PERJUANGAN RADEN MAT TAHIR DALAM MENENTANG KOLONIALISME DI JAMBI
(Oleh: Drs. Fachruddin Saudagar, M.Pd.)
Pendahuluan
Salah seorang panglima perang Jambi yang sangat terkenal dan ditakuti Belanda adalah Raden Mat Tahir. Osman Situmorang (1973) dalam skripsinya yang berjudul Raden Mattahir Pahlawan Jambi menuliskan nama asli Raden Mat Tahir adalah Raden Mohammad Tahir. Raden Mohammad Tahir sering dipanggil masyarakat sebagai Raden Mat Tahir. Penulisan nama Raden Mat Tahir menurut berbagai sumber dijumpai berbagai versi, seperti G.J. Veld menuliskannya sebagai Raden Mat Tahir dan atau Mat Tahir; Raden Syarif (1969) menuliskan Raden Mat Tahir; Osman Situmorang (1973) menuliskan Raden Mattahir; Ratumas Siti Aminah Ningrat menuliskan Raden Mat Tahier; J. Tideman menuliskan nama Raden Mat Tahir sebagai Mattaher; Elsbeth Locher-Scholten (1994) menuliskan Mat Tahir; Mukti Nasruddin (1989) menuliskan Raden Mattahir; dan Rumah Sakit Umum Raden Mattaher menuliskan Raden Mattaher.
Raden Mattaher yang biasa dipanggil Mat Tahir adalah anak Pangeran Kusin Bin Pangaren Adi. Pangeran Adi adalah saudara kandung Sultan Thaha Syaifuddin. Dengan demikian Sultan Thaha Syaifuddin adalah kakek bagi Raden Mat Tahir. Mat Tahir dilahirkan di Dusun Sekamis, Kasau Melintang Pauh, Air Hitam, Batin VI pada tahun 1871. Ibunya kelahiran Mentawak, Air Hitam Pauh yang dahulunya adalah daerah tempat berkuasanya Temenggung Merah Mato. Ayah Raden Mat Tahir, yaitu Pangeran Kusin wafat di Mekkah, sedangkan Mat Tahir sendiri gugur dalam pertempuran melawan tentara Belanda di Dusun Muarojambi pada Jumat subuh, 10 September 1907. Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Jambi di tepi Danau Sipin Jambi.
Perjuangan
Di awal tahun 1900 Raden Mat Tahir bersama Pangeran Maaji gelar Pangeran Karto dan Panglima Tudak Alam dari Mentawak melakukan penyergapan pada konvoi 8 jukung Belanda yang ditarik oleh kapal "Musi" di Tanjung Menyaringan. Kapal dan jukung tersebut membawa senjata, perlengkapan perang, dan perbekalan dari Tembesi menuju Sarolangun. Persenjataan ini diperuntukan Belanda untuk membantu militer Belanda yang sedang bertempur di Benteng Tanjung Gagak. Dalam penyergapan tersebut semua serdadu Belanda tewas dan persenjataan dirampas. Sementara itu, para pegawai dari Palembang dan Jawa yang turut dalam kapal "Musi" menyerahkan diri dan meminta perlindungan pada pasukan Raden Mat Tahir. Dampak penyerangan tersebut nama Raden Mat Tahir menjadi terkenal di masyarakat dan tentara Belanda dan berkembanglah berbagai cerita dan mitos tentang kehebatan Raden Mat Tahir. Oleh Mat Tahir sebagian senjata rampasan dikirimkan ke Tanah Garo, Merangin, Bangko Pintas, Tabir. Berita keberhasilan Raden Mat Tahir yang sampai di telinga Residen Belanda di Palembang membuat ia sangat marah.
Pada tahun 1901, pasukan Raden Mat Tahir kembali melakukan penyergapan pada pasukan Belanda yang berkedudukan di Sungai Bengkal dengan keberhasilan merampas senjata dan karaben Belanda. Dibantu pasukan Raden Usman dan Puspo Ali, dari Sungai Bengkal pasukan Raden Mat Tahir terus bergerak menyerang posisi Belanda di Merlung. Selanjutnya dari Merlung pasukan Raden Mat Tahir terus bergerak ke Labuhan Dagang, Tungkal Ulu. Bersama 40 orang pasukannya, Raden Mat Tahir dari Tungkal Ulu melalui Pematang Lumut bergerak menuju Sengeti untuk menuju Pijoan. Di Pijoan bivak Belanda diserang dan hasil memperoleh banyak senjata karaben. Oleh Raden Pamuk gelar Panglima Panjang Ambur senjata-senjata tersebut diangkut ke Jelatang.
Pasukan Raden Mat Tahir bersama Raden Pamuk dan Raden Perang gelar Panglima Tangguk Mato Alus yang membawa pasukan yang terdiri dari Suku Anak Dalam dari Bahar pada pertengahan April 1901 menyerang pasukan Belanda di Banyu Lincir (Bajung Lincir). Dalam penyerangan tersebut selain menewaskan kepala bea cukai Belanda dan pengawalnya tewas, juga dirampas senjata laras pendek dan uang sebesar f 5.000 serta 30.000 uang ringgit cap tongkat di dalam brangkas perusahan minyak. Dalam penyerangan ini seorang pasukan Raden Mat Tahir tewas dan 3 lainnya luka-luka.
Pada 1902 pasukan Raden Mat Tahir di Tanjung Gedang Sungai Alai melakukan penyerangan terhadap 30 buah jukung yang berisi serdadu Belanda. Jukung berhasil ditenggelamkan dan semua pasukan Belanda tewas. Setibanya pasukan Raden Mat Tahir di Sungai Alai, secara kebetulan sedang berlangsung perang antara pasukan yang dipimpin oleh Panglima Maujud, Pangeran Suto, Panglima Itam dari Tanah Sepanggal, Rio Air Gemuruh, Rio Gereman Tembago dari Teluk Panjang dengan pasukan Belanda. Dahsyatnya perang tersebut membuat masyarakat di sekitarnya tidak berani mengambil air minum di Batang Tebo karena banyaknya mayat pasukan Belanda yang membusuk terapung di sungai.
Setelah bertempur di Sungai Alai pasukan Raden Mat Tahir bergerak menuju Jambi untuk menyerang kedudukan Belanda di Muara Kumpeh. Dalam perang ini pasukan Raden Mat Tahir dibantu oleh Raden Seman, Raden Pamuk, Raden Perang dan para kepala kampung dari Marosebo Ilir serta Jambi Kecil. Kapal Belanda yang diserang adalah kapal perang yang baru datang dari Palembang. Konon keberhasilan penyerangan ini atas jasa seorang juru mesin kapal bernama Wancik yang merusak mesin kapal sehingga kapal tidak mampu berlayar. Juru mesin ini adalah seorang keturunan Palembang yang bersimpati dengan perjuangan Jambi. Dengan keberhasilan menyerang kapal Belanda ini Raden Mat Tahir diberi gelar Singo Kumpeh.
Menangkap Hidup Atau Mati
Menjelang akhir abad 19 Belanda menambah kekuatannya dengan mendatangkan pasukan dari Palembang, Jawa, dan Aceh ke Jambi. Mengantisipasi serangan Belanda, Sultan Thaha Syaifuddin menyusun strategi dengan membagi wilayah pertahanan, yaitu: 1) Raden Mat Tahir ditetapkan sebagai panglima perang yang wilayahnya meliputi Jambi Kecil, Air Hitam Darat, Ulu Pijoan, Pematang Lumut, Bulian Dalam, Ulu Pauh, Payo Siamang, Jelatang, dan Pijoan; 2) Pangeran Haji Umar Bin Yasir bergelar Pangeran Puspojoyo wilayahnya meliputi Batang Tembesi hingga Kerinci; dan Sultan Thaha Syaifuddin bersama Raden Hamzah gelar Diponegoro wilayahnya meliputi Batanghari dan Tembesi.
Strategi yang disusun Sultan Thaha Syaifuddin tidak berlangsung lama karena beberapa pimpinan tewas atau tertawan, seperti Sultan Thaha Syaifuddin sendiri tewas di Betung Bedara pada 27 April 1904; Pangeran Ratu Kartaningrat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Parigi, Sulawesi Tengah; Depati Parbo dari Kerinci ditangkap dan diasingkan ke Ternate; Pangeran Haji Umar Puspowijoyo dan Pangeran Seman Jayanegara tewas di Pemunyian, Bungo di tahun 1906; Ratumas Sina di tahun 1906 ditangkap di Pemunyian; Raden Hamzah tewas di tahun 1906 di Lubuk Mengkuang; dan tahun yang sama Raden Pamuk ditangkap di Thehok, Jambi.
Raden Mat Tahir yang kerap kali berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan Belanda disebutkan sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukan, seorang lawan yang gesit, dan ditakuti. Pemerintah Belanda melalui residen di Palembang memerintahkan pasukan marsose untuk menangkap Raden Mat Tahir hidup atau mati. Pengejaran terhadap Raden Mat Tahir pun ditingkatkan dan dengan dibantu seorang Kapten Melayu kedudukan Raden Mat Tahir di Muarojambi diserang. Serangan ini selain menewaskan Raden Mat Tahir, juga Raden Achmad gelar Raden Pamuk Kecik, dan Pak Gabuk, salah seorang pengawal Raden Mat Tahir.
Untuk memastikan kebenaran bahwa yang tewas adalah Raden Mat Tahir, jenazah Raden Mat Tahir dibawa ke Jambi dengan menggunakan kapal "Robert" untuk diperlihatkan pada khalayak ramai. Atas permintaan para pemuka agama Islam, jenazah Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks makam raja-raja di tepi Danau Sipin, Jambi.
----------
Naskah ini disarikan dari makalah dialog sejarah yang diselenggarakan oleh Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012.
Perjuangan
Di awal tahun 1900 Raden Mat Tahir bersama Pangeran Maaji gelar Pangeran Karto dan Panglima Tudak Alam dari Mentawak melakukan penyergapan pada konvoi 8 jukung Belanda yang ditarik oleh kapal "Musi" di Tanjung Menyaringan. Kapal dan jukung tersebut membawa senjata, perlengkapan perang, dan perbekalan dari Tembesi menuju Sarolangun. Persenjataan ini diperuntukan Belanda untuk membantu militer Belanda yang sedang bertempur di Benteng Tanjung Gagak. Dalam penyergapan tersebut semua serdadu Belanda tewas dan persenjataan dirampas. Sementara itu, para pegawai dari Palembang dan Jawa yang turut dalam kapal "Musi" menyerahkan diri dan meminta perlindungan pada pasukan Raden Mat Tahir. Dampak penyerangan tersebut nama Raden Mat Tahir menjadi terkenal di masyarakat dan tentara Belanda dan berkembanglah berbagai cerita dan mitos tentang kehebatan Raden Mat Tahir. Oleh Mat Tahir sebagian senjata rampasan dikirimkan ke Tanah Garo, Merangin, Bangko Pintas, Tabir. Berita keberhasilan Raden Mat Tahir yang sampai di telinga Residen Belanda di Palembang membuat ia sangat marah.
Pada tahun 1901, pasukan Raden Mat Tahir kembali melakukan penyergapan pada pasukan Belanda yang berkedudukan di Sungai Bengkal dengan keberhasilan merampas senjata dan karaben Belanda. Dibantu pasukan Raden Usman dan Puspo Ali, dari Sungai Bengkal pasukan Raden Mat Tahir terus bergerak menyerang posisi Belanda di Merlung. Selanjutnya dari Merlung pasukan Raden Mat Tahir terus bergerak ke Labuhan Dagang, Tungkal Ulu. Bersama 40 orang pasukannya, Raden Mat Tahir dari Tungkal Ulu melalui Pematang Lumut bergerak menuju Sengeti untuk menuju Pijoan. Di Pijoan bivak Belanda diserang dan hasil memperoleh banyak senjata karaben. Oleh Raden Pamuk gelar Panglima Panjang Ambur senjata-senjata tersebut diangkut ke Jelatang.
Pasukan Raden Mat Tahir bersama Raden Pamuk dan Raden Perang gelar Panglima Tangguk Mato Alus yang membawa pasukan yang terdiri dari Suku Anak Dalam dari Bahar pada pertengahan April 1901 menyerang pasukan Belanda di Banyu Lincir (Bajung Lincir). Dalam penyerangan tersebut selain menewaskan kepala bea cukai Belanda dan pengawalnya tewas, juga dirampas senjata laras pendek dan uang sebesar f 5.000 serta 30.000 uang ringgit cap tongkat di dalam brangkas perusahan minyak. Dalam penyerangan ini seorang pasukan Raden Mat Tahir tewas dan 3 lainnya luka-luka.
Pada 1902 pasukan Raden Mat Tahir di Tanjung Gedang Sungai Alai melakukan penyerangan terhadap 30 buah jukung yang berisi serdadu Belanda. Jukung berhasil ditenggelamkan dan semua pasukan Belanda tewas. Setibanya pasukan Raden Mat Tahir di Sungai Alai, secara kebetulan sedang berlangsung perang antara pasukan yang dipimpin oleh Panglima Maujud, Pangeran Suto, Panglima Itam dari Tanah Sepanggal, Rio Air Gemuruh, Rio Gereman Tembago dari Teluk Panjang dengan pasukan Belanda. Dahsyatnya perang tersebut membuat masyarakat di sekitarnya tidak berani mengambil air minum di Batang Tebo karena banyaknya mayat pasukan Belanda yang membusuk terapung di sungai.
Setelah bertempur di Sungai Alai pasukan Raden Mat Tahir bergerak menuju Jambi untuk menyerang kedudukan Belanda di Muara Kumpeh. Dalam perang ini pasukan Raden Mat Tahir dibantu oleh Raden Seman, Raden Pamuk, Raden Perang dan para kepala kampung dari Marosebo Ilir serta Jambi Kecil. Kapal Belanda yang diserang adalah kapal perang yang baru datang dari Palembang. Konon keberhasilan penyerangan ini atas jasa seorang juru mesin kapal bernama Wancik yang merusak mesin kapal sehingga kapal tidak mampu berlayar. Juru mesin ini adalah seorang keturunan Palembang yang bersimpati dengan perjuangan Jambi. Dengan keberhasilan menyerang kapal Belanda ini Raden Mat Tahir diberi gelar Singo Kumpeh.
Menangkap Hidup Atau Mati
Menjelang akhir abad 19 Belanda menambah kekuatannya dengan mendatangkan pasukan dari Palembang, Jawa, dan Aceh ke Jambi. Mengantisipasi serangan Belanda, Sultan Thaha Syaifuddin menyusun strategi dengan membagi wilayah pertahanan, yaitu: 1) Raden Mat Tahir ditetapkan sebagai panglima perang yang wilayahnya meliputi Jambi Kecil, Air Hitam Darat, Ulu Pijoan, Pematang Lumut, Bulian Dalam, Ulu Pauh, Payo Siamang, Jelatang, dan Pijoan; 2) Pangeran Haji Umar Bin Yasir bergelar Pangeran Puspojoyo wilayahnya meliputi Batang Tembesi hingga Kerinci; dan Sultan Thaha Syaifuddin bersama Raden Hamzah gelar Diponegoro wilayahnya meliputi Batanghari dan Tembesi.
Strategi yang disusun Sultan Thaha Syaifuddin tidak berlangsung lama karena beberapa pimpinan tewas atau tertawan, seperti Sultan Thaha Syaifuddin sendiri tewas di Betung Bedara pada 27 April 1904; Pangeran Ratu Kartaningrat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Parigi, Sulawesi Tengah; Depati Parbo dari Kerinci ditangkap dan diasingkan ke Ternate; Pangeran Haji Umar Puspowijoyo dan Pangeran Seman Jayanegara tewas di Pemunyian, Bungo di tahun 1906; Ratumas Sina di tahun 1906 ditangkap di Pemunyian; Raden Hamzah tewas di tahun 1906 di Lubuk Mengkuang; dan tahun yang sama Raden Pamuk ditangkap di Thehok, Jambi.
Raden Mat Tahir yang kerap kali berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan Belanda disebutkan sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukan, seorang lawan yang gesit, dan ditakuti. Pemerintah Belanda melalui residen di Palembang memerintahkan pasukan marsose untuk menangkap Raden Mat Tahir hidup atau mati. Pengejaran terhadap Raden Mat Tahir pun ditingkatkan dan dengan dibantu seorang Kapten Melayu kedudukan Raden Mat Tahir di Muarojambi diserang. Serangan ini selain menewaskan Raden Mat Tahir, juga Raden Achmad gelar Raden Pamuk Kecik, dan Pak Gabuk, salah seorang pengawal Raden Mat Tahir.
Untuk memastikan kebenaran bahwa yang tewas adalah Raden Mat Tahir, jenazah Raden Mat Tahir dibawa ke Jambi dengan menggunakan kapal "Robert" untuk diperlihatkan pada khalayak ramai. Atas permintaan para pemuka agama Islam, jenazah Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks makam raja-raja di tepi Danau Sipin, Jambi.
----------
Naskah ini disarikan dari makalah dialog sejarah yang diselenggarakan oleh Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar