Temuan arkeologis di sepanjang aliran Sungai Batanghari menunjukkan bahwa sejak abad 9 terjadi hubungan dagang antara Jambi dengan daerah-daerah lain, baik lokal maupun internasional. Hal ini dimungkinkan karena Jambi (saat itu berupa Kerajaan Melayu Jambi) terletak di jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Selaian sebagai pelabuhan transit bagi barang-barang yang masuk ke Jambi, juga merupakan pelabuhan pengekspor karet terbesar di Sumatra Tengah.
Pertanian dan perkebunan merupakan faktor yang sangat penting dalam perekonomian Jambi. Selain kopi dan teh, karet menjadi andalan ekspor Jambi sejak awal abad 19. Ketika harga karet cukup tinggi berimbas dengan meningkatnya penghasilan rakyat Jambi, terutama petani karet. Masa tersebut merupakan kejayaan dan kemakmuran atau disebut juga sebagai "hujan emas". Selain harga karet yang cukup tinggi, harga hasil bumi lainnya, seperti kopi, kopra, teh, lada, dan minyak juga meningkat di pasaran ekspor. Hubungan dagang antara Jambi dengan Singapura, Malaka, dan Cina semakin baik. Jambi menjual hasil perkebunannya kepada pedagang Cina yang merupakan pedagang perantara dengan Singapura. Sebaliknya, pedagang Cina membayar dengan bahan kebutuhan sehari-hari, seperti garam, tekstil, dan lain-lain.
Terjadinya kelebihan produksi, terutama karet mengakibatkan turunnya harga di pasaran yang pada puncaknya di tahun 1930 saat terjadi depresi ekonomi. Harga karet yang semula puluhan rupiah per 100 kg merosot menjadi Rp. 2,- per 100 kg. Penurunan harga ini tentu saja menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Kesengsaraan ini dipertegas lagi dengan dikeluarkannya kebijakan Pemerintah Hindia Belanda membatasi produksi perkebunan, khususnya karet dan teh. Selain itu, pajak ekspor yang tinggi juga dikenakan pada rakyat.
Di tahun 1937 depresi ekonomi beransur-ansur sirna. Seiring dengan meningkatnya harg karet, kenaikan harga karet membuat petani pemilik kebun mendapatan keuntungan dari sistem lisensi ekspor, yaitu sistem kupon. Kupon ini diberikan kepada petani dan pemilik kebun karet dengan cuma-cuma, sedangkan para pedagang dan eksportir harus membeli kupon ini. Tanpa kupon mereka tidak dapat mengekspor karet. Masa tersebut dikenal dengan sebutan "zaman kupon". Dengan cara menjual kupon kepada pedagang, petani mendapatkan uangnya. Banyak atau sedikitnya kupon yang diterima oleh petani pemilik tergantung pada luas kebun karet yang dimiliki, dan hasil dari kebun itu sendiri. Dengan meningkatnya harga karet menjadi Rp. 40,- per 100 kg rakyat kembali dapat menikmati kemakmuran.
Ketika Jepang menduduki Jambi di tanggal 10 Maret 1942, Pemerintah Jepang memberlakukan sistem ekonomi untuk kepentingan perang. Semua harta milik orang Belanda yang ada di daerah Jambi disita oleh Jepang, termasuk perkebunan teh, kopi, dan perusahaan-perusahaan lain yang banyak menghasilkan uang, seperti tambang minyak.
Pemerintah Jepang menggunakan sistem monopoli terhadap penentuan harga barang yang mereka butuhkan. Dampak dari sistem ini sangat menyengsarakan rakyat yang tadinya terlena dengan kemakmuran. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di berbagai tempat. Bahan pokok, terutama beras, garam, gula, tekstil, dan minyak menjadi bahan yang sangat langka. Selain itu, rakyat juga diharuskan kerja paksa untuk kepentingan Pemerintah Jepang.
Pemerintah Jepang yang berkuasa saat itu selain membentuk lembaga perekonomian yang bernama Keizabu, juga membentuk badan-badan lain, seperti Mitsubishi Kaisya yang bergerak mengumpulkan hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan; Tozar Noji yang bergerak di bidang pertenunan; Namora yang bergerak di bidang pertambangan dan industri; dan Kawasaki Zidhozu yang bergerak di bidang pengangkutan.
Kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya dan diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 membawa kecerahan bagi perekonomian rakyat Jambi. Kontak dagang antara Jambi dan Singapura kembali terjadi secara barter. Kapal laut kembali memasuki pelabuhan-pelabuhan di Jambi. Para pedagang membawa kebutuhan rakyat dan keluar membawa karet serta hasil bumi lainnya.
Dengan lancarnya hubungan dagang antara Jambi dan 'Singapura, dibentuklah sebuah badan dagang yang bertugas melaksanakan ekspor karet dengan nama Perekonomian Rakyat Djambi (PERAD). Residen Jambi, Rd. Inu Kertapati menyerahkan kapal roda lambung "Johana" yang dulunya digunakan oleh Residen Belanda kepada PERAD guna mengangkut barang-barang kebutuhan rakyat dari daerah uluan (pedalaman) ke Kota Jambi, dan sebaliknya.
Parisipasi rakyat untuk mengumpulkan dana guna membela kemerdekaan juga terjadi di Jambi. Para petani dan pedagang karet yang menikmati hasil kontak dagang dengan Singapura dan Malaka mampu mengumpulkan dana. Dana tersebut diserahkan kepada Gubernur Sumatra, Mr. T. M. Hasan guna membantu melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan.
Munculnya Belanda yang membonceng tentara Sekutu ke Jambi di bulan Desember 1945 kembali membuat situasi ekonomi Jambi mengalami guncangan. Perdagangan antara Jambi dan Singapura diblokade Belanda di pantai Jambi. Demikian pula hubungan antar daerah juga mengalami kesulitan.
Pada awal kemerdekaan Pemerintah Indonesia masih memberlakukan tiga jenis mata uang, karena pemerintah menyadari belum mampu mengeluarkan uang sendiri. Ketiga jenis mata uang tersebut adalah De Javasche Bank, Uang Pemerintah Hindia Belanda, dan Uang Pendudukan Jepang.
Oleh karena standar uang yang ada tidak lagi menunjang jual beli di pasaran, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1946 dan menerbitkan mata uang emisi pertama uang kertas ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Pada saat yang sama uang Jepang yang berlaku di Indonesia disesuaikan dengan ORI, yaitu Rp. 50,- uang Jepang disamakan dengan Rp. 1,0 uang ORI, di luar Jawa dan Sumatra Rp. 100,- uang Jepang sama dengan Rp. 1,- uang ORI.
Sulitnya komunikasi dan transportasi dengan daerah lain mengakibatkan ORI hanya beredar sampai Lampung, sementara rakyat sangat membutuhkan uang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Pada kenyataannya Uang ORI yang dikeluarkan Pemerintah RI bernilai tinggi (Rp. 25,-), sedangkan barang-barang kebutuhan sehari-hari masih rendah harganya.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, pemerintah mengeluarkan uang URIPS (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatra) yang berlaku untuk Provinsi Sumatra. Uang ini dikeluarkan pada 26 Agustus 1947 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19/1947. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1947 tertanggal 26 Agustus 1947 mengatur wewenang Pemerintah Daerah untuk menerbitkan tanda pembayaran sementara sah yang berlaku.
Pemerintah Jepang yang berkuasa saat itu selain membentuk lembaga perekonomian yang bernama Keizabu, juga membentuk badan-badan lain, seperti Mitsubishi Kaisya yang bergerak mengumpulkan hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan; Tozar Noji yang bergerak di bidang pertenunan; Namora yang bergerak di bidang pertambangan dan industri; dan Kawasaki Zidhozu yang bergerak di bidang pengangkutan.
Kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya dan diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 membawa kecerahan bagi perekonomian rakyat Jambi. Kontak dagang antara Jambi dan Singapura kembali terjadi secara barter. Kapal laut kembali memasuki pelabuhan-pelabuhan di Jambi. Para pedagang membawa kebutuhan rakyat dan keluar membawa karet serta hasil bumi lainnya.
Dengan lancarnya hubungan dagang antara Jambi dan 'Singapura, dibentuklah sebuah badan dagang yang bertugas melaksanakan ekspor karet dengan nama Perekonomian Rakyat Djambi (PERAD). Residen Jambi, Rd. Inu Kertapati menyerahkan kapal roda lambung "Johana" yang dulunya digunakan oleh Residen Belanda kepada PERAD guna mengangkut barang-barang kebutuhan rakyat dari daerah uluan (pedalaman) ke Kota Jambi, dan sebaliknya.
Parisipasi rakyat untuk mengumpulkan dana guna membela kemerdekaan juga terjadi di Jambi. Para petani dan pedagang karet yang menikmati hasil kontak dagang dengan Singapura dan Malaka mampu mengumpulkan dana. Dana tersebut diserahkan kepada Gubernur Sumatra, Mr. T. M. Hasan guna membantu melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan.
Munculnya Belanda yang membonceng tentara Sekutu ke Jambi di bulan Desember 1945 kembali membuat situasi ekonomi Jambi mengalami guncangan. Perdagangan antara Jambi dan Singapura diblokade Belanda di pantai Jambi. Demikian pula hubungan antar daerah juga mengalami kesulitan.
Pada awal kemerdekaan Pemerintah Indonesia masih memberlakukan tiga jenis mata uang, karena pemerintah menyadari belum mampu mengeluarkan uang sendiri. Ketiga jenis mata uang tersebut adalah De Javasche Bank, Uang Pemerintah Hindia Belanda, dan Uang Pendudukan Jepang.
Oleh karena standar uang yang ada tidak lagi menunjang jual beli di pasaran, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1946 dan menerbitkan mata uang emisi pertama uang kertas ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Pada saat yang sama uang Jepang yang berlaku di Indonesia disesuaikan dengan ORI, yaitu Rp. 50,- uang Jepang disamakan dengan Rp. 1,0 uang ORI, di luar Jawa dan Sumatra Rp. 100,- uang Jepang sama dengan Rp. 1,- uang ORI.
Sulitnya komunikasi dan transportasi dengan daerah lain mengakibatkan ORI hanya beredar sampai Lampung, sementara rakyat sangat membutuhkan uang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Pada kenyataannya Uang ORI yang dikeluarkan Pemerintah RI bernilai tinggi (Rp. 25,-), sedangkan barang-barang kebutuhan sehari-hari masih rendah harganya.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, pemerintah mengeluarkan uang URIPS (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatra) yang berlaku untuk Provinsi Sumatra. Uang ini dikeluarkan pada 26 Agustus 1947 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19/1947. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1947 tertanggal 26 Agustus 1947 mengatur wewenang Pemerintah Daerah untuk menerbitkan tanda pembayaran sementara sah yang berlaku.