Rabu, 28 Maret 2012

Bendera Pangeran Ratu

Serupa dengan Bendera katun hitam, bendera wol kuning menjadi koleksi Museum Nasional pada tanggal 22 Mei 1905 dengan nomor inventaris 11679. Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini Museum Nasional melalui Gubermenten Besluit No. 17, tanggal 12 Mei 1905. 
Bendera kain kuning ini berbentuk empat persegi panjang polos dari bahan wol. Bendera yang berukuran panjang 246 cm dan lebar 140 cm dahulu menunjukkan jabatan Pangeran Ratu atau putra mahkota, calon sultan. Disayangkan, kondisi koleksi rapuh dan beberapa bagian robek. (Budi Prihatna).

Selasa, 27 Maret 2012

Bendera Raja Sehari

Bendera katun berbentuk segi empat panjang berwarna hitam berukuran 179 x 82 cm dengan tepi atas disisipkan sehelai katun putih segi empat panjang berukuran 28 x 44 cm merupakan bendera yang menunjukkan kedudukan Raja Sehari saat prosesi pelantikan sultan baru.
Sejak 22 Mei 1905 Bendera katun hitam ini menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris 11674. Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini menjadi Museum Nasional melalui Gubermenten Besluit No. 17, tanggal 12 Mei 1905.
Mengenai Raja Sehari disebutkan dalam Undang-Undang, Piagam, dan Kisah Negeri Jambi, Pasal pertama yang menyatakan keturunan orang Kerajaan Jambi berbunyi: “Adapun Raja Sari itu keturunan Orang Kayo Pingai. Dan kepalanya yang besar tumbuhnya di Kampung Baharu Tanjung Pedalaman, asalnya sekarang sudah pindah di Tanjung Pasir. Dan pengaturannya hadap raja, jika hendak mendirikan raja dialah dahulu menjadi raja, satu hari itu lalu mendirikan sulthan”.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang dan Ketentuan Tentang Pencacahan Orang-Orang di Dalam Kerajaan Yaitu Yang 12 Kalbu berbunyi: “Adapun mengenai periyayi Raja Sari adalah keturunan Orang Kayo Pingai, pembesar yang mengepalai kalbu ini duduknya ada di Kampung Baru Tanjung Pedalaman akan tetapi sekarang ini sudah pindah di Dusun Tanjung Pasir, kalbu ini memegang adat dan aturan untuk memegang jabatan raja untuk satu hari, bila negeri melakukan penobatan/pelantikan raja, karena itu disebutkan sebagai Raja Sari (Raja Sehari)”. (Budi Prihatna).
Sumber: Budi Prihatna. Tesis. 2010. Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Senin, 19 Maret 2012

Keris Singa Merjaya


Keris Singa Merjaya merupakan keris pusaka Kesultanan Jambi yang disandang oleh Pangeran Ratu atau putra mahkota. Keris ini dari 14 Agustus 1904 berada di lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini menjadi Museum Nasional. Keris ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda  melalui Binnenlandsch Bestuur (Kementrian Dalam Negeri) dengan Gubermenten Besluit (Keputusan Pemerintah) No. 7, tanggal 14 Agustus 1904.
Keris Senja Merjaya yang bernomor inventaris 10920 (E 264) bilahnya dibuat dari besi dengan sedikit hiasan motif sulur daun dari emas daun, terutama pada bagian dapur dan lambe. Keris yang panjangnya 35 cm berhulu kayu bentuk katak duduk dengan tangan membelit badan, ber-luk 7, dan ber-selut emas dengan motif sulur daun, tumpal, bunga, dan lidah api. Kondisi koleksi sangat baik.
Keris Singa Merjaya merupakan keris pemberian Sultan Palembang kepada Pangeran Ratu Anom Martadiningrat sebagai hadiah perkawinannya dengan putri Palembang. Dalam Naskah Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi, Pasal Raja Jambi Pergi Beristri di Palembang, Nikah Dengan Anak Sunan Palembang, dipaparkan sebagai berikut:
“Maka berwasiatlah Ratu Ibu kepada anaknya dan kepada raja yang besar-besar, dan kepada mentrinya yang besar dikatanya inilah keris aku yang disangui Sri Paduka Ayahanda Susunan Palembang, masa aku hendak berangkat ke Jambi dahulu, maka sekarang ini keris aku namai Singo Marjayo yang aku jadikan kerajaan kepada orang Tembesi, dan kepada Orang Batin Sembilan. Siapa juga yang bergelar Pangeran Ratu, maka itulah yang memegang keris ini, maka itulah raja orang Tembesi dan orang Batin Sembilan ……”. (Darahim, 2005: 35).

Sebelum diserahkan ke Pemerintah Hindia Belanda di bulan Desember 1903 Keris Singa Merjaya dikuasai oleh Pangeran Ratu Martaningrat. (Budi Prihatna).



Sumber: Budi Prihatna. Tesis. Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Universitas Padjadjaran. 2010.

Minggu, 11 Maret 2012

Bintang Penghargaan Kesultanan Turki

Berbeda halnya dengan Keris Si Ginjei, Bintang Penghargaan Kesultanan Turki sebagai regalia Kesultanan Jambi berada di Jambi, tepatnya di Museum Negeri Jambi sejak 31 Mei 2002. Sebelumnya regalia kesultanan ini berada di Kemaman, Terengganu, Malaysia, disimpan di kediaman Engku Zubir Bin Engku Ja'far. Seperti diketahui, pada  Oktober 1857 Sultan Thaha melakukan misi diplomatik dengan mengutus Pangeran Ratu ke Singapura untuk diteruskan kepada Sultan Turki. Sultan Thaha mengirimkan permintaan tertulis kepada Sultan Turki agar diperoleh pengakuan yang menyatakan bahwa Jambi adalah wilayah Turki dan pihak luar tidak punya hak. Surat tersebut dititipkan pada seorang pembesar Singapura dengan memberi imbalan 30 ribu dollar Spanyol untuk menyampaikannya ke Istambul. Dipilihnya Turki karena imperium Utsmani dianggap memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan oleh negara-negara "kafir" (penjajah).
Pengiriman surat pada pemimpin Imperium Utsmani tersebut memberikan dampak dengan dikeluarkannya utimatum berupa: 1) diberi kesempatan kepada Sultan Thaha dalam tempo 2 x 24 jam untuk membuat perjanjian baru pada Belanda; 2) apabila Sultan Thaha tetap membangkang Belanda akan menurunkan sultan dari tahta kerajaan dan akan menunjuk sultan baru yang menyetujui perajian baru; 3) sultan diwajibkan segera mengirim utusan kerajaan ke Batavia untuk memberi tanda kehormatan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda; 4) jika semuanya ditolak, Belanda akan mengirimkan pasukan perang untuk menaklukan Jambi. Utimatum dari Pemerintah Hindia Belanda dijawab oleh Sultan Thaha "Kerajaan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan akan kami pertahankan dari penjajahan oleh siapapun juga dengan tetesan dari penghabisan".
Walaupun surat dari Sultan Thaha sampai di Turki, Kesultanan Turki hanya memberikan jawaban berupa pemberian penghargaan Kesultana Turki tanpa memberikan bantuan lainnya. Saat itu Bintang Penghargaan Kesultanan Turki tidak dapat diterima Sultan Thaha karena adanya blokade laut yang dilakukan pasukan Pemerintah Hindia Belanda. (Budi Prihatna).

Sumber: Elsbeth Locher-Scholten, 2008. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial. Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Jakarta: Banana & KITLV; A. Mukti Nasruddin, tt. Jambi Dalam Sejarah Nusantara. Jambi: Tidak dipublikasikan.

Si Ginjei

Si Ginjai merupakan nama sebilah keris pusaka Kesultanan Jambi yang disandang turun-temurun oleh para Sultan Jambi. Sebagai pusaka, regalia Kesultanan Jambi ini memiliki nilai material dan estetika yang tinggi, silsilah, keagamaan,  dan persekutuan dengan mahluk halus. Oleh karena itu benda regalia ini dianggap sakral dan keramat yang diselimuti mite atau legenda penciptaannya, tokoh yang memerankannya, kesaktian, dan kekuatan magisnya. Keris Si Ginjei merupakan atribut penting bagi masyarakat Jambi, karena keris ini melegitimasi seseorang sebagai sultan Jambi. 
Sebagai benda regalia, Keris Si Ginjei memiliki bilah yang dibuat dari besi berhiaskan emas daun bermotif sulur daun dengan panjang 39 cm dan ber-luk 5. Hulu keris yang dibuat dari kayu berukir berbentuk katak duduk dengan tangan membelit badan. Selut dihiasi permata berjumlah 16 buah berukuran besar dan kecil yang masing-masing berjumlah 8 buah. Kedelapan permata besar rata-rata beratnya 2 karat dengan nilai f. 125 sebuah, sedangkan permata yang kecil masing-masing harganya kurang dari f. 20. Keseluruhan permata tersebut diperkuat emas berbentuk persegi dan oval. Sarung keris (warangka) dibuat dari kayu yang dilapisi emas yang di bagian depannya diperkaya hiasan motif sulur daun, sedangkan bagian belakangnya polos.
Legenda tertulis yang menyelimuti keris Si Ginjei ini dapat dijumpai dalam beberapa naskah, antara lain: 1). Hal Perkara Kerajaan Jambi (Naskah A); 2) Legenden van Djambi (Naskah B); dan 3) Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi (Naskah C). Ketiga naskah tersebut dalam bentuk penerbitan, seperti buku atau bagian dari isi majalah (tijdschrift).  Selain pada naskah, legenda tentang keris Si Ginjei juga beredar lisan di masyarakat dalam berbagai versi yang satu di antaranya menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib. 
Naskah A ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Jambi yang diterbitkan dalam Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG) XLVIII tahun 1906. Naskah B yang ditulis aksara Melayu diterbitkan dalam Tijdschrift Nederlandsch Indie (TNI) 8 tahun 1846, sedangkan Naskah C ditulis dalam aksara pegon yang dialihbahasakan dan diterbitkan tahun 2005 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi. Naskah A dihimpun oleh kontrolir R.C van den Bor pada tahun 1905 dan diterbitkan tahun 1906 dalam TBG XLVIII. Naskah B dihimpun oleh Residen Palembang A.H.W. de Kock tahun 1843 dan dipublikasikan tahun 1846 dalam TNI 8. Naskah C dihimpun oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Perisai Rajo Sari. Bila menilik kata pendahuluan buku tersebut, Naskah C dihimpun sekitar tahun 1905, yaitu setelah Jambi menjadi daerah administrasi Hindia Belanda.        
Naskah A terdiri dari 29 halaman yang diawali dengan: “asalnya negeri Jambi tidak beraja, rajanya di Mataram, mengantarkan hasil 2½ tahun ke Mataram”. Isi selanjutnya lebih banyak menceritakan Orang Kayo Hitam berpetualang di Mataram dan mendapatkan keris Si Ginjei yang pembuatannya sangat pelik guna membunuh Orang Kayo Hitam. Orang Kayo Hitam akhirnya diangkat menantu oleh Raja Mataram karena tidak berhasil dibunuh oleh Raja Mataram. Naskah diakhiri hilangnya keris Si Ginjei di Teluk Air Dingin, tapi berkat bantuan Pak Sulung keris dapat ditemukan kembali.  
Naskah B terdiri dari 23 halaman yang terbagi dalam 2 bab. Bab 1 berjudul Oude Legenden Omtrent Toean Telanie, dan Bab 2 berjudul Oorsprong en Lotgevallen  van het Tegenwoordig Vorstelijk Huis van Djambi. Bab 1 menceritakan Toean Telanai sebagai raja pertama yang berkuasa di Jambi. Dia sangat mendambakan seorang putra, tetapi dambaannya ini sangat sulit. Akhirnya lahirlah sang putra, dan kelahirannya diramalkan bahwa si anak akan membunuh bapaknya. Oleh Toean Telanai anak ini dibuang ke laut dalam peti dengan secarik surat yang menyatakan bahwa bayi tersebut adalah putra Raja Jambi. Bayi ini ditemukan dan dipungut oleh Raja Siam dan dirawat hingga dewasa. Setelah dewasa dia mencari orang tuanya ke Jambi, dan akhirnya ramalan menjadi kenyataan, Toean Telanai dibunuh oleh anaknya. Kemudian negeri Jambi ditinggalkan rakyatnya sehingga menjadi hutan belantara. Pada bab 2 kisah dimulai dengan kedatangan Datuk Paduka Berhalo dari Turki dan menetap di Pulau Berhala. Setelah berputra Datuk Paduka Ningsum, dia meninggal dunia[1]. Cucu Datuk Paduka Berhalo adalah Orang Kayo Hitam yang mengamuk di Mataram. Selanjutnya diceritakan tentang pembagian wilayah, pimpinannya, dan pangkatnya di Kerajaan Jambi. Kisah ini ditutup dengan berkuasanya Sultan Ratu Abdul Rahman Nazaruddin.  
Naskah C dibagi dalam beberapa pasal yang diawali pasal yang menyatakan keturunan orang Kerajaan Jambi. Pasal kedua dan seterusnya tentang sila-sila dari sebelah Pagaruyung turunan sebelah perempuan; sila-sila keturunan dari sebelah Turki[2]; Raja Jambi pergi beristri di Palembang, nikah dengan anak Sunan Palembang; cerita asal Tanah Pilih yaitu pedalaman; undang namanya hukum adat; Ratu Mas Sri Kandi pindah di Ratih; yang pertama kupayan piagam tanah Pijoan Sungai Manggis; salinan piagam utan Tanah Tanjung Pedalaman; salinan piagam Tanah Simpang dan tanah Kumpeh Ilir serta undang-undang pecacahan, saya Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Raja Sari utan tanah yang tersebut ini; salinan piagam tanah ulak Duren Hijau pegangan Ngebi Sutho Dilogo pembesar orang kerajaan; salinan piagam utan tanah bangsa dalam Kumpeh pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Masumai pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Masumai kedanauan Depati Tumpul bersama Gendut Muara Sakala pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi; salinan piagam utan tanah Sengketi Besar pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas; salinan piagam utan tanah Mersam pegangan Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam Malapari Rambutan Manis pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar dari orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Tantan yaitu pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar dari orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; kisah Raja Empat Puluh di Jambi asalnya dari Keraton sebab mendurhaka kepada Sultan; Jambi berajakan Dewa Sekarabah namanya keturunan dari megat-megatan; kisah Jambi berajakan Si Pahit Lidah, dan tatkala mati Raja Si Pahit Lidah maka ini Jambi tidak beraja lagi; orang kerajaan yaitu priyayi Tujuh Koto Sunan Pulau Johor; kisah Orang Kayo Hitam kepada tarikh 737 tahun; utan tanah Simpang namanya dan yaitu tanah bahagian namanya; dan peri menyatakan Sultan Ahmad Zainuddin bin Sultan Sri Maharaja Batu.  
Untuk memperkirakan kapan cerita ini diedarkan, tentunya harus membandingkannya dengan peristiwa sejarah yang tercatat. Peristiwa dan bukti-bukti sejarah Jambi diperkirakan cerita tersebut dikembangkan sekitar tahun 1663 dengan dasar bahwa dari ketiga naskah tersebut menyatakan bahwa Jambi sebelum Orang Kayo Hitam berkuasa secara teratur mengirim upeti ke Mataram, yaitu setiap 2½  atau 3 tahun sekali. Naskah C menyebut upeti tersebut sebagai pekasam pacat dan pekasam keluang ke Mataram.      Dalam peristiwa sejarah, Jambi memutuskan hubungan dengan Mataram, baik sebagai vasal maupun ideologi politik sekitar tahun 1663. Peristiwa tersebut dipaparkan oleh de Graaf (1987: 75) sebagai berikut: “Pada tanggal 17 Mei 1663 datanglah dari Jambi tanpa dipanggil Kepala Kompeni Evert Michielsen ke Batavia atas permintaan dan sebagai utusan Pangeran Ratu Jambi dengan membawa berita penting. Antara lain dia harus mengemukakan kepada Pemerintah Batavia tentang pemisahan Sri Baginda (Jambi) dari Istana Mataram (Daghregister). Selain itu, muncul pula dua utusan Jambi, yaitu Kiai Demang Nayariadiwangsa, putra Temenggung Suryanata, penasehat utama Temenggung, dan seorang lagi Kiai Ngebei. Mereka berdua dengan hikmat bukan saja menyampaikan berita tentang raja muda yang naik tahta, tetapi juga menyatakan hasrat untuk memisahkan diri dari Mataram dan melakukan hubungan yang lebih dekat dengan Kompeni. Jadi raja yang muda itu telah memegang tampuk pemerintahan, tetapi belum berpengalaman. Ia sudah bertekad bulat untuk tidak lagi mengakui kekuasaan Mataram atau kerajaannya, dan akan melakukan politik mendekati Kompeni”. Secara tegas Pangeran Ratu menyatakan: “ingin berkuasa sebagai raja, bukan sebagai vazal, kalau tidak … lebih baik turun saja”. Pernyataan ini dicatat dalam Daghregister, 5 April 1663. Selanjutnya, Pangeran Ratu berkata dengan marah: “Para leluhur kami adalah raja-raja yang berdaulat, mengapa kami tidak?” (de Graaf, 1987: 74). Mengenai prosesi pengangkatan raja baru Haga (1929: 234) memaparkan sebagai berikut: “Pada hari yang telah ditentukan, lurah dari Jebus (satu di antara Bangsa XII) diangkat sebagai Raja Jambi – ‘Raja Sehari’ – yang berlaku dari pagi hari hingga pukul 5 sore. Pada menit-menit terakhir sultan baru diperlihatkan pada orang-orang yang berkumpul. Kepala Suku Kedipan saat itu menembakan meriam Si Jimat, sedangkan Kepala Suku Perban membunyikan gong Sitimang Jambi sambil berseru: “Dengarkan semua rakyat Kerajaan Jambi yang terdiri dari VII Koto, IX Koto, Jebus, Air Hitam, Petajin, Maro Sebo, Pucuk Jambi, dan IX Lurah, inilah raja kita”. Penduduk yang berkumpul menyambutnya dengan meriah. Kemudian keris pusaka kerajaan Si Ginjei disisipkan di ikat pinggang raja baru oleh ‘Raja Sehari’ sambil mengucapkan: “Adik, engkau telah diangkat menjadi raja. Seluruh tanah, air, dan rakyat yang hidup itu dipercayakan dalam pemeliharaan dan lindunganmu”. Lalu “Raja Sehari” menyatakan hormatnya pada Sultan, diikuti pula oleh para kepala anggota berbagai suku, para menteri, dan mereka yang menghadiri pelantikan”.Legenda lisan tentang keris Si Ginjei menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib seiring tewasnya Sultan Thaha Syaifuddin. Versi lainnya menceritakan bahwa keris tersebut berada dalam perut ikan tapa besar yang bersembunyi di Sungai Batanghari di muka rumah dinas Gubernur Jambi. Sebelum diserahkan oleh Pangeran Prabu Negara ke Pemerintah Hindia Belanda, keris Si Ginjei dikuasai Sultan Thaha Syaifuddin. Sultan Thaha Saifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir yang diakui masyarakat Jambi. Sultan Thaha Saifuddin gugur pada tanggal 26 April 1904 di Betung Berdarah, Kabupaten Tebo saat disergap tentara kolonial Belanda.
Sejak bulan November 1904 Keris Si Ginjei menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris 10921 (E 263). Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional) melalui Gubermenten Besluit No. 7, 14 Agustus 1904. (Budi Prihatna). 

Sumber: Budi Prihatna. Tesis. Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.


[1] Versi lainnya menceritakan bahwa Orang Kayo Hitam bukan cucu Datuk Paduka Berhalo, tetapi anak Datuk Paduka Berhalo, seperti yang diuraikan pada Naskah A dan C.
[2] Kekaguman pada bangsa Turki yang menurut alam Melayu disebut bangsa Rum menjadikannya sebagai asal usul keturunan ataupun adanya garis Rum di dalam silsilah kerajaan (Hanafiah, 1992: 17). Turki dipandang sebagai perwujudan ideal Jambi tentang kekuatan dan penolong nyaris Illahi, serta sebagai juru penyelamat pada masa-masa gawat (Scholten, 2008: 43).

Rabu, 07 Maret 2012

Sultan Thaha Syaifuddin

Pangeran Ratu Jayaningrat atau Sultan Thaha Syaifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir yang berpendirian teguh, tegas, terbuka, lapang dada, berjiwa kerakyatan, dan bertaqwa kepada Allah. Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya yang berjudul Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial menggambarkan karakter Sultan Thaha sebagai seorang yang mempunyai kepribadian kuat dan teguh dalam tindakan-tindakannya. Bahkan Laging Tobias menggambarkan musuh politiknya sebagai sosok yang energik dan bertemperamen panas, tetapi tulus. Walaupun tidak mudah percaya kepada orang asing, dia menaruh kepercayaan besar pada orang-orang asing yang membuktikan kejujuran mereka. Sikap lahiriahnya terhadap Belanda tegas, diplomatis, dan yang paling penting konsisten antara pandangan dan tindakannya (2008: 137).
Saat menaiki tahta Kesultanan Jambi menggantikan kedudukan Sultan Abdurrahman Zainuddin yang wafat tahun 1855, beliau mengeluarkan dikrit sebagai tindakan tegas terhadap Belanda. Tindakan tegas itu menunjukkan sikap permusuhan terhadap Pemerintah Hindia Belanda berupa tidak menerima dan membatalkan seluruh perjanjian tahun 1833 dan 1834 yang dibuat sultan-sultan sebelumnya. Perjanjian antara Kesultanan Jambi dengan Pemerintah Hindia Belanda merongrong kewibawaan Kesultanan Jambi dan menyengsarakan rakyat, seperti memungut cukai ekspor dan impor barang; berhak memonopoli penjualan garam; Jambi menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda; dan Pemerintah Hindia Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam Kesultanan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada penggelapan yang berkenaan dengan cukai.
Memahami dampak dari pembatalan seluruh perjanjian tahun 1833 dan 1834, Sultan Thaha Syaifuddin memerintahkan Pangeran Ratu Martaningrat berangkat ke Singapura menitipkan surat pada seorang pembesar Singapura untuk disampaikan kepada Sultan Turki tahun 1857. Tujuannya meminta pengakuan eksistensi Kesultanan Jambi di bawah kepemimpinan Sultan Thaha Syaifuddin dan bantuan senjata untuk menghadapi Pemerintah Hindia Belanda yang menduduki Jambi. Sebagai jawabannya, Kerajaan Turki menyerahkan bintang tertinggi kerajaan, tetapi tidak dapat memberikan bantuan militer karena jaraknya yang jauh dan blokade Pemerintah Belanda.
Menghadapi sikap keras, Pemerintah Hindia Belanda mengultimatum kepada Sultan Thaha dengan 1) memberi kesempatan kepada Sultan Thaha membuat perjanjian baru dengan Pemerintah Hindia Belanda; 2) apabila Sultan Thaha membangkang, Pemerintah Hindia Belanda akan menurunkan sultan dari tahta kesultanan dan akan menunjuk sultan baru yang menyetujui perjanjian baru; 3) sultan diwajibkan segera mengirimkan utusan kesultanan ke Batavia untuk memberi tanda kehormatan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda; 4) dan jika semuanya ditolak, Pemerintah Hindia Belanda akan mengirimkan pasukan perang untuk menaklukan Jambi. Ultimatum tersebut  dijawab dengan kalimat: "Kesultanan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan kami akan mempertahankan dari penjajahan oleh siapapun dengan tetesan darah kami yang penghabisan".
Pemerintah Hindia Belanda yang merasa terhina oleh sikap Sultan Thaha  akhirnya memutuskan menyelesaikan masalah Jambi dengan kekerasan. Pada tanggal 25 September 1858 wakil Pemerintah Hindia Belanda di Jambi menerangkan dengan resmi bahwa tidak mengakui kedaulatan Sultan Thaha dan menganggap Sultan Thaha sudah diturunkan dari tahta kesultanan.
Ketika Belanda menduduki kraton, mereka mendapatinya kosong, karena Thaha dan pengiringnya sudah mengungsi ke perbatasan di dataran tinggi. Walaupun digulingkan, Sultan Thaha tetap menjadi Sultan Jambi dan dapat terus memerintah dari tempat lain di dataran tinggi. Dalam pengungsiannya Sultan Thaha membawa serta pusaka kesultanan, seperti Keris Si Ginjei dan rakyat wajib menaati perintah sultan. Di pengasingannya Thaha bersama pengikutnya tetap melakukan perlawanan dengan bergerilya yang merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan Sultan Thaha berakhir pada tanggal 26 April 1907 dengan diserangnya dari segala penjuru tempat persembunyiannya di Betung Berdarah, Kabupaten Muara Tebo. Walaupun Sultan Thaha Syaifuddin gugur, perlawanan rakyat terus berlanjut hingga tahun 1907 dinyatakan oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa Jambi berhasil ditaklukan.
Untuk mengenang kegigihan perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin menentang hegemoni Pemerintah Hindia Belanda diwujudkan dalam sebuah patung sosok Sultan Thaha Syaifuddin di beberapa tempat, seperti di muka Kantor Gubernur Provinsi Jambi, di Museum Keprajuritan TMII Jakarta, dan di pintu utama Museum Perjuangan Rakyat Jambi. (Budi Prihatna).