Selasa, 16 April 2013

PERJUANGAN BARISAN SELEMPANG MERAH
MENGHADAPI AGRESI MILITER BELANDA II DI TANJUNG JABUNG 1949

Barisan Selempang Merah merupakan sebuah kumpulan kebatinan yang bernafaskan Islam yang bertujuan berjuang mengusir penjajahan Belanda di Tanjung Jabung. Para anggotanya terdiri dari masyarakat dari berbagai suku bangsa yang berada di Tanjung Jabung, seperti Banjar, Bugis, Jawa, dan lain-lain. 

Barisan Selempang Merah merupakan barisan pajuang rakyat yang keyakinannya mengamalkan bacaan-bacaan yang bersumber dari ayat suci Al-Quran, Sunnah Rasul, dan amalan para Wali Allah. Barisan ini terbentuk sebelum Agresi Belanda II dengan anggotanya berjumlah 3.000 orang yang tersebar sepanjang pesisir pantai timur Tanjung Jabung, bahkan sampai ke Indragiri Hilir (Riau). Barisan ini fraksi dari barisan Pejuang Hisbullah. 

Pada masa Agresi II, tentara Belanda memasuki Kuala Tungkal melalui jalur laut dengan menggunakan kapal perang. Pada 21 Januari 1949 Kota Kuala Tungkal mendapat serangan cukup dahsyat dari Belanda dengan melepaskan tembakan beruntun dan membabi buta. Tembakan tersebut sasarannya adalah tempat ibadah, seperti Mesjid Raya Jami' Kuala Tungkal dan Mesjid Agung Kuala Tungkal (Ilir). Dalam serangan tersebut tentara Belanda berhasil meruntuhkan menara Mesjid Agung dan jamaah shalat membubarkan diri untuk menyelamatkan jiwanya. 

Akhirnya penduduk beserta Barisan Selempang Merah dan TNI terdesak untuk mengungsi di beberapa tempat, seperti 1). rombongan pemerintahan beserta stafnya menuju Desa Pembengis dan diterima oleh Camat Masdar, Guru Panak, Guru Sanusi, dan lain-lain; 2) rombongan Letda A. Fatah Lasside dan Pasirah Asmuni yang menuju Teluk Sialang diterima oleh Datuk Haji Mustafa dan Datuk Abd. Razak di Desa Batara (Sungai Gebar); 3) rombongan lainnya ada yang mengungsi ke Tungkal I, bahkan ada yang ke Pematang Lumut dan Pematang Bulu. 

Setelah tentara Belanda menguasai Kota Kuala Tungkal pada pukul 16.00 sore, 3 anggota Selempang Merah seperti H. Saman, Makruf (Aruf), dan Masrun, atas perintah Panglima Adul mengadakan pengintaian Kota Kuala Tungkal dengan menggunakan jukung (perahu kecil).

Pada malam Sabtu tanggal 22 Januari 1949 sebelum membalas serangan Belanda, Panglima Adul pergi ke Parit Haji Yusuf (Tungkal V) menemui Tuan Guru KH. M. Daud Arief untuk berkonsultasi rencana membalas serangan Belanda. Pada 23 Januari 1949 Barisan Selempang Merah yang dipimpin oleh Abdul Samad (Panglima Adul) yang berasal dari Parit Selamat menyerang kedudukan Belanda di Kota Kuala Tungkal. Serangan Panglima Adul bersama 42 anggotanya memakai tanda sehelai "selempang merah". Pada penyerangan ini terjadi kontak senjata dengan tentara Belanda, dan korban pun berjatuhan di kedua belah pihak. 

Pada 28 Januari 1949, satu regu pasukan TNI yang dipimpin oleh Letda A. Fatah Lasside bergerak dari Desa Pembengis menuju Kota Kuala Tungkal. Pertemuan satu regu pasukan TNI dan tentara Belanda di Kota Kuala Tungkal memicu pertempuran yang berlangsung sekitar 1 jam. Dalam pertempuran tersebut beberapa tentara Belanda menjadi korban, sedangkan seluruh pasukan TNI kembali dengan selamat ke Pembengis.

Pada 13 Februari 1949 barisan Selempang Merah bersama pasukan TNI mengadakan serangan bersama dengan kekuatan 115 orang. Barisan Selempang Merah bersenjatakan parang, badik, dan senjata tradisional lainnya berangkat dari Parit Selamat menuju Kota Tungkal. Ke 115 orang ini dibagi menjadi 4 bagian yang masing-masing dipimpin oleh Abdul Samad, H. Saman, H. Nafiah, dan Zaidun.

Saat serangan serentak dan mendadak ini barisan Selempang Merah dipimpin Panglima Adul dan TNI dipimpin Serma Murad  Alwi bersama Serma Buimin Hasan (CPM) bergerak dari Parit Bakau ke Kuala Tungkal. Perlawanan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa apabila mereka gugur, mereka rela mati syahid demi negara, bangsa, agama, dan Kota Kuala Tungkal.

Dalam peristiwa ini Barisan Selempang Merah menggunakan 11 perahu dan ketika perahu di urutan ke 3  bertemu kapal perang Belanda di tengah laut, Panglima Adul beserta anak buahnya melepaskan tembakan. Seketika itu juga terjadi tembak menembak. Panglima Adul segera melompat ke laut dan berenang menuju kapal Belanda untuk naik ke kapal, tapi saat memegang jangkar kapal segera diberondong tembakan. Panglima Adul tewas di laut Sungai Pengabuan. Gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. A. Hamid, pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh H. Saman yang selama ini mendampingi Panglima Adul dalam menyerang kedudukan Belanda di Kota Kuala Tungkal.

Setelah beberapa kali melakukan penyerbuan dari laut, para tokoh Barisan Selempang Merah maupun TNI mengalihkan penyerbuannya dari arah daratan.Untuk mempersiapkan penyerbuan ke Kota Kuala Tungkal terdaftar kurang lebih 1.000 orang yang ingin bertempur, dan setelah diadakan seleksi diterima 441 orang, sisanya cadangan.

Setelah semua persiapan selesai dilakukan, termasuk ajaran/amalan Selempang Merah di bawah pimpinan H. Saman, pada 23 Februari 1949 sejumlah 441 orang yang terdiri dari anggota Barisan Selempang Merah, TNI, Kepolisian, Pagawai Sipil, Pamong Desa, dan alim ulama menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. Serangan ini merupakan yang paling besar jumlahnya dan terbaik persiapannya dibandingkan serangan-serangan sebelumnya. Dalam penyerangan ini antara lain terdapat 1) Sersan Mayor Kadet Madhan A. R., mewakili Komandan Sektor 1023 Front Tungkal Area; 2) H. Syamsuddin, Ketua Front Rimba; 3). M. Sanusi, Wakil Ketua Front Rimba; 4) Masdar Ajang, Camat Tungkal Ilir; 5). Komandan Polisi Zulkarnain Idris bersama Agen Polisi H. Aini, Dahlan Rayisi, Bustami, dan lain-lain.

Dalam penyerangan ini pasukan dibagi menjadi 21 kelompok yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang langsung dipimpin oleh H. Saman. Pemberangkatan dilakukan dari Desa Pembengis dan sebelum subuh pasukan menyerbu Kota Kuala Tungkal dengan membakar rumah-rumah di sekitar tempat yang dijadikan tempat tinggal Belanda. Setelah terjadi pertempuran kurang lebih 1 jam Barisan Selempang Merah mengundurkan diri kembali ke Pembengis dengan meninggalkan korban sebanyak 30 orang gugur. Demikian pula banyak korban di pihak lawan.

Semenjak terjadinya pertempuran itu tentara Belanda membuat rintangan-rintangan berupa kawat berduri di sekeliling kedudukan mereka agar TNI dan Barisan Selempang Merah tidak berani lagi menyerang. Kenyataannya, TNI dan Barisan Selendang Merah tidak pernah menghentikan penyerangannya. Tentara Belanda yang keluar dari kamp mengadakan patroli selalu dihadang TNI dan Barisan Selempang Merah. Pada 8 Maret 1949 kembali gabungan pasukan TNI dan Barisan Selempang Merah berkekuatan 150 orang yang dipimpin oleh H. Saman menyerang tentara Belanda di Kota Kuala Tungkal. Dalam penyerangan ini 12 anggota Barisan Selendang Merah gugur dan di pihak Belanda diperkirakan jatuh beberapa korban.

Di lain pihak, pada 16 Maret 1949 Panglima Camak, pemimpin Barisan Selempang Merah dari Sungai Undan, memimpin pasukan 250 orang Barisan Selempang Merah menyerbu Kota Kuala Tungkal. Turut serta dalam penyerbuan ini 25 orang pasukan TNI yang dipimpin Sersan Mayor Kadet Madhar A. R. Pasukan ini diberangkatkan dari Mesjid Tua Pembengis. Dalam penyerangan ini Panglima Camak bersama pasukannya menyerbu pasukan Belanda yang berada di dalam kamp, sementara pasukan TNI melepaskan tembakan untuk melindungi mereka. Oleh karena kekuatan senjata tidak seimbang yang mana Barisan Selempang Merah hanya menggunakan senjata tajam seperti parang, pedang, keris, badik, tombak, dan senjata tajam lainnya, Barisan Selempang Merah mengundurkan diri ke Pembengis. Dalam pertempuran ini Panglima Camak bersama 80 orang anggotanya gugur. (bpx).

---------------

Sumber: Perjuangan Pasukan Selempang Merah Menghadapi Agresi Militer Belanda ke II Di Tanjung Jabung Barat 1949. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi. 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar