Selasa, 16 April 2013

PERJUANGAN BARISAN SELEMPANG MERAH
MENGHADAPI AGRESI MILITER BELANDA II DI TANJUNG JABUNG 1949

Barisan Selempang Merah merupakan sebuah kumpulan kebatinan yang bernafaskan Islam yang bertujuan berjuang mengusir penjajahan Belanda di Tanjung Jabung. Para anggotanya terdiri dari masyarakat dari berbagai suku bangsa yang berada di Tanjung Jabung, seperti Banjar, Bugis, Jawa, dan lain-lain. 

Barisan Selempang Merah merupakan barisan pajuang rakyat yang keyakinannya mengamalkan bacaan-bacaan yang bersumber dari ayat suci Al-Quran, Sunnah Rasul, dan amalan para Wali Allah. Barisan ini terbentuk sebelum Agresi Belanda II dengan anggotanya berjumlah 3.000 orang yang tersebar sepanjang pesisir pantai timur Tanjung Jabung, bahkan sampai ke Indragiri Hilir (Riau). Barisan ini fraksi dari barisan Pejuang Hisbullah. 

Pada masa Agresi II, tentara Belanda memasuki Kuala Tungkal melalui jalur laut dengan menggunakan kapal perang. Pada 21 Januari 1949 Kota Kuala Tungkal mendapat serangan cukup dahsyat dari Belanda dengan melepaskan tembakan beruntun dan membabi buta. Tembakan tersebut sasarannya adalah tempat ibadah, seperti Mesjid Raya Jami' Kuala Tungkal dan Mesjid Agung Kuala Tungkal (Ilir). Dalam serangan tersebut tentara Belanda berhasil meruntuhkan menara Mesjid Agung dan jamaah shalat membubarkan diri untuk menyelamatkan jiwanya. 

Akhirnya penduduk beserta Barisan Selempang Merah dan TNI terdesak untuk mengungsi di beberapa tempat, seperti 1). rombongan pemerintahan beserta stafnya menuju Desa Pembengis dan diterima oleh Camat Masdar, Guru Panak, Guru Sanusi, dan lain-lain; 2) rombongan Letda A. Fatah Lasside dan Pasirah Asmuni yang menuju Teluk Sialang diterima oleh Datuk Haji Mustafa dan Datuk Abd. Razak di Desa Batara (Sungai Gebar); 3) rombongan lainnya ada yang mengungsi ke Tungkal I, bahkan ada yang ke Pematang Lumut dan Pematang Bulu. 

Setelah tentara Belanda menguasai Kota Kuala Tungkal pada pukul 16.00 sore, 3 anggota Selempang Merah seperti H. Saman, Makruf (Aruf), dan Masrun, atas perintah Panglima Adul mengadakan pengintaian Kota Kuala Tungkal dengan menggunakan jukung (perahu kecil).

Pada malam Sabtu tanggal 22 Januari 1949 sebelum membalas serangan Belanda, Panglima Adul pergi ke Parit Haji Yusuf (Tungkal V) menemui Tuan Guru KH. M. Daud Arief untuk berkonsultasi rencana membalas serangan Belanda. Pada 23 Januari 1949 Barisan Selempang Merah yang dipimpin oleh Abdul Samad (Panglima Adul) yang berasal dari Parit Selamat menyerang kedudukan Belanda di Kota Kuala Tungkal. Serangan Panglima Adul bersama 42 anggotanya memakai tanda sehelai "selempang merah". Pada penyerangan ini terjadi kontak senjata dengan tentara Belanda, dan korban pun berjatuhan di kedua belah pihak. 

Pada 28 Januari 1949, satu regu pasukan TNI yang dipimpin oleh Letda A. Fatah Lasside bergerak dari Desa Pembengis menuju Kota Kuala Tungkal. Pertemuan satu regu pasukan TNI dan tentara Belanda di Kota Kuala Tungkal memicu pertempuran yang berlangsung sekitar 1 jam. Dalam pertempuran tersebut beberapa tentara Belanda menjadi korban, sedangkan seluruh pasukan TNI kembali dengan selamat ke Pembengis.

Pada 13 Februari 1949 barisan Selempang Merah bersama pasukan TNI mengadakan serangan bersama dengan kekuatan 115 orang. Barisan Selempang Merah bersenjatakan parang, badik, dan senjata tradisional lainnya berangkat dari Parit Selamat menuju Kota Tungkal. Ke 115 orang ini dibagi menjadi 4 bagian yang masing-masing dipimpin oleh Abdul Samad, H. Saman, H. Nafiah, dan Zaidun.

Saat serangan serentak dan mendadak ini barisan Selempang Merah dipimpin Panglima Adul dan TNI dipimpin Serma Murad  Alwi bersama Serma Buimin Hasan (CPM) bergerak dari Parit Bakau ke Kuala Tungkal. Perlawanan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa apabila mereka gugur, mereka rela mati syahid demi negara, bangsa, agama, dan Kota Kuala Tungkal.

Dalam peristiwa ini Barisan Selempang Merah menggunakan 11 perahu dan ketika perahu di urutan ke 3  bertemu kapal perang Belanda di tengah laut, Panglima Adul beserta anak buahnya melepaskan tembakan. Seketika itu juga terjadi tembak menembak. Panglima Adul segera melompat ke laut dan berenang menuju kapal Belanda untuk naik ke kapal, tapi saat memegang jangkar kapal segera diberondong tembakan. Panglima Adul tewas di laut Sungai Pengabuan. Gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. A. Hamid, pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh H. Saman yang selama ini mendampingi Panglima Adul dalam menyerang kedudukan Belanda di Kota Kuala Tungkal.

Setelah beberapa kali melakukan penyerbuan dari laut, para tokoh Barisan Selempang Merah maupun TNI mengalihkan penyerbuannya dari arah daratan.Untuk mempersiapkan penyerbuan ke Kota Kuala Tungkal terdaftar kurang lebih 1.000 orang yang ingin bertempur, dan setelah diadakan seleksi diterima 441 orang, sisanya cadangan.

Setelah semua persiapan selesai dilakukan, termasuk ajaran/amalan Selempang Merah di bawah pimpinan H. Saman, pada 23 Februari 1949 sejumlah 441 orang yang terdiri dari anggota Barisan Selempang Merah, TNI, Kepolisian, Pagawai Sipil, Pamong Desa, dan alim ulama menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. Serangan ini merupakan yang paling besar jumlahnya dan terbaik persiapannya dibandingkan serangan-serangan sebelumnya. Dalam penyerangan ini antara lain terdapat 1) Sersan Mayor Kadet Madhan A. R., mewakili Komandan Sektor 1023 Front Tungkal Area; 2) H. Syamsuddin, Ketua Front Rimba; 3). M. Sanusi, Wakil Ketua Front Rimba; 4) Masdar Ajang, Camat Tungkal Ilir; 5). Komandan Polisi Zulkarnain Idris bersama Agen Polisi H. Aini, Dahlan Rayisi, Bustami, dan lain-lain.

Dalam penyerangan ini pasukan dibagi menjadi 21 kelompok yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang langsung dipimpin oleh H. Saman. Pemberangkatan dilakukan dari Desa Pembengis dan sebelum subuh pasukan menyerbu Kota Kuala Tungkal dengan membakar rumah-rumah di sekitar tempat yang dijadikan tempat tinggal Belanda. Setelah terjadi pertempuran kurang lebih 1 jam Barisan Selempang Merah mengundurkan diri kembali ke Pembengis dengan meninggalkan korban sebanyak 30 orang gugur. Demikian pula banyak korban di pihak lawan.

Semenjak terjadinya pertempuran itu tentara Belanda membuat rintangan-rintangan berupa kawat berduri di sekeliling kedudukan mereka agar TNI dan Barisan Selempang Merah tidak berani lagi menyerang. Kenyataannya, TNI dan Barisan Selendang Merah tidak pernah menghentikan penyerangannya. Tentara Belanda yang keluar dari kamp mengadakan patroli selalu dihadang TNI dan Barisan Selempang Merah. Pada 8 Maret 1949 kembali gabungan pasukan TNI dan Barisan Selempang Merah berkekuatan 150 orang yang dipimpin oleh H. Saman menyerang tentara Belanda di Kota Kuala Tungkal. Dalam penyerangan ini 12 anggota Barisan Selendang Merah gugur dan di pihak Belanda diperkirakan jatuh beberapa korban.

Di lain pihak, pada 16 Maret 1949 Panglima Camak, pemimpin Barisan Selempang Merah dari Sungai Undan, memimpin pasukan 250 orang Barisan Selempang Merah menyerbu Kota Kuala Tungkal. Turut serta dalam penyerbuan ini 25 orang pasukan TNI yang dipimpin Sersan Mayor Kadet Madhar A. R. Pasukan ini diberangkatkan dari Mesjid Tua Pembengis. Dalam penyerangan ini Panglima Camak bersama pasukannya menyerbu pasukan Belanda yang berada di dalam kamp, sementara pasukan TNI melepaskan tembakan untuk melindungi mereka. Oleh karena kekuatan senjata tidak seimbang yang mana Barisan Selempang Merah hanya menggunakan senjata tajam seperti parang, pedang, keris, badik, tombak, dan senjata tajam lainnya, Barisan Selempang Merah mengundurkan diri ke Pembengis. Dalam pertempuran ini Panglima Camak bersama 80 orang anggotanya gugur. (bpx).

---------------

Sumber: Perjuangan Pasukan Selempang Merah Menghadapi Agresi Militer Belanda ke II Di Tanjung Jabung Barat 1949. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi. 2009.

Minggu, 14 April 2013

PERLAWANAN RAKYAT SAROLANGUN MENGHADAPI 
AGRESI MILITER BELANDA KE II

Sepuluh hari setelah Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia diduduki Belanda, Kota Jambi diserang dari udara menerjunkan pasukan payung dan dari laut menggunakan berbagai jenis kapal perang. Perlawanan oleh TNI untuk mempertahankan kota dan lapangan terbang Pall Merah dilakukan dengan peralatan yang kurang memadai. Pemimpin tentara dan sipil pada malam hari meninggalkan Kota Jambi karena kota sudah dikepung tentara Belanda. 

Setelah Belanda menduduki Kota Jambi dan melancarkan operasi militernya ke berbagai tempat dalam daerah Keresidenan Jambi, pasukan TNI yang tersebar di berbagai tempat melakukan konsolidasi kesatuan-kesatuannya sebagai persiapan untuk mengadakan serangan balasan dengan menggunakan teknik perang gerilya. Demikian pula dengan pasukan-pasukan pejuang rakyat dalam kesatuan laskar-laskar dan barisan-barisan perjuangan. 

Pada 13 April 1949 Belanda menyerang pertahanan TNI di Desa Pauh Sarolangun dan mendapat perlawanan sengit dari TNI. Oleh karena persenjataan tidak seimbang, pasukan H. Teguh mundur sehingga hari itu Belanda dapat menguasai Desa Pauh. 

Esok harinya Belanda meneruskan penyerangan ke arah Sarolangun, tetapi mereka mendapat kesulitan karena TNI dan para pejuang telah membuat rintangan dengan merobohkan pepohonan serta memutuskan beberapa jembatan. Tentara Belanda melakukan serangan darat, sungai, dan udara menyerang pos-pos pertahanan TNI yang berada di Dusun Batu Ampar, Lidung, dan Ladang Panjang. Serangan tentara Belanda ini mendapat perlawanan sengit dari pihak TNI. 

Sarolangun saat itu dipertahankan oleh satu kompi dari Batalyon Gajah Mada yang dipimpin oleh Kapten R. A. Rahman Kadipan dan beberapa perwira lainnya, antara lain Letnan Satu A. Sama, Letnan Dua M. Nawawi, Letnan Dua Mahmud Maloha, seorang perwira Jepang yang berpartisipasi membantu perjuangan Republik Indonesia Mayor Suroto, dan lain-lain.

Melihat situasi semakin gawat dan pasukan Belanda mendekati Sarolangun, berbagai bangunan, seperti asrama TNI eks Banteng, kantor-kantor pemerintahan, dan gudang dibumi hanguskan oleh TNI dibantu rakyat pejuang. Pemerintahan Kewedanan dipindahkan ke Karsio. Pada 18 April 1949  Belanda menduduki Sarolangun. Komandan Sektor 1012 R. A Rahman Kadipan bersama pasukannya mengundurkan diri ke Desa Tanjung Batin VIII arah Bangko. Sementara itu Komandan Sub Sektor 1012 Letnan Muda Nangyu bersama pasukannya membuat rintangan dengan menebangi pepohonan untuk direntangi di tengah jalan raya dan beberap jembatan diputuskan. Untuk mendampingi Komandan Sektor 1012 Kapten A. Rahman Kadipan diangkat A. Roni sebagai camat militer dan Rasyiddin Amin sebagai penerangan yang dapat menyelamatkan pemancar radio. Dengan bantuan pemancar radio yang dikelola Rasyiddin Amin inilah STD dapat berhubungan dengan para pejuang di daerah lain, bahkan sampai di daerah Aceh dapat memonitor situasi perang gerilya.

Saat jatuhnya Pauh dan Sarolangun Komandan Batalyon Gajah Mada mengangkat 1). H. Teguh sebagai Komandan Sektor Bangko dan Pemenang dengan wakil Letnan Dua J. Henulili yang berkedudukan di Pemenang; 2). Kapten R. A. Rahman Kadipan sebagai Komandan Sektor Tanjung Batin VIII dengan wakil Letnan Muda Nangyu yang berkedudukan di Dusun Tanjung; 3). Letnan Satu Tasrif sebagai Komandan Sektor Rantau Panjang Margoyoso dengan wakil Sersan Mayor Kadet R. Soehoer yang berkedudukan di Rantau Panjang.

Setelah dua hari Sarolangun diduduki Belanda, pasukan kecil TNI yang terdiri dari 8 tentara yang dipimpin oleh Letnan Muda Nangyu bermaksud membongkar jembatan Sarolangun yang terletak di Dusun Bernai. Baru saja mulai membongkar jembatan, penduduk Dusun Bernai memberitahukan bahwa Belanda sudah berada di Dusun Lidung yang jaraknya kurang lebih 7 km. Akhirnya belum selesai membongkar jembatan, Nangyu dan anak buahnya mundur dengan menebang pepohonan untuk rintangan jalan sampai Dusun Sungai Baung. Di Dusun Sungai Baung terdapat pasukan TNI/CPM yang dipimpin Sersan Mayor Kasim beserta anak buahnya, antara lain Kopral Sahar dan Prajurit Satar.

Esok harinya satu regu tentara Belanda berpatroli sampai di Dusun Sungai Baung dan terjadilah kontak senjata dengan pasukan Nangyu. Dalam kontak senjata ini tidak jatuh korban yang berarti, hanya seorang anak perempuan berusia 9 tahun terkena peluru nyasar.

Pasukan Nangyu dan Kaim mundur dari Sungai Baung ke Dusun Tanjung Batin VIII, sementara itu Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan bersama 20 prajurit TNI bertahan. Sebelum Belanda sampai di Dusun Tanjung, Letnan Muda Nangyu dan Sersan Ngadul menangkap seorang kaki-tangan Belanda yang bernama Alian. Setelah diintrogasi Camat Militer A. Roni Sani, Ajun Inspektur Polisi M. Ali Hanafiah, dan AIP. II Arijas Syarif, diputuskan hukuman tembak mati pada kaki-tangan Belanda tersebut.

Berdasarkan perkiraan, dalam waktu dekat Belanda akan merebut Dusun Tanjung, atas perintah Komandan Sektor, staf pemerintahan kecamatan yang dipimpin A. Roni Sani dan beberapa anggota polisi mundur ke Karsio, tempat pemerintahan Kewedanaan Sarolangun berada.

Beberapa hari kemudian Belanda menyerang TNI di Dusun Tanjung sehingga terjadi kontak senjata. Oleh karena tidak berimbangnya persenjataan, pasukan Rahman Kadipan berjuang secara gerilya. Dalam pertempuran di Dusun Tanjung ini Prajurit I M. Nur dari TB tertembak kakinya dan seorang pejuang bernama Aliudin dari Dusun Dalam tertembak tangan kanannya.

Setelah pertempuran di Desa Tanjung pasukan yang dipimpin Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan beserta wakilnya Letnan Muda Nangyu beserta para pemuda pejuang mundur secara terpisah-pisah. Ada yang menuju Kubang Ujo dengan menggunakan perahu, termasuk Letnan Muda Nangyu, Sersan Mayor R. Syahbudin, Sersan Simanjuntak, dan lain-lain. Di Kubang Ujo mereka bertemu Letnan Front Pauh. Mereka yang mundur ke Limbur antara lain Sersan Mayor Mat Jangkung, Sersan Wahid Bego, Kopral Rozak Nur, Kopral Prawito, dan beberapa orang lainnya. Mereka membuat pertahanan di Dusun Limbur Tembesi. Komandan Sektor R. A. Rahman Kadipan beserta beberapa orang anak buahnya mundur ke selatan.

Jatuhnya pertahanan TNI di Dusun Tanjung, Belanda mengalihkan kegiatannya ke daerah-daerah lain. Pada pertengah bulan Juli 1949 Belanda menyerbu pertahanan TNI di Kubang Ujo. Adanya kegiatan Belanda tersebut, Komandan STD memindahkan para perwiranya, antara lain: 1). Kapten H. Teguh diangkat menjadi Komandan Kompi I/Sektor Bangko/Pemenang, sedangkan Kapten M. Noer Komandan Sektor Kubang Ujo menggantikan Kapten Rahman Kadipan; 2). Letnan Muda Noorsaga dengan Surat Perintah Nomor 62/SC/1949 Tanggal 25 Mei 1949 dari Sektor 1056 dipindahkan ke Muaro Bungo Sektor 1012, dan digantikan sementara Kapten M. Daud yang selanjutnya pada akhir Juni dipindahkan ke Muaro Bungo dan menyerahkan tugasnya kepada Letnan Dua J. Henuhili.

Saat itu pos pertahanan STD terdepan di Kubang Ujo dipimpin Kapten M. Nur yang dapat berhubungan ke Pemenang dan Bangko. Pertahanan di STD di Pemenang dipimpin Letnan Dua J. Henuhili dengan penempatan pasukan: 1). Satu pasukan 30 orang dipimpin Sersan Mayor Kandung ditempatkan di pinggir Sungai Merangin; 2). di Ilir Dusun ke arah Sarolangun terdapat pos penjagaan 5 orang dipimpin Kopral Darmansyah dengan tugas selain sebagai pos pengawal terdepan, juga memungut 10% bea cukai dari pedagang yang keluar-masuk; 3). gudang perlengkapan (beras, kopi, gula, dan lain-lain) di tempatkan di rumah pasirah dengan dikawal 7 orang yang dipimpin Sersan Mayor Budiman dan Sersan Mayor Effendy; 4); Komandan Sektor Letnan Dua J. Henuhili dengan pasukan sebanyak 20 orang menetap di pinggir pasar Pemenang dengan Pos PHB dipimpin Sersan Mayor Bachrun yang dapat cepat berhubungan dengan Kubang Ujo maupun Bangko (STD).

Pada 25 Juli 1949 Belanda secara besar-besaran menyerang pertahanan, sehingga terjadilah kontak senjata yang hebat di Kubang Ujo. Belanda terus maju dari Kubang Ujo dan sampai di Pemenang pagi hari jam 06.00 tanggal 26 Juli 1949 sehingga terjadi tembak-menembak. Di hari yang sama sekitar pukul 17.00 pasukan Belanda meneruskan penyerangan ke Dusun Sungai Ulak di bawah pimpinan Letnan Dua J. Henuhili yang mundur ke dusun tersebut. Di dusun tersebut berada Mayor Kandung, Sersan Mayor Budiman, Sersan Mayor Effendi, Kopral Mohd. Roem, dan lain-lain. Selain pasukan J. Henuhili terdapat juga pasukan Letnan Dua Tasrif yang datang dari Margoyoso/Rantau Panjang. Saat itu rakyat sedang ramai bersilaturahmi dan TNI pun ikut berlebaran dengan masyarakat setempat.

Pada pos terdepan arah Bangko ditempatkan Sersan Mayor Effendy dan Kopral Mohd. Roem bersama beberapa orang Dusun Sungai Ulak. Tujuan penempatan ini agar kedatangan tentara Belanda dapat segera diketahui. Di Dusun Sungai Ulak sendiri terjadi tembak-menembak antara pasukan TNI yang dipimpin J. Henuhili bersama masyarakat berjuang melawan Belanda. Dalam tembak-menembak ini gugur Achmad Rio Sungai Ulak, Rusdi, Mat Mahi, dan Ibrahim. Rusdi, Mat Mahi, dan Ibrahim adalah anggota pasukan gerilya. Keempat korban tersebut setelah penyerahan kedaulatan makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Bangko. Sejak jatuhnya Kota Bangko, staf STD dan staf Pemerintahan Merangin yang dipimpin M. Kamil pindah dari Muara Siau ke Tanjung Dalam Kecamatan Jangkat.

Pada ahkir Mei 1949 Belanda memasuki Sungai Pinang dan terjadilah pertempuran dengan TNI Sektor Batang Asai yang dipimpin Letnan Satu Sayuti Makalam. Tentara Belanda maju terus ke Batang Asai melalui Dusun Selango dan Payo Sikumbang. Pihak Belanda mengetahui jalan ke desa-desa tersebut atas petunjuk jalan yang dibawanya dari Sarolangun, yaitu H. Wahid, anak Pasirah Sungai Pinang.

Pada awal Juni  1949 tentara Belanda di bawah pimpinan Sersan Mayor KNIL Pattiwael memasuki Kasiro pukul 06.00 pagi. Semua anggota polisi dan aparat pemerintah sipil dapat menyelamatkan diri, kecuali sebuah charge penerangan yang dirampas Belanda.

Dalam upaya merebut kembali Kasiro, pada 8 Agustus 1949 Kapten M. Kukuh sebagai Komandan Sektor TNI Kasiro yang bermarkas di Muaro Talang Batang Asai bersama Letnan Budiman, M. Sayuti Makalam, dan Sersan Mayor Abunsari siap menggempur Kasiro. Pasukan ini berkekuatan 150 orang. Pagi harinya saat pasukan ini berkumpul dan beristirahat di Pondok VII untuk malamnya menggempur Kasiro, tiba-tiba datang seorang kurir membawa surat selebaran yang menyatakan agar semua pihak menghentikan tembak-menembak (cease fire order tanggal 10 Agustus 1945).

Akhirnya pasukan gabungan ini kembali ke posnya masing-masing dan yang tinggal hanyalah pasukan polisi di bawah pimpinan AIP I. Mohd. Ali Hanafiah untuk menghadapi pihak KNIL Sersan Ngairan yang berlakunya caese fire kembali dengan pasukannya ke Sarolangun. (bpx).

-----------------------

Sumber: Perjuangan Rakyat Sarolangun Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda ke II 1949-1950. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi. 2009. 

Minggu, 07 April 2013

PARTISIPASI RAKYAT BATANGHARI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

Perkembangan yang terjadi di Batanghari, seperti Muara Tembesi yang menjadi basis perjuangan kesatuan-kesatuan TNI cukup menggembirakan. Pemerintahan sipil berjalan lancar dan berhasil mengendalikan situasi ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, walaupun di bawah bayang-bayang harga karet yang tidak menentu. Keadaan bahan pangan yang sebagian besar diimpor dari daerah lain maupun luar negeri pada saat itu masih terjangkau rakyat dan masyarakat merasa aman/tentram. Saat itu yang menjabat Kepala Polisi Kewedanaan adalah Inspektur Polisi Darwis.

Di beberapa tempat strategis, seperti di Tanah Minyak, diperkuat lagi pengawalannya untuk menjaga kemungkinan sabotase atau serangan dari pihak Belanda. Hal ini mengingat adanya laporan intelejen yang menyatakan bahwa pihak Belanda bermaksud menguasai wilayah Republik Indonesia. Terbukti banyak terjadi kontak senjata antara para pejuang dengan pasukan Belanda, seperti di Medan (Medan Area), di Palembang (Pertempuran Lima Hari Lima Malam), di Semarang (Pertempuran 5 hari), di Ambarawa (Pertempuran Pelajar Ambarawa), dan di tempat lainnya di Indonesia.

Berbagai pertempuran tersebut meletus sebagai akibat dari sikap Sekutu yang menjengkelkan rakyat Indonesia, bahkan NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) bertindak tidak sesuai dengan misi yang diemban AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) di Indonesia. Misi AFNEI meliputi 1) menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang; 2) membebaskan para tawanan perang dan menerima interniran Sekutu; 3). melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan; 4) menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil; 5) menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang.

Panglima Besar Jenderal Soedirman menginstruksikan kepada semua jajaran kesatuan TRI di Indonesia berjuang menghadapi tentara agresi Belanda sampai titik darah penghabisan. Instruksi Panglima Besar ini didengar pada 9 November 1948 yang dikenal dengan "Perintah Siasat" Nomor 1 dengan menggariskan: 1). Cara-cara perlawanan terhadap agresi dan pendudukan tentara Belanda agar tidak merugikan pertahanan posisi strategis; 2). melaksanakan politik bumi hangus; 3). melaksanakan pengungsian dan penyusupan ke daerah lawan yang diduduki Belanda; konsekwen memegang prinsip non kooperatif terhadap penguasa dan aparat Belanda. Pembentukan daerah perlawanan dan pemerintahan gerilya yang dikenal dengan sebutan Wehrkreise di daerah pendudukan Belanda yang ditugaskan kepada unsur-unsur satuan hijrah yang harus kembali ke daerah asalnya.

Partisipasi masyarakat Kabupaten Batanghari dalam mempertahankan kemerdekaan cukup besar. Mereka mengumpulkan dana yang dikoordinir sebuah panitia yang dibentuk oleh DPR Keresidenan Jambi untuk membeli pesawat terbang jenis Dakota. Dana ini diperoleh dari hasil karet rakyat dan minyak bumi yang keduanya merupakan primadona daerah ini (bpx).

---------------
Sumber: Peranan Permiri Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI Di Jambi 1945-1949. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi. 2009.


Selasa, 02 April 2013

SEJARAH SINGKAT PERMINYAKAN JAMBI

Awalnya di Jambi terdapat perusahaan tambang minyak yang bernama NIAM (Nederlandsch Indie Aardolie Maatschappij, yaitu perusahaan tambang minyak patungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan BPM (Bataaf Petroliuem Maatschappij). Menyerahnya Pemerintahan Pendudukan Jepang pada Sekutu pada 1945 semua tambang dan kilang minyak yang beroperasi di kawasan Sumatra Selatan dan Jambi segera diambil alih oleh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Penyerahan tambang minyak dari pihak Pemerintah Jepang, yaitu Matsuda Butai kepada pihak pemerintah Republik Indonesia dilaksanakan di Bajubang.

Sebagai tindak lanjut penyerahan tersebut, didirikan perusahaan yang diberi nama Permiri (Perusahaan Minyak Republik Indonesia) untuk mengganti NIAM. Permiri merupakan senjata strategis dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di bidang ekonomi dan persenjataan para pejuang Republik Indonesia di Kabupaten Batanghari (1945-1949).

Pemrakarsa pendirian perusahaan perminyakan di Sumatra Selatan (Permiri) adalah M. Isa tahun 1945 di Kenten Palembang. Disusul kemudian dengan berdirinya perusahaan yang sama di Prabumulih dan Jambi. Oleh karena sulitnya sarana perhubungan, Permiri Jambi jarang berhubungan dengan Permiri Palembang. Permiri Jambi wilayah kerjanya meliputi Muara Bulian, Bajubang, Sengeti, Tempino, Bayung Lencir, Sei Buaya, Kasang Jambi, dan Kenali Asam yang menjadi pusat pengolahan.

Saat berproduksi pusat pengolahan tersebut dapat menghasilkan kurang lebih 20 ton bensin, 10 ton kerosin, dan 5 ton solar per harinya, bahkan mampu menghasilkan 3.000 ton bensin per harinya. Pengolahan kilang minyak ini ditangani oleh putra bangsa Indonesia, tanpa bantuan tenaga asing. Oleh karena itu saat berlangsungnya revolusi fisik kilang minyak ini dipertahankan oleh para pejuang Jambi dengan gigih agar tidak dikuasai kembali oleh pemerintah kolonial Belanda.

Minyak hasil penyulingan di Kenali Asam tidak saja memenuhi kebutuhan konsumen di Jambi, tetapi juga dikirim ke daerah lain seperti Lubuk Linggau, Bengkulu, Sumatra Barat, Tapanuli, dan daerah lainnya.

Pada 1946 Permiri yang dipimpin oleh Kapten Tit. R. Soedarsono mendapat instruksi dari Panglima TRI Staf Komando Sumatra di Bukittinggi untuk berunding dengan AURI yang diwakili Kolonel Suyono dan Kolonel Halim Perdana Kusuma. Perundingan menghasilkan putusan agar Permiri Jambi memproduksi minyak pesawat terbang yang dipersiapkan untuk keperluan perjuangan. Hal ini kemungkinan sewaktu-waktu pembelian minyak pesawat terbang di luar negeri terputus oleh tindakan Belanda yang berlangsung pada 1946. Selain itu Permiri diminta pula berpartisipasi dalam pembuatan senjata api untuk keperluan persiapan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pembuatan senjata ini untuk mempersenjatai TRI dengan hasil cukup baik.

Divisi atau bagian pembuatan senjata ini dipimpin oleh Mayor Darko dan dibantu anggota Kesatuan TRI serta karyawan Permiri. Dalam situasi kritis masa revolusi fisik tanah minyak (sebutan untuk daerah penghasil minyak ed.) dikawal oleh Kesatuan TRI di bawah pimpinan Mayor Buiman dan secara bergilir diganti oleh A. Murad Alwi.

Keberhasilan Permiri menghasilkan minyak pesawat terbang, atas instruksi Kolonel (U) Suyono memerintahkan Permiri melanjutkan produksi minyak pesawat terbang dengan jumlah yang lebih besar. Peningkatan produksi ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan perhubungan dalam rangka persiapan penerbangan Bukittinggi, Kutaraja (Banda Aceh), Siborong-Borong (Tapanuli), Bengkulu, dan Tanjungkarang menghadapi blokade Belanda (bpx).

---------------
Sumber: Peranan Permiri Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI Di Jambi 1945-1949. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Museum Perjuangan Rakyat Jambi.

Senin, 25 Maret 2013

PERTEMPURAN DI BUKIT PALOMON
(Catatan Seorang Pelaku: Raden H. Suhur)


Pada 1 Agustus 1949 dilakukan penghentian tembak-menembak antara Republik Indonesia dengan Belanda sehingga daerah kekuasaan Seksi III Kompi I Batalyon Gajah Mada Sub Territorium Jambi yang meliputi Margoyoso, Rantau Panjang, dan sepanjang Sungai Tabir belum dapat dijamah pihak tentara Belanda. Rupanya, Belanda tidak mempedulikan hal ini. Mereka terus bergerak dari Bangko menuju Rantau Panjang, dan masuk Rantau Panjang pada 13 Agustus 1949.
Memasuki 13 Agustus 1949 saya merasa gelisah, tetapi persiapan yang dapat dilakukan terus ditingkatkan. Pengawalan arah Bangko diteliti kembali dengan memeriksa segala perlengkapan utama, termasuk hubungan telpon dengan pengawalan di Rantau Panjang. 
Komandan pengawal Rantau Panjang sendiri tidak diberitahukan keberadaan saya, karena kahawatir dia diancam Belanda menunjukkan posisi saya. Malam itu saya berpindah-pindah sampai tiga kali, dan terakhir dipilihlah tempat yang diperkirakan kurang dicurigai, yaitu di pondok buruk milik Bapak Wagiran, kira-kira 20 meter dari jalan raya antara Rantau Panjang dengan jembatan Mapun Sungai Tabir. 
Kira-kira pukul 05.00 saya dan Yahya Bay dibangunkan oleh Bapak Wagiran sambil berkata: "Pak ...., Pak ............, wong Londo wis teko". Semula saya kira datang ke pondok kami. Lalu saya mengintip keluar, dan nasib baik rupanya tidak. Mereka datang dengan barisan bersenjata lengkap lewat di depan pondok buruk kami, lalu mampir ke rumah sebelah, yaitu rumah bertiang. 
Dalam keheningan pagi yang diliputi embun, terdengarlah teriakan berikut: "Segh ............., di sini ada tentara?". "Tidak ado tuan ........., Kalau idak percayo periksolah", jawaban dari atas pondok.  Jawaban ini belum berakhir, saya pun bersama Yahya keluar dari belakang rumah Pak Wagiran dan terjun ke sawah, terus mengambil arah Mampun untuk terus ke Dusun Seling. 
Saat terjun ke sawah, kami terjebak ke sebuah pondok nepok di tanah yang orangnya sedang menuang kopi  ke cangkir. Ia terkejut sambil bertanya: "Ado ..... apo ........ pak". "Belando ......". "Silokan minum pak, selagi kepunan". Kami pun minum sebentar lalu meneruskan perjalanan seraya berpesan agar tidak menceritakan tentang pertemuan ini kepada siapapun. 

Di Rantau Panjang ini terdapat 2 orang korban, antara lain Prajurit Tukini dan Paimo, tetapi Belanda belum merasa puas. Dengan dibantu rakyat setempat mereka bergerak ke arah hulu Tabir, yaitu ke Dusun Seling. Untuk menuju arah Muaro Bungo sangat sulit karena kembatan Kotoraya diputuskan, sedang jalan dihalangi kayu-kayu yang ditebang sepanjang jalan sampai batas Muaro Bungo. 

Demikian pula di Seling, terdapat dua orang korban, yaitu Sersan Sawal dan seorang pemuda bernama Baharuddin. Mengenai gugurnya Sersan Sawal perlu dicatat bahwa semula ia tertembak di kaki, tetapi Belanda yang menyuruh menyerah dijawab dengan pekikan merdeka. Dengan pekikan tersebut Belanda mengakhiri hidup Sersan Sawal dengan sebuah tembakan. 

Jika diamati, sasaran Belanda ini ke Ulu Tabir, tetapi di Bukit Mangkuk Kompi I Batalyon Gajah Mada yang dipimpin Kapten H. Teguh berada, sedangkan di jalanan terganggu Seksi III. Beberapa malam berikutnya Belanda bergerak kembali ke arah Ulu Tabir dan sesampainya di Banjar Ganduk menewaskan Kopral Chaidir.

Rombongan kami terdiri dari beberapa orang, antara lain:
  1. R. Suhur            : Sersan Mayor Cadet selaku Komandan;
  2. Yahya Bay         : Kopral CPM selaku ajudan;
  3. Achmad Syah    : Kopral CPM;
  4. Amat Coupun    : Pemuda;
  5. Pasirah Samin    : Pemuda;
  6. Matdis                : Pemuda;
  7. Tiang Panjang    : Pemuda;
  8. Ismail Dukun     : Pemuda;
  9. H. Majid Seling : Pemuda;
10. Sari                    : Pemuda;
11. Yahya                : Prajurit.

Saat menunggu ketentuan penghentian tembak-menembak, beberapa orang anggota jatuh sakit dan beberapa orang meminta izin menjenguk keluarga.

Oleh karena tinggal 6 orang lagi, kami mencari tempat yang dirasa lebih aman lagi, yaitu di Bukit Palomon. Di sini kami tinggal di sebuah pondok kosong milik nenek H. Kasim dan beliaulah yang menahan kami di sana, karena beliau kenal baik dengan orang tua dan mertua saya. Dengan demikian makanan kamipun terjamin dan diurus oleh anak-anaknya Timariah dan Suyah, dan sekali-kali ada antaran dari pondok yang berdekatan dengan pondok kami, yaitu Tipan.

Dengan ketenangan seperti ini, dini hari terdengar letusan (salvo) yang keras. Oleh karena terkejut saya terjun dari pondok dan dalam kegelapan saya tidak dapat bergerak karena masih kesakitan. Salvo yang kedua menyusul dengan komando "Ayo ....... menyerah! ...... een ........ twee ........ drie ....... vier ....! Nah, di saat inilah saya dapat bergerak tiarap ........ merangkak dan akhirnya sampai ke sungai kecil di belakang pondok untuk diseberangi. Nasib baik, Yahya Bay mengikuti dari belakang. Akhirnya sampailah kami di atas bukit di seberang Bukit Palomon.Dalam kegelapan diliputi embun pagi kami bersalaman diiringi kata-kata: "Alhamdulillah ..... kami selamat!". "Tetapi ...... bagaimana kawan-kawan lain?".

Hari berangsur-angsur terang dan dari atas bukit ini nampaklah beberapa orang rakyat memegang cangkul menggali tanah. Tidak lama kemudian orang-orang itu bersama-sama tentara Belanda turun dari Bukit Palomon ke arah Sungai Tabir. Bersamaan dengan itu kami pun turun dari bukit tempat persembunyian. Sesampainya di Bukit Palomon didapati laporan bahwa H. Madjid, Yahya (prajurit), dan Sari gugur dalam gempuran Belanda tadi malam.

Setelah mengucapkan terima kasih kami mohon diri meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Muara Kibul dengan pesan sebagai berikut:
1. Kalau ada orang menanyakan tentang kami, katakan kami juga gugur bersama H. Madjid. Jadi yang dimakamkan bukan tiga orang, tetapi lima orang, termasuk kami berdua.
2. Beras kami yang bersisa setengah kaleng digunakan untuk tahlilan nanti malam.

Amanat ini rupanya dipegang baik, sehingga berita kematian saya itu sampai ke keluarga di Jambi dan mereka pun mengadakan tahlilan. Sekarang tinggal lagi bagaimana saya menghadapi keluarga H. Madjid. Setelah dipertimbangkan baik-baik, saya harus menyerahkan diri pada orang tuanya, H. Saman di Dusun Seling, menerima risiko yang dihadapi.

Dengan penuh haru dan ketakutan saya beserta Yahya Bay pergi ke rumahnya di Seling dan melaporkan tentang kejadian tersebut. Sungguh di luar dugaan, kami mendapatkan jawaban berikut: "Aku idak sedih anakku H. Madjid tewas .... karena ajalnya sudah sampai. Cuma aku minta dengan kawan, patah tumbuh hilang berganti. H. Madjid idak ado lagi .... dan kawanlah gantinyo". Dengan kata-kata tersebut sayapun bersimpuh, dan hingga sekarang terjalinlah keluarga yang harmonis antara saya dengan keluarga H. Saman, H. Isah, H. Muchtar, dan lain-lain.

Tidak lama setelah peristiwa tersebut, timbullah ketentuan garis demarkasi antara Republik Indnesia dengan Belanda di daerah Sungai Tabir, yaitu Dusun Muara Jernih, dan para Komandan TKI dan Belanda yang berbatasan harus mengadakan perundingan. Untuk memenuhi perintah ini, saya bersama Yahya Bay dijemput pihak Belanda menuju Rantau Panjang untuk menentukan perjanjian dan peraturan lalu-lintas bagi rakyat yang keluar-masuk daerah masing-masing. Semula perundingan berjalan lancar, tapi rupanya rakyat yang berpihak kepada Belanda masih belum puas kalau kami masih hidup.

Timbullah berita-berita yang dibuat-buat, pasukan saya dari Ulu Tabir akan menggempur Rantau Panjang sehingga pihak Belanda khawatir. Untuk jaminan saya dan Yahya Bay dimasukkan ke dalam kandang kawat berduri yang terletak di tengah-tengah pasar Rantau Panjang. Setelah tiga hari ditahan, oleh karena tidak ada peristiwa penyerangan kami dilepaskan dengan permintaan maaf dari pihak Belanda. Sebaliknya, kami menghaturkan ucapan terima kasih atas layanan yang diberikan karena dilayani bukan sebagai tawanan. Setelah bebas kami kembali ke daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di Muara Kibul. (Bpx).

Selasa, 12 Maret 2013

PEMBENTUKAN PROVINSI JAMBI 1957
Oleh: Drs. H. Djunaidi T. Noor, M. M

I. Pendahuluan

Dialog hari ini pada hakikatnya adalah suatu penataan untuk menumbuhkembangkan kesadaran sejarah kita, sejarah Provinsi Jambi yang pada 6 Januari 2007 berusia 50 tahun, tahun emas bagi Provinsi Jambi.

Sebagai suatu peristiwa, tanggal 6 Januari tidak mempunyai arti yang begitu mendalam apabila kita memperingatinya sebagai seremonial dalam perayaan suatu upacara formal ataupun non formal saja. Atau tanggal tersebut hanya penanda bahwa umur Provinsi Jambi bertambah 1 tahun. 

Dapat terjadi ada pendapat bahwa yang berlalu tetaplah berlalu kenapa harus diingat-ingat apabila dirayakan. Kita tidak perlu jauh mengambil contoh, hari kelahiran kita (HUT) banyak yang kita rayakan dengan berbagai kualitas dan intensitasnya sesuai kemampuan masing-masing.

Demikian juga dengan tanggal 6 Januari 1957, kita tidak dapat meninggalkan atau melupakan apa sesungguhnya yang terjadi pada 6 Januari 1957 tersebut sehingga menjadi patut dan layak untuk kita peringati. Secara hukum tanggal 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi sebaagai termaktub dalam Peraturan Daerah Provinsi Jambi No. 1 Tahun 1970.


II. Kenapa Harus Diperingati?

Tanggal 6 Januari 1957 sebagai fakta sejarah tertuang dalam Keputusan Pleno Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang memutuskan:

1. Menyatakan Daerah Keresidenan Jambi menjadi daerah otonomi Tingkat I yang berhubungan langsung dengan Pemerintah Pusat; 
2. Mengusulkan sementara Sdr. Djamin Datuk Bagindo sebagai Residen Jambi memangku jabatan Gubernur Provinsi Jambi;
3. Kepada Daerah Provinsi Jambi dalam menjalankan tugas sehari-hari sebelum Dewan Provinsi terbentuk menurut Undang-Undang, pleno BKRD menunjuk 15 (limabelas) orang selaku Dewan Harian;
4. Dengan segera mengirim delegasi kepada Pemerintah Pusat untuk menyampaikan dan memberikan penjelasan sekitar keputusan tersebut di atas guna mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat mengenai pelaksanaannya.

Peristiwa sejarahnya.

a. BKRD bersidang membahas kondisi Jambi yang saat itu sedemikian menghangatnya untuk menjadi provinsi sendiri, lepas dari bagian Provinsi Sumatra Tengah. Keputusan sidang diambil pukul 02.00WIB;
b. Kendati tidak terpaksa, Pleno BKRD pada 5 Januari 1957 merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda Jambi yang berlangsung dari 3 hingga 5 Januari 1957.  Kongres Pemuda Jambi ini dihadiri oleh utusan dari setiap kawedanaan di daerah Jambi, organisasi-organisasi pemuda, organisasi bekas pejuang, dan utusan kampung-mapung dalam Kota Besar Jambi.Kawedanan Jambi tersebut meliputi: Jambi, Bangko, Sarolangun, Muaro Tebo, Muaro Tembesi, dan Kota Besar Jambi.

Kongres Pemuda Jambi memutuskan:
1. Membentuk Badan Kongres Pemuda Jambi yang akan memperjuangkan Provinsi Otonomi Daerah Jambi bersama-sama Badan Kongres Rakyat Jambi;
2. Menuntuk/mendesak Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) segera a)  mengesahkan/menyetujui Pembentukan Dewan Persiapan Provinsi Jambi pada 21 Desember 1956; b) memproklamasikan de facto Provinsi Otonomi Daerah Jambi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957, memutuskan hubungan dengan Provinsi Sumatra Tengah, dan berhubungan langsung ke Pemerintah Pusat;
3. Kongres Pemuda se daerah Jambi bekerja sama dengan BKRD melaksanakan tuntutan tersebut;
4. Jika BKRD tidak bertanggung-jawab atas tuntutan ini, Kongres Pemuda akan menentukan sikap tegas;
5. Kongres Pemuda se Jambi meyakini BKRD menyadari dengan sungguh-sungguh tidak akan mengkhianati perjuangan rakyat Jambi;
6. Resolusi ini disampaikan kepada Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) untuk segera mendapatkan jawaban dalam pleno BKRD pada 5 s/d 6 Januari 1957;
7. Pressure Kongres Pemuda se Jambi mendapat tempat dalam pleno BKRD karena peserta Kongres Pemuda ikut ambil bagian, bahkan ikut serta dalam penandatanganan keputusan BKRD yang bersejarah itu.

Latar belakang peristiwa dapat dicatat dari Konsideran Resolusi Badan Kongres Rakyat Jambi:

1. Tuntutan rakyat Jambi untuk daerah otonom tingkat provinsi dengan menggunakan saluran-saluran demokrasi parlemen berlarut-larut;
2. Janji-janji Pemerintah Pusat kepada utusan-utusan rakyat Jambi yang akan mengabulkan tuntutan rakyat Jambi;
3. Peninjauan-peninjauan dari Pemerintah Pusat di parlemen Republik Indonesia ke daerah Jambi berkali-kali dilakukan.

Perjuangan untuk menjadi provinsi berbenih pada saat pembentukan Provinsi Sumatra Tengah. Saat itu pada sidang Dewan Perwakilan Sumatra (DPS) 17-19 April 1946 di Bukittinggi terpaksa dilakukan voting memasukkan Keresidenan Jambi ke Sub Provinsi Sumatra Tengah bersama Sumatra Barat dan Riau yang dikukuhkan dengan SK Gubernur Sumatra No. 143 tanggal 2 Juli 1946. Aspirasi ini berlanjut bukan saja sebagai sub provinsi administratif, tetapi juga diberikan kewenangan otonomi. Melalui PP No. 8 Tahun 1947 kemudian UU No. 10 tanggal 15 April 1948, Sub Provinsi Sumatra (Utara, Tengah, dan Selatan) dikukuhkan sebagai Provinsi Sumatra. Jambi bersama Sumatra Barat dan Riau menjadi bagian dari wilayah Provinsi Sumatra Tengah.

Pembentukan kabupaten dilakukan melalui Panitia Desentralisasi Sumatra Tengah yang terbentuk pada 2 Oktober 1948 oleh Badan Eksekutif DPR Sumatra Tengah (DPST). Hasilnya adalah 11 kabupaten yang di antaranya Kabupaten Merangin dengan ibu kotanya Muaro Bungo meliputi Kewedanaan Muaro Tebo, Muaro Bungo, Bangko, dan Sarolangun; Kabupaten Batanghari dengan ibukotanya Jambi meliputi Kewedanaan Jambi, Muaro Tembesi, Kuala Tungkal, dan Muaro Sabak. Kabupaten Merangin merupakan alihan dari penyebutan Jambi Ilir. Ibukota Keresidenan Jambi adalah Jambi yang wilayahnya berstatus Kewedanaan Jambi Kota.

Banyak tokoh masyarakat menyatakan keinginan untuk lepas dari lingkungan Provinsi Sumatra Tengah dan bergabung dengan Sumatra Selatan, seperti di awal pembentukan Keresidenan Jambi sebagai bagian dari Keresidenan Palembang di tahun 1901 dan menjadi keresidenan penuh tahun 1908.

Keinginan-keinginan tersebut tidak segera terwujud, karena saat itu lebih banyak menghadapi persoalan dengan Belanda yang ingin kembali bercokol di Indonesia, termasuk penguasaan atas Jambi. Ketegangan politik dan militer dari Agresi Belanda di seluruh Indonesia mendorong pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengadakan rapat dengan Ketua Komisariat Pemerintah Pusat, Mr. T. M. Hasan (Mantan Gubernur Sumatra), Panglima Teritorial Sumatra Kolonel Hidayat, Gubernur Sumatra Tengah Mr. Nasroen, dan beberapa pegawai tinggi lainnya. Rapat tersebut memutuskan membekukan sementara Provinsi Sumatra Tengah. DPR Keresidenan dihidupkan kembali dan diberi kekuasaan penuh untuk melancarkan pemerintah dan perjuangan di keresidenan masing-masing. Pejabat pemerintah saat itu dimiliterisasi dan Jambi dimasukkan ke dalam Pemerintah Militer Sumatra Selatan.

Kondisi seperti inilah terus berlanjut dan di sela-sela itu perjuangan Keresidenan Jambi keluar dari Sumatra Tengah berlanjut hingga tahun 1953. Awal tahun 1954 wacana melepaskan diri dari Sumatra Tengah dan tidak pula bergabung dengan Sumatra Selatan semakin mengkristal untuk mendirikan provinsi sendiri melalui Front Pemuda Jambi, Kongres Pemuda se-daerah Jambi. Hasil konfrensi Pasirah-Pasirah (kepala marga) pada 18 Januari 1955, rapat raksasa Rakyat Jambi di Muaro Tebo pada 18 April 1955, dan dengan tegas dilanjutkan oleh Kongres Rakyat Jambi dalam beberapa kali pertemuan di tahun 1955, berketetapan menuntut Keresidenan Jambi dijadikan suatu daerah otonom setingkat provinsi.

Kongres Rakyat Jambi yang berlangsung pada 15 hingga 18 Juni 1955 di Kota Jambi menghasilkan pembentukan Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang beranggotakan 36 orang. Ketigapuluh enam orang tersebut, 9 orang merupakan hasil pilihan kongres, 16 orang dari unsur kewedanaan dan Kota Jambi, 10 orang mewakili partai politik, dan 1 orang bekas pejuang. Seusai kongres terjadi penambahan 2 orang anggota baru (BKRD).

Kristalisasi tekad pembentukan Provinsi Jambi tidak berjalan mulus. Berbagai pandangan muncul, di antaranya isu keinginan berprovinsi muncul dari parpol tertentu, padahal sejarah mencatat seluruh komponen masyarakat menyatakan upaya tersebut harus diwujudkan. Kendati demikian, memang terjadi pengelompokan. Kelompok pertama ingin menggabungkan Jambi ke Provinsi Sumatra Selatan; kelompok kedua, Jambi tetap berada dalam wilayah Sumatra Tengah; dan kelompok ketiga, sebagai kelompok kecil bertekad Jambi berprovinsi sendiri. Lobi-lobi dan pembahasan berlanjut yang akhirnya tercapai suatu kesatuan tekad Jambi menjadi provinsi sendiri. Berkali-kali para delegasi ke Pemerintah Pusat dan pihak-pihak penguasa lainnya, baik di Sumatra Selatan maupun Sumatra Tengah sendiri. Pemerintah Militer Sumatra Selatan maupun Pemerintah Militer Sumatra Tengah sangat mendukung sehingga terkesan duplikasi kewenangan pemerintah. Hal ini terlihat ketika peresmian Provinsi Jambi pada 8 Februari 1957 dilakukan oleh Penguasa Militer Sumatra Tengah (Dewan Banteng) Letnan Kolonel Ahmad Husein dan disaksikan oleh Panglima Teritorial II Sriwijaya Letnan Kolonel Berlian.

Tuntutan dan pernyaan-pernyataan sikap rakyat Jambi semakin meluas dengan adanya Radio Jambi beroperasi pada 4 Januari 1957. Radio Jambi ini mengudara menggunakan alat kelengkapan Zender Radio Pos, Telepon, dan Telegraf atas dasar persetujuan Kepala Kantor Telekomunikasi Palembang. Radio Jambi ini dikelola oleh Dewan Radio yang dikoordinasikan oleh BKRD dengan pimpinan (Kepala Studio) H. F. Suraty, Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Batanghari.

Perjuangan melalui utusan delegasi yang dikirim BKRD mendapat tanggapan. RRI Jakarta memberitakan bahwa sidang kabinet 8 Januari 1957 menyetujui daerah Riau dan Jambi yang menyatakan menjadi provinsi tersebut belum mempunyai kekuatan hukum dalam bentuk undang-undang. Di bawah koordinasi BKRD dikirim berkali-kali delegasi ke Pusat, Palembang, dan Bukittinggi. Secara internal pun dalam masa seperti itu BKRD mendapat tanggapan-tanggapan pro dan kontra karena lambat dan alotnya mendapat dukungan dari Pusat maupun penguasa militer dari Palembang maupun Bukittinggi.

Menyikapi kelambanan yang terjadi, pada 10 Juli 1957 Badan Harian BKRD mengadakan sidang yang satu di antara putusannya adalah pembentukan Provinsi Jambi agar dikokohkan dengan Undang-Undang Darurat. Keputusan ini mendapat dukungan politis dari DPRD Peralihan Kabupaten Merangin pada 12 Juli 1957, Batanghari 15 Juli 1957, dan DPRDP Kota Praja Jambi pada 15 Juli 1957, Parpol, dan organisasi kemasyarakatan. Persatuan Keluarga Kerinci selain mendukung Pemerintah Provinsi Jambi, juga mengharapkan Kerinci masuk ke Jambi, seperti pernyataan 16 dan 17 Juli 1957 sebagai wujud hasil Kongres Rakyat Jambi 1957. Dukungan dari berbagai lapisan masyarakat juga cukup kuat, misalnya dari Marga Jambi Kecil. Akhirnya yang ditunggu tiba, pada 7 Agustus 1957 (Rabu malam Kemis) kabinet menerima RUU Pembentukan Provinsi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau. Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada 9 Agustus 1957 di Denpasar Bali dalam bentuk Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 dan kemudian UU Darurat menjadi Undang-Undang No. 61 Tahun 1958.

Suasana gembira menyambut de facto dan de jure pendirian Provinsi Jambi, dilanjutkan lagi dengan penempatan figur ketua BKRD H. Hanafi sebagai Gubernur Provinsi Jambi sebagaimana diusulkan dan ditetapkan oleh Sidang BKRD dan dikokohkan oleh Sidang Pleno Gabungan DPRDP Kabupaten Merangin, Batanghari, dan Kota Praja Jambi.

Sesuai Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 wilayah Provinsi Jambi meliputi Kabupaten Merangin, Batanghari, Kota Praja Jambi, dan wilayah-wilayah Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir (semula merupakan bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci). Kemudian dalam UU No. 21 Tahun 1958 tanggal 10 November 1958, Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir menjadi satu kabupaten, yaitu Kabupaten Kerinci yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur KDH Provinsi Jambi M. Yusuf Singadekane atas nama Menteri Dalam Negeri.

Provinsi Jambi sendiri yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 Tahun 1957 dan UU No. 61 Tahun 1958 diresmikan pada 30 Desember 1957 di Gedung Nasional (Gedung BKOW) oleh Pejabat Gubernur Provinsi Jambi Jamin Datuk Bagindo atas nama Mentri Dalam Negeri. Kemudian pada 31 Desember 1957 di kediaman Residen Jambi anggota DPRDP dilantik oleh Pejabat Jambi, dan pada Rapat Pleno 2 Juni 1958 terpilih ketua DPRDP Provinsi Jambi H. Hanafi.

H. Hanafi dari Ketua BKRD dan dipilih sebagai ketua DPRDP kemudian menjadi calon tunggal Gubernur Jambi. Hasil sidang DPRD Provinsi Jambi pada 3 Maret 1958 mengajukan nama H. Hanafi sebagai calon Gubernur Jambi ke Mentri Dalam Negeri. Dalam Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri Sanusi Harjadinata No. Des. 71/15/29 tanggal 24 April 1958 menetapkan H. Hanafi sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi. Oleh karena H. Hanafi terjaring Operasi Sadar oleh Task Force dan beliau ditahan di Palembang, pelantikan dibatalkan dan jabatan sebagai Ketua DPRDP digantikan oleh Murat Alwi. Pada tahun 1958 dilakukan kembali pemilihan gubernur dalam Rapat Pleno DPRDP yang hasilnya memilih Letkol. M. Yusuf Singadekane sebagai Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi. (bpx).