkah, sedangkan Mat Tahir sendiri gugur dalam pertempuran melawan tentara Belanda di Dusun Muarojambi pada Jumat subuh, 10 September 1907. Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Jambi di tepi Danau Sipin Jambi.

Perjuangan
Di awal tahun 1900 Raden Mat Tahir bersama Pangeran Maaji gelar Pangeran Karto dan Panglima Tudak Alam dari Mentawak melakukan penyergapan pada konvoi 8 jukung Belanda yang ditarik oleh kapal "Musi" di Tanjung Menyaringan. Kapal dan jukung tersebut membawa senjata, perlengkapan perang, dan perbekalan dari Tembesi menuju Sarolangun. Persenjataan ini diperuntukan Belanda untuk membantu militer Belanda yang sedang bertempur di Benteng Tanjung Gagak. Dalam penyergapan tersebut semua serdadu Belanda tewas dan persenjataan dirampas. Sementara itu, para pegawai dari Palembang dan Jawa yang turut dalam kapal "Musi" menyerahkan diri dan meminta perlindungan pada pasukan Raden Mat Tahir. Dampak penyerangan tersebut nama Raden Mat Tahir menjadi terkenal di masyarakat dan tentara Belanda dan berkembanglah berbagai cerita dan mitos tentang kehebatan Raden Mat Tahir. Oleh Mat Tahir sebagian senjata rampasan dikirimkan ke Tanah Garo, Merangin, Bangko Pintas, Tabir. Berita keberhasilan Raden Mat Tahir yang sampai di telinga Residen Belanda di Palembang membuat ia sangat marah.
Pada tahun 1901, pasukan Raden Mat Tahir kembali melakukan penyergapan pada pasukan Belanda yang berkedudukan di Sungai Bengkal dengan keberhasilan merampas senjata dan karaben Belanda. Dibantu pasukan Raden Usman dan Puspo Ali, dari Sungai Bengkal pasukan Raden Mat Tahir terus bergerak menyerang posisi Belanda di Merlung. Selanjutnya dari Merlung pasukan Raden Mat Tahir terus bergerak ke Labuhan Dagang, Tungkal Ulu. Bersama 40 orang pasukannya, Raden Mat Tahir dari Tungkal Ulu melalui Pematang Lumut bergerak menuju Sengeti untuk menuju Pijoan. Di Pijoan bivak Belanda diserang dan hasil memperoleh banyak senjata karaben. Oleh Raden Pamuk gelar Panglima Panjang Ambur senjata-senjata tersebut diangkut ke Jelatang.
Pasukan Raden Mat Tahir bersama Raden Pamuk dan Raden Perang gelar Panglima Tangguk Mato Alus yang membawa pasukan yang terdiri dari Suku Anak Dalam dari Bahar pada pertengahan April 1901 menyerang pasukan Belanda di Banyu Lincir (Bajung Lincir). Dalam penyerangan tersebut selain menewaskan kepala bea cukai Belanda dan pengawalnya tewas, juga dirampas senjata laras pendek dan uang sebesar f 5.000 serta 30.000 uang ringgit cap tongkat di dalam brangkas perusahan minyak. Dalam penyerangan ini seorang pasukan Raden Mat Tahir tewas dan 3 lainnya luka-luka.
Pada 1902 pasukan Raden Mat Tahir di Tanjung Gedang Sungai Alai melakukan penyerangan terhadap 30 buah jukung yang berisi serdadu Belanda. Jukung berhasil ditenggelamkan dan semua pasukan Belanda tewas. Setibanya pasukan Raden Mat Tahir di Sungai Alai, secara kebetulan sedang berlangsung perang antara pasukan yang dipimpin oleh Panglima Maujud, Pangeran Suto, Panglima Itam dari Tanah Sepanggal, Rio Air Gemuruh, Rio Gereman Tembago dari Teluk Panjang dengan pasukan Belanda. Dahsyatnya perang tersebut membuat masyarakat di sekitarnya tidak berani mengambil air minum di Batang Tebo karena banyaknya mayat pasukan Belanda yang membusuk terapung di sungai.
Setelah bertempur di Sungai Alai pasukan Raden Mat Tahir bergerak menuju Jambi untuk menyerang kedudukan Belanda di Muara Kumpeh. Dalam perang ini pasukan Raden Mat Tahir dibantu oleh Raden Seman, Raden Pamuk, Raden Perang dan para kepala kampung dari Marosebo Ilir serta Jambi Kecil. Kapal Belanda yang diserang adalah kapal perang yang baru datang dari Palembang. Konon keberhasilan penyerangan ini atas jasa seorang juru mesin kapal bernama Wancik yang merusak mesin kapal sehingga kapal tidak mampu berlayar. Juru mesin ini adalah seorang keturunan Palembang yang bersimpati dengan perjuangan Jambi. Dengan keberhasilan menyerang kapal Belanda ini Raden Mat Tahir diberi gelar Singo Kumpeh.

Menangkap Hidup Atau Mati
Menjelang akhir abad 19 Belanda menambah kekuatannya dengan mendatangkan pasukan dari Palembang, Jawa, dan Aceh ke Jambi. Mengantisipasi serangan Belanda, Sultan Thaha Syaifuddin menyusun strategi dengan membagi wilayah pertahanan, yaitu: 1) Raden Mat Tahir ditetapkan sebagai panglima perang yang wilayahnya meliputi Jambi Kecil, Air Hitam Darat, Ulu Pijoan, Pematang Lumut, Bulian Dalam, Ulu Pauh, Payo Siamang, Jelatang, dan Pijoan; 2) Pangeran Haji Umar Bin Yasir bergelar Pangeran Puspojoyo wilayahnya meliputi Batang Tembesi hingga Kerinci; dan Sultan Thaha Syaifuddin bersama Raden Hamzah gelar Diponegoro wilayahnya meliputi Batanghari dan Tembesi.
Strategi yang disusun Sultan Thaha Syaifuddin tidak berlangsung lama karena beberapa pimpinan tewas atau tertawan, seperti Sultan Thaha Syaifuddin sendiri tewas di Betung Bedara pada 27 April 1904; Pangeran Ratu Kartaningrat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Parigi, Sulawesi Tengah; Depati Parbo dari Kerinci ditangkap dan diasingkan ke Ternate; Pangeran Haji Umar Puspowijoyo dan Pangeran Seman Jayanegara tewas di Pemunyian, Bungo di tahun 1906; Ratumas Sina di tahun 1906 ditangkap di Pemunyian; Raden Hamzah tewas di tahun 1906 di Lubuk Mengkuang; dan tahun yang sama Raden Pamuk ditangkap di Thehok, Jambi.
Raden Mat Tahir yang kerap kali berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan Belanda disebutkan sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukan, seorang lawan yang gesit, dan ditakuti. Pemerintah Belanda melalui residen di Palembang  memerintahkan pasukan marsose untuk menangkap Raden Mat Tahir hidup atau mati. Pengejaran terhadap Raden Mat Tahir pun ditingkatkan dan dengan dibantu seorang Kapten Melayu kedudukan Raden Mat Tahir di Muarojambi diserang. Serangan ini selain menewaskan Raden Mat Tahir, juga Raden Achmad gelar Raden Pamuk Kecik, dan Pak Gabuk, salah seorang pengawal Raden Mat Tahir.
Untuk memastikan kebenaran  bahwa yang tewas adalah Raden Mat Tahir, jenazah Raden Mat Tahir dibawa ke Jambi dengan menggunakan kapal "Robert" untuk diperlihatkan pada khalayak ramai. Atas permintaan para pemuka agama Islam, jenazah Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks makam raja-raja di tepi Danau Sipin, Jambi.

----------
Naskah ini disarikan dari makalah dialog sejarah yang diselenggarakan oleh Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012.

Selasa, 17 Juli 2012

Dialog Sejarah

DEPATI PARBO. PEJUANG KERINCI, JAMBI
(Oleh: Drs. Risnal Mawardi)

Biografi Depati Parbo
Depati Parbo dilahirkan di Desa Lolo, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci. Ayahnya bernama Bimbe, sedangkan ibunya bernama Kembang. Beberapa kajian mendapati bahwa nama sebenarnya Depati Parbo saat kecil adalah Ahmad Karib. Depati Parbo memiliki tiga orang saudara perempuan yang bernama Bende, Siti Makam, dan Likom. Dikabarkan bahwa Depati Parbo atau Karib sejak kecil memiliki berbagai keanehan, antara lain memiliki gigi geraham berwarna kehitaman. Oleh karena itu masyarakat setempat memanggil Karib dengan Germon Besol.
Sebagaimana di kampung lainnya di Kerinci, sebagai seorang remaja Karib juga ikut dan senang belajar bela diri silat serta ilmu agama yang dilengkapi ilmu kebatinan. Setelah dewasa Karib mempersunting seorang gadis bernama Timah Sahara dan dikaruniai seorang anak yang diberi nama Ali Mekah. Untuk mengemban tugasnya sebagai seorang suami dan ayah, Karib memilih untuk merantau ke Batang Asai mengikuti jejak sejumlah orang Kerinci merantau bekerja sebagai pendulang emas. Selain ke Batang Asai, Karib juga melanglang buana ke beberapa daerah di Sumatera Selatan, seperti Rawas. Selain mencari nafkah untuk menyambung hidup, beliau juga aktif mencari ilmu bela diri dan kebatinan. Kegiatan ini dilakukannya sejak tahun 1859 hingga 1862.
Sebagai pemuda yang cerdas dan terampil di kampungnya, Karib akhirnya dilantik dan dikukuhkan sebagai seorang depati dalam sebuah upacara tradisional kanduhai sko (kenduri pusako). Karib diberi gelar Depati Parbo. Dengan demikian Karib tidak hanya memikirkan kehidupan keluarganya saja, tetapi sebagai depati beliau juga harus memikirkan masyarakatnya, bahkan hingga ke Kesultanan Jambi.

Sebagai Pejuang
Untuk melakukan pengawasan di wilayah Gunung Raya, Belanda yang datang ke Kerinci mendirikan pos patroli pada 1900 dengan memanfaatkan tenaga pribumi sebagai kuli.  Depati Parbo bersama sejumlah hulubalang mengatur siasat untuk menyerang pos patroli tersebut. Inilah pertempuran pertama di Kerinci, tepatnya di Renah Manjuto, berkecamuk antara hulubalang Kerinci di bawah pimpinan Depati Parbo dengan pasukan Belanda. Akibat pertempuran yang terjadi pada 1901 dengan banyak korban di pihak Belanda memaksa mereka mengurungkan niat memasuki Kerinci. Walaupun demikian, pada Oktober 1901 sejumlah 120 orang pasukan Belanda yang berada di Indrapura bersiap-siap menyerang Kerinci.
Pada Maret 1902 sejumlah 500 orang pasukan Belanda di bawah pimpinan Komandan Bolmar mendarat di Muarosakai dengan Tuanku Regen sebagai penunjuk jalan ke Kerinci. Belanda menyerang ke tiga tempat di Kerinci seperti Renah Manjuto, Koto Limau Sering, dan Temiai. Perang hebat pun berkecamuk di ketiga tempat tersebut, tetapi setelah Koto Limau Sering dikuasi, pasukan Belanda tanpa kesukaran memasuki lembah Kerinci.
Dalam perang di Pulau Tengah yang dipimpin oleh seorang ulama ternama, yaitu Haji Ismail dan Haji Husin turut bergabung para hulubalang dari dusun lainnya di Kerinci. Dalam sejarah Kerinci disebutkan bahwa pertempuran di dusun ini merupakan pertempuran yang tersengit dan terlama (lebih kurang 3 bulan). Pulau Tengah diserang Belanda sejak 27 Maret 1903 melalui 3 jurusan, yaitu di timur: Sanggaran Agung-Jujun; utara: Batang Merao-danau Kerinci; barat: Semerap-Lempur Danau.
Masjid Keramat Pulau Tengah merupakan salah satu tempat yang dijadikan benteng pertahanan masyarakat dalam menghadapi Belanda. Serangan terakhir pada Pulau Tengah dilakukan Belanda pada 9 hingga 10 Agustus 1903 dengan membakar Dusun Baru, tetapi Masjid Keramat luput terbakar. Perlawanan rakyat ini dapat diselesaikan Belanda.
Terakhir pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Lolo, markas panglima perang Kerinci, Depati Parbo. Pertempuran berlangsung selama 5 hari. Akhirnya Belanda dapat membujuk Depati Parbo untuk mengadakan perundingan damai. Dalam perundingan inilah Depati Parbo ditangkap dan selanjutnya dibuang ke Ternate.
Setelah Kerinci aman pada 1927, atas permohonan para kepala mendapo di Kerinci pada Pemerintah Belanda, Depati Parbo dibebaskan dan kembali ke Kerinci.

----------
Artikel ini disarikan dari makalah yang disampaikan dalam Dialog Sejarah di Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 1912.

Senin, 16 Juli 2012

Dialog Sejarah

PERAN ABUNJANI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI JAMBI
(Oleh: Drs. Junaidi T. Noor, M.M)

Siapa Abunjani?
Abunjani merupakan anak seorang demang yang berkedudukan di Rantau Panjang, Batang Asai yang bernama Demang Makalam. Demang Makalam berasal dari Pondok Tinggi, Kerinci, sedangkan ibunya bernama Siti Umbuk berasal dari Desa Keladi. Abunjani yang lahir pada 24 Oktober 1918 merupakan anak keempat dari 5 bersaudara dengan urutan sebagai berikut: Siti Rodiah, M. Kamil, Siti Raimin, dan adiknya M. Sayuti.
Kedudukan orang tuanya sebagai demang memberi kesempatan untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan formal. Pada usia 8 tahun Abunjani bersama kakaknya, M. Kamil, dikirim ke Jambi untuk bersekolah di bawah asuhan Ali Sudin (keponakan Makalam) yang saat itu (1926) telah bekerja sebagai jurutulis (klerk) di kantor Kontrolir Jambi. Dengan beberapa pertimbangan, Makalam menitipkan kedua anaknya pada temannya yang berkebangsaan Belanda yang bekerja di BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila M. Kamil dan Abunjani mahir berbahasa Belanda.
Secara berturut-turut, tahun 1931 Abunjani berhasil menamatkan pendidikan di Hollandsc-Inlandsche School (HIS) selama 7 tahun dan tahun 1934 menamatkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bandung. Pada 1940 Abunjani mengikuti pendidikan di Middelbare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaar (MOSCVIA) di Bandung, tetapi tidak tamat karena berlangsungnya pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang ini Abunjani menamatkan pendidikan di Shonan Kao Kun Renjo (Sionanto) di Singapura selama 1 tahun. Abunjani kemudian diangkat sebagai asisten Ki Imuratyo. Pendidikan militer ini kemudian diteruskan ke akademi militer Giyugun di Pagaralam, Lahat dengan pangkat tamatan Letnan Dua (Shoi). Alumni pendidikan Angkatan Darat (Kanbu Kyoyiku tai) Jepang ini merupakan cikal bakal tentara nasional di masing-masing daerahnya. Abunjani sebagai Sudantyo Giyugun dari tahun 1942-1945 yang mempunyai kemampuan bahasa Belanda, Inggris, Jepang sangat berguna dalam kiprahnya di dunia bisnis selepas menanggalkan karir militernya. 

Peran Abunjani Di Masa Awal Kemerdekaan.
Menyusul menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, masyarakat Indonesia mulai bergerak untuk memerdekakan diri. Berbagai gerakan di pusat pemerintahan Jakarta membawa situasi yang berkembang cepat untuk mewujudkan kemerdekaan tersebut.
Berita kekalahan Jepang oleh sekutu cepat beredar dalam 2 garis. Garis pertama adalah reaksi cepat memanfaatkan peralihan kekuasaan Jepang ke tangan elit-elit politik Indonesia dengan tokoh-tokoh militer Indonesia yang mendapat kesempatan dari pejabat Pemerintahan Jepang di Jakarta. Garis kedua, jalur Pemerintah Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan alasan kalahnya Jepang maka Indonesia kembali dalam status jajahan Belanda. Bagi Belanda, Proklamasi yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 adalah hadiah Jepang karena usaha-usaha yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merupakan rangkaian proes yang dipersiapkan bersama Jepang. Selain itu, kemerdekaan Indonesia itu berarti hilangnya penguasaan atas negara jajahan sejak abad XVII.
Berita Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tersebar di pelosok Indonesia melalui berita-berita radio yang dikirim oleh orang-orang Indonesia yang bekerja di kantor radio dan telegrap Jepang. Dr. A. K. Gani di Palembang mengabarkan via telepon kepada R. Soedarsono di pertambangan minyak Bajubang Jambi pada 18 Agustus 1945. Abdullah Karta Wirana, seorang tokoh pergerakan Jambi yang bekerja sebagai pejabat penting di Jawatan Penerangan Jepang (Hodokan) pada 20 Agustus 1945 menggalang tokoh politik dan pemuda Jambi untuk bersatu dalam sikap memerdekakan Jambi. 
Bendera Merah Putih dikibarkan di puncak menara air oleh para pemuda Jambi, antara lain R. Hoesen, Akipo, dan Amin Aini. Sementara itu, Kantor Pengadilan Jepang (dekat RS. Thersia sekarang) beberapa pejuang, seperti Zuraida, Nuraini, Sri Rexeki, Nurlela, dan Nursiah menurunkan bendera Jepang (Hinomaru) dan menggantinya dengan menaikan bendera Merah Putih. Praktis pada 22 Agustus 1945 bendera Merah Putih berkibar di Jambi dan beberapa kota lainnya di Keresidenan Jambi. Pada tanggal tersebut merupakan awal gerakan kemerdekaan Indonesia di Jambi, yaitu terbentuknya Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang diketuai oleh Abunjani. API ini bertugas menjaga ketertiban, keamanan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan.
Menindaklanjuti pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan Badan Penolong Keluarga Perang (BPKKP) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban  umum di Jakarta, pada 25 Agustus 1945 terbentuklah KNI Jambi yang dilantik pada Oktober 1945. Selain  mengetuai BKR, Abunjani juga ditunjuk mengetuai kelompok pemuda dari KNI. Pada 5 Oktober 1945 BKR diganti namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan komandannya Abunjani yang berpangkat Kolonel.
Pada 24 Juni 1946 TKR pun dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan Jambi kesatuannya menjadi Resimen II Devisi II Jambi sebagai bagian dari Sumatera Selatan. Sebelumnya, pada 17 Juni 1946 diadakan penyempurnaan susunan Dewan Pertahanan Daerah Keresidenan Jambi yang diketuai Inu Kertapati dan Kolonel Abunjani sebagai wakil ketua. Residen II Divisi II pada 3 Juni 1947 dirubah lagi menjadi Resimen 43 Jambi dan terakhir menjadi Brigade Garuda Putih. Pada 10 September 1947 menyusul Agresi Belanda, Keresidenan Jambi dibentuk Komando Daerah Militer Jambi dengan komandannya Kolonel Abunjani dan wakilnya Letnan Kolonel Tituler R. Soedarsono. Komando Daerah Militer Jambi kemudian pada 1 Juni 1948 menjadi TNI Sub Teritorium Djambi (STD) sebagai bagian TNI Sub Komando Sumatera Selatan (Sub KOSS) dengan komandannya Kolonel Abunjani.
Dalam kedudukannya sebagai Komandan STD Jambi merangkap pimpinan Komando Daerah Militer Brigade Garuda Putih dipegang sejak Juni 1948 hingga Januari 1949. Adanya kebijakan rasionalisasi di kalangan TNI, pangkat Kolonel Abunjani diturunkan menjadi Letnan Kolonel. Walaupun demikian, Letnan Kolonel Abunjani tetap di militer dengan jabatan rangkap sebagai Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan khusus daerah Jambi, juga sebagai Komandan STD sampai pertengahan Januari 1950.Terhitung Februari 1950 Letnan Kolonel Abunjani mengundurkan diri dari TNI beralih profesi menjadi seorang pengusaha di Jambi dan Jakarta.
Salah satu peran Abunjani dalam menunjang perjuangan di masanya adalah membentuk Badan Keuangan Perjuangan yang memobilisasi pedagang karet ke Singapura dengan menyisihkan 10% keuntungan untuk perjuangan. Usaha tersebut selain dapat membantu perjuangan Pemerintah Pusat, sewa-beli Pesawat Catalina (RI 05) sebagai pesawat penghubung ke Sumatera Barat maupun Yogyakarta dalam jaringan pemerintahan, juga memasok perlengkapan dan perbekalan pasukan dengan sistem barter komoditi lada, vanili, karet, dan lain-lain.
Peran yang perlu dicatat kepemimpinan Letnan Kolonel Abunjadi adalah memindahkan pusat pemerintahan dan pertahanan militer saat serangan Belanda pada 29 Desember 1948. Bersama dengan Rd. Inu Kertapati dan M. Kamil mengungsi ke pedalaman, tetapi terhenti di Sengeti. Rd. Inu Kertapati kembali ke Jambi untuk menenangkan keluarga dan masyarakat kota Jambi oleh bombardir pesawat dan serangan tentara Belanda melalui Kenali Asam dan Palmerah. Pada 1 Januari 1949 terbitlah surat kuasa Residen Jambi Rd. Inu Kertapati kepada M. Kamil, Bupati Jambi Hilir untuk meneruskan Pemerintahan Darurat Keresidenan Jambi. Dalam rapat antara unsur pemerintah dan militer di Tebo menghasilkan keputusan bahwa H. Baksan yang saat itu menjabat sebagai Bupati Jambi Ulu sebagai Residen Pemerintah Darurat Keresidenan Jambi dan Pusat Komando Militer dipindahkan ke Bangko. Walaupun mengalami berbagai gempuran, perjuangan dan pemerintahan darurat berjalan sebagaimana mestinya.

---------------
Artikel ini disarikan dari makalah yang disampaikan dalam Dialog Sejarah di Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012.