Pasca kemerdekaan (1945-1949), apalagi adanya pengakuan de facto atas kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatra oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 14 Oktober 1946, hubungan dagang antara Jambi dengan Singapura, terutama karet mulai berjalan dengan lancar. Rakyat yang semenjak penjajahan Jepang tidak sungguh-sungguh mengola kebun karet, semenjak pengakuan kedaulatan tersebut mulai bergairah kembali mengolah kebun karetnya.
Melihat hubungan dagang antara Jambi dan Singapura mulai bergerak, Residen Jambi, Rd. Inu Kertapati mengambil kesepakatan dengan beberapa orang yang dipandang mampu agar dibentuk sebuah badan dagang yang dapat melaksanakan ekspor, terutama karet dan impor barang-barang kebutuhan rakyat, seperti sandang dan pangan. Sehubungan dengan hal tersebut didirikan Perekonomian Rakyat Djambi (PERAD) yang berkantor di bekas kantor dagang Belanda, yaitu Borneo Sumatera Handelsmaatschappij.
Pada tahun 1947 daerah Jambi sudah ramai dan aman untuk berdagang. Mata uang yang dipakai sebagai alat transaksi pada waktu itu adalah US Dollar. Dengan hasil perdagangan inilah Founds Kemerdekaan Indonesia (FKS) Jambi berhasil mengumpulkan dana cukup besar dan dengan dana tersebut Pemerintah Republik Indonesia Daerah Jambi dapat menjalankan roda pemerintahan.
Aktivitas Perdagangan yang mulai lancar tersebut tidak bertahan lama, karena terganggu oleh agresi militer yang dilakukan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 (Agresi Militer I). Akibat agresi militer ini distribusi mata uang ke wilayah pedalaman Republik Indonesia menjadi terganggu sehingga terjadi kelangkaan Oeang Republik Indonesia (ORI).
Untuk mengatasi persoalan kekurangan uang tunai di daerah-daerah, Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengizinkan Pemerintah Daerah mencetak uang sendiri. Pada tanggal 26 Agustus 1947 Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintahan No.19/1947. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur wewenang Pemerintah Daerah untuk menerbitkan tanda pembayaran sementara yang sah dan hanya berlaku pada daerah setempat. Mata uang yang dibuat di daerah-daerah tersebut disebut sebagai Uang Republik Indonesia Daerah atau URIDA.
URIDA pertama di Sumatera adalah URIPS atau Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera. Emisi pertama tertanggal 11 April 1947, berdasarkan Maklumat Gubernur Sumatera, Mr.Tengku Moehammad Hasan, No.92/KO tertanggal 8 April 1947. Akibat agresi militer yang terus dilakukan Belanda, percetakan URIPS yang semula ada di Pematang Siantar dipindahkan ke Bukit Tinggi dan selanjutnya dipindahkan lagi ke Rantau Ikil, Kabupaten Bungo Tebo, Jambi.
Untuk wilayah Keresidenan Jambi, dalam upaya mengatasi kelangkaan alat pembayaran yang sah, dan juga menjaga kelancaran jual beli barang dan pedagang kecil, Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Jambi memberi kuasa penuh kepada Pemerintah Keresidenan untuk mencetak uang pecahan kecil berupa Coupon Penukaran dengan nilai Rp.0,50,-,Rp.1,-,Rp.2,50,-,Rp.5,-,Rp.10,-, dan Rp.25,-.
URIDA yang diterbitkan di Jambi ini bahannya dari kertas kopi, tinta stensil dan dengan warna tunggal (satu warna), seperti hitam, merah atau biru. Uang cetakan Jambi ini diterima oleh Rakyat Jambi dan dipakai untuk kegiatan jual beli. Melihat dari stabilisasi harga menunjukan tidak ada inflasi yang berarti pada waktu dan tidak ada pemalsuan.
Kupon itu pada mulanya harus ditandatangani langsung oleh Residen Jambi, Rd. Inu Kertapati di sebelah kanan dan tanda tangan salah seorang anggota komisi keuangan yang ditunjuk di sebelah kiri. Oleh karena banyaknya kupon yang harus ditandatangani langsung oleh Rd. Inu Kertapati, diambil kebijaksanaan bahwa untuk tandatangan Residen cukup dengan stempel tanda tangan saja, tetapi tandatangan pendampingnya harus ditandatangani langsung oleh salah seorang anggota komisi keuangan yang ditunjuk pada kupon dengan harga tertentu.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer Kedua dan berhasil menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Sebagian pemimpin RI mereka tangkap dan asingkan ke Pulau Bangka, tetapi perjuangan dan diplomasi berjalan terus. Belanda kemudian mendukung terbentuknya negara-negara berwilayah provinsi atau keresidenan untuk bergabung ke dalam Badan Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst Voor Federal Oeverleg (BFO).
Secara umum pada waktu itu Indonesia terbagi menjadi dua wilayah, yaitu:
- Daerah Republik, yaitu wilayah merdeka yang dikuasai Pemerintah Republik Indonesia.
- Daerah Pendudukan Belanda (Pemerintah NICA dan BFO), yaitu wilayah yang diduduki kembali oleh Tentara Belanda dengan membangun negara-negara boneka.
Di wilayah kekuasaan Republik Indonesia berlaku Oeang Republik Indonesia (ORI), dan berbagai macam uang kertas darurat yang dikenal dengan URIDA tersebut. Pada wilayah pendudukan Belanda beredar mata uang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Pemerintah Sipil Hindia Belanda.
Agar penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia tetap berjalan, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Pada tanggal 13 Desember 1948 dikeluarkan peraturan pemerintah No.76/1948 yang menetapkan jangka waktu berlakunya URIDA, dan akan diatur kembalo oleh Menteri Keuangan lebih lanjut. Untuk mengatasi terbatasnya volume ORI, terutama di daerah pedalaman, pimpinan PDRI, MR. Lukman Hakim pada pemerintah Daerah Keresidenan Jambi yang berisi petunjuk bagi pencetakan ORI untuk daerah Jambi dan lainnya (Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949, 1990: 8). Sementara itu, pencetakan URIDA Jambi (Coupon Penukaran) tetap berlangsung dan pencetakannya disesuaikan dengan jumlah uang ORI dan ORIPS yang beredar sebagai pendukungnya.
Walaupun bahan, desain dan teknik pencetakan URIDA masih sangat sederhana, perannya penting bagi perjuangan membela dan mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, keberadaan URIDA juga merupakan isyarat tentang kesanggupan berdesentralisasi dan berotonomi dalam rangka kesatuan Republik Indonesia, justru dalam situasi dan kondisi yang sulit.
Bagi rakyat Jambi sendiri keberadaan Coupon Penukaran sangatlah berarti karena dapat digunakan sebagai alat pembayaran perdagangan karet, kopra dan hasil bumi lainnya. Bahkan, berkat stabilitas perdagangan yang cukup menguntungkan Rakyat Jambi mampu membeli senjata dan membantu pendanaan delegasi Indonesia ke PBB.