Si Ginjai merupakan nama sebilah keris pusaka Kesultanan Jambi yang disandang turun-temurun oleh para Sultan Jambi. Sebagai pusaka, regalia Kesultanan Jambi ini memiliki nilai material dan estetika yang tinggi, silsilah, keagamaan, dan persekutuan dengan mahluk halus. Oleh karena itu benda regalia ini dianggap sakral dan keramat yang diselimuti mite atau legenda penciptaannya, tokoh yang memerankannya, kesaktian, dan kekuatan magisnya. Keris Si Ginjei merupakan atribut penting bagi masyarakat Jambi, karena keris ini melegitimasi seseorang sebagai sultan Jambi.
Sebagai benda regalia, Keris Si Ginjei memiliki bilah yang dibuat dari besi berhiaskan emas daun bermotif sulur daun dengan panjang 39 cm dan ber-luk 5. Hulu keris yang dibuat dari kayu berukir berbentuk katak duduk
dengan tangan membelit badan. Selut
dihiasi permata berjumlah 16 buah berukuran besar dan kecil yang masing-masing
berjumlah 8 buah. Kedelapan permata besar rata-rata beratnya 2 karat dengan
nilai f. 125 sebuah, sedangkan
permata yang kecil masing-masing harganya kurang dari f. 20. Keseluruhan permata tersebut diperkuat emas berbentuk
persegi dan oval. Sarung keris (warangka)
dibuat dari kayu yang dilapisi emas yang di bagian depannya diperkaya hiasan motif sulur
daun, sedangkan bagian belakangnya polos.
Legenda tertulis
yang menyelimuti keris Si Ginjei ini dapat dijumpai dalam beberapa naskah,
antara lain: 1). Hal Perkara Kerajaan
Jambi (Naskah A); 2) Legenden van
Djambi (Naskah B); dan 3) Undang-Undang
Piagam dan Kisah Negeri Jambi (Naskah C). Ketiga naskah tersebut dalam
bentuk penerbitan, seperti buku atau bagian dari isi majalah (tijdschrift). Selain pada naskah, legenda tentang keris Si
Ginjei juga beredar lisan di masyarakat dalam berbagai versi yang satu di
antaranya menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib.
Naskah A ditulis
dalam bahasa Belanda dan Melayu Jambi yang diterbitkan dalam Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG) XLVIII tahun 1906. Naskah B yang
ditulis aksara Melayu diterbitkan dalam Tijdschrift
Nederlandsch Indie (TNI) 8 tahun
1846, sedangkan Naskah C ditulis dalam aksara pegon yang dialihbahasakan dan
diterbitkan tahun 2005 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi. Naskah A dihimpun
oleh kontrolir R.C van den Bor pada tahun 1905 dan diterbitkan tahun 1906 dalam
TBG XLVIII. Naskah B dihimpun oleh
Residen Palembang A.H.W. de Kock tahun 1843 dan dipublikasikan tahun 1846 dalam
TNI 8. Naskah C dihimpun oleh Oemar
Ngebi Sutho Dilago Perisai Rajo Sari. Bila menilik kata pendahuluan buku
tersebut, Naskah C dihimpun sekitar tahun 1905, yaitu setelah Jambi menjadi
daerah administrasi Hindia Belanda.
Naskah A terdiri
dari 29 halaman yang diawali dengan: “asalnya negeri Jambi tidak beraja,
rajanya di Mataram, mengantarkan hasil 2½ tahun ke Mataram”. Isi selanjutnya
lebih banyak menceritakan Orang Kayo Hitam berpetualang di Mataram dan
mendapatkan keris Si Ginjei yang pembuatannya sangat pelik guna membunuh Orang
Kayo Hitam. Orang Kayo Hitam akhirnya diangkat menantu oleh Raja Mataram karena
tidak berhasil dibunuh oleh Raja Mataram. Naskah diakhiri hilangnya keris Si
Ginjei di Teluk Air Dingin, tapi berkat bantuan Pak Sulung keris dapat
ditemukan kembali.
Naskah B terdiri
dari 23 halaman yang terbagi dalam 2 bab. Bab 1 berjudul Oude Legenden Omtrent Toean Telanie, dan Bab 2 berjudul Oorsprong en Lotgevallen van het Tegenwoordig Vorstelijk Huis van
Djambi. Bab 1 menceritakan
Toean Telanai sebagai raja pertama yang berkuasa di Jambi. Dia sangat
mendambakan seorang putra, tetapi dambaannya ini sangat sulit. Akhirnya
lahirlah sang putra, dan kelahirannya diramalkan bahwa si anak akan membunuh
bapaknya. Oleh Toean Telanai anak ini dibuang ke laut dalam peti dengan secarik
surat yang menyatakan bahwa bayi tersebut adalah putra Raja Jambi. Bayi ini
ditemukan dan dipungut oleh Raja Siam dan dirawat hingga dewasa. Setelah dewasa
dia mencari orang tuanya ke Jambi, dan akhirnya ramalan menjadi kenyataan,
Toean Telanai dibunuh oleh anaknya. Kemudian negeri Jambi ditinggalkan
rakyatnya sehingga menjadi hutan belantara. Pada bab 2 kisah
dimulai dengan kedatangan Datuk Paduka Berhalo dari Turki dan menetap di Pulau
Berhala. Setelah berputra Datuk Paduka Ningsum, dia meninggal dunia.
Cucu Datuk Paduka Berhalo adalah Orang Kayo Hitam yang mengamuk di Mataram.
Selanjutnya diceritakan tentang pembagian wilayah, pimpinannya, dan pangkatnya
di Kerajaan Jambi. Kisah ini ditutup dengan berkuasanya Sultan Ratu Abdul
Rahman Nazaruddin.
Naskah C dibagi
dalam beberapa pasal yang diawali pasal yang menyatakan keturunan orang
Kerajaan Jambi. Pasal kedua dan seterusnya tentang sila-sila dari sebelah Pagaruyung
turunan sebelah perempuan; sila-sila keturunan dari sebelah Turki;
Raja Jambi pergi beristri di Palembang, nikah dengan anak Sunan Palembang;
cerita asal Tanah Pilih yaitu pedalaman; undang namanya hukum adat; Ratu Mas
Sri Kandi pindah di Ratih; yang pertama kupayan piagam tanah Pijoan Sungai
Manggis; salinan piagam utan Tanah Tanjung Pedalaman; salinan piagam Tanah
Simpang dan tanah Kumpeh Ilir serta undang-undang pecacahan, saya Ngebi Sutho
Dilogo Priyayi Raja Sari utan tanah yang tersebut ini; salinan piagam tanah
ulak Duren Hijau pegangan Ngebi Sutho Dilogo pembesar orang kerajaan; salinan
piagam utan tanah bangsa dalam Kumpeh pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo
Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Masumai
pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi
yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Masumai kedanauan Depati Tumpul
bersama Gendut Muara Sakala pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari
pembesar orang Kerajaan Jambi; salinan piagam utan tanah Sengketi Besar
pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi
yang dua belas; salinan piagam utan tanah Mersam pegangan Sutho Dilogo priyayi
Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam
Malapari Rambutan Manis pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar
dari orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Tantan
yaitu pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar dari orang Kerajaan
Jambi yang dua belas bangsa; kisah Raja Empat Puluh di Jambi asalnya dari
Keraton sebab mendurhaka kepada Sultan; Jambi berajakan Dewa Sekarabah namanya
keturunan dari megat-megatan; kisah Jambi berajakan Si Pahit Lidah, dan tatkala
mati Raja Si Pahit Lidah maka ini Jambi tidak beraja lagi; orang kerajaan yaitu
priyayi Tujuh Koto Sunan Pulau Johor; kisah Orang Kayo Hitam kepada tarikh 737
tahun; utan tanah Simpang namanya dan yaitu tanah bahagian namanya; dan peri
menyatakan Sultan Ahmad Zainuddin bin Sultan Sri Maharaja Batu.
Untuk memperkirakan
kapan cerita ini diedarkan, tentunya harus membandingkannya dengan peristiwa
sejarah yang tercatat. Peristiwa dan bukti-bukti sejarah Jambi diperkirakan
cerita tersebut dikembangkan sekitar tahun 1663 dengan dasar bahwa dari ketiga
naskah tersebut menyatakan bahwa Jambi sebelum Orang Kayo Hitam berkuasa secara
teratur mengirim upeti ke Mataram, yaitu setiap 2½ atau 3 tahun sekali. Naskah C menyebut upeti
tersebut sebagai pekasam pacat dan pekasam keluang ke Mataram. Dalam peristiwa
sejarah, Jambi memutuskan hubungan dengan Mataram, baik sebagai vasal maupun
ideologi politik sekitar tahun 1663. Peristiwa tersebut dipaparkan oleh de
Graaf (1987: 75) sebagai berikut: “Pada tanggal 17 Mei 1663 datanglah dari Jambi tanpa dipanggil
Kepala Kompeni Evert Michielsen ke Batavia atas permintaan dan sebagai utusan
Pangeran Ratu Jambi dengan membawa berita penting. Antara lain dia harus
mengemukakan kepada Pemerintah Batavia tentang pemisahan Sri Baginda (Jambi)
dari Istana Mataram (Daghregister).
Selain itu, muncul pula dua utusan Jambi, yaitu Kiai Demang Nayariadiwangsa,
putra Temenggung Suryanata, penasehat utama Temenggung, dan seorang lagi Kiai
Ngebei. Mereka berdua dengan hikmat bukan saja menyampaikan berita tentang raja
muda yang naik tahta, tetapi juga menyatakan hasrat untuk memisahkan diri dari
Mataram dan melakukan hubungan yang lebih dekat dengan Kompeni. Jadi raja yang
muda itu telah memegang tampuk pemerintahan, tetapi belum berpengalaman. Ia
sudah bertekad bulat untuk tidak lagi mengakui kekuasaan Mataram atau
kerajaannya, dan akan melakukan politik mendekati Kompeni”. Secara tegas
Pangeran Ratu menyatakan: “ingin berkuasa sebagai raja, bukan sebagai vazal,
kalau tidak … lebih baik turun saja”. Pernyataan ini dicatat dalam Daghregister, 5 April 1663. Selanjutnya,
Pangeran Ratu berkata dengan marah: “Para leluhur kami adalah raja-raja yang
berdaulat, mengapa kami tidak?” (de Graaf, 1987: 74). Mengenai prosesi
pengangkatan raja baru Haga (1929: 234) memaparkan sebagai berikut: “Pada hari yang telah ditentukan, lurah dari Jebus (satu di antara
Bangsa XII) diangkat sebagai Raja Jambi – ‘Raja Sehari’ – yang berlaku dari
pagi hari hingga pukul 5 sore. Pada menit-menit terakhir sultan baru
diperlihatkan pada orang-orang yang berkumpul. Kepala Suku Kedipan saat itu
menembakan meriam Si Jimat, sedangkan Kepala Suku Perban membunyikan gong
Sitimang Jambi sambil berseru: “Dengarkan semua rakyat Kerajaan Jambi yang
terdiri dari VII Koto, IX Koto, Jebus, Air Hitam, Petajin, Maro Sebo, Pucuk
Jambi, dan IX Lurah, inilah raja kita”. Penduduk yang berkumpul menyambutnya
dengan meriah. Kemudian keris pusaka kerajaan Si Ginjei disisipkan di ikat
pinggang raja baru oleh ‘Raja Sehari’ sambil mengucapkan: “Adik, engkau telah
diangkat menjadi raja. Seluruh tanah, air, dan rakyat yang hidup itu
dipercayakan dalam pemeliharaan dan lindunganmu”. Lalu “Raja Sehari” menyatakan
hormatnya pada Sultan, diikuti pula oleh para kepala anggota berbagai suku,
para menteri, dan mereka yang menghadiri pelantikan”.Legenda lisan tentang keris Si Ginjei menceritakan
bahwa keris tersebut hilang secara gaib seiring tewasnya Sultan Thaha Syaifuddin. Versi
lainnya menceritakan bahwa keris tersebut berada dalam perut ikan tapa besar yang bersembunyi di
Sungai Batanghari di muka rumah dinas Gubernur Jambi. Sebelum diserahkan
oleh Pangeran Prabu Negara ke Pemerintah Hindia Belanda, keris Si Ginjei
dikuasai Sultan Thaha Syaifuddin. Sultan Thaha Saifuddin merupakan Sultan Jambi
terakhir yang diakui masyarakat Jambi. Sultan Thaha Saifuddin gugur pada tanggal
26 April 1904 di Betung Berdarah, Kabupaten Tebo saat disergap tentara kolonial
Belanda.
Sejak bulan November 1904 Keris Si Ginjei menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris 10921 (E 263). Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional) melalui Gubermenten Besluit No. 7, 14 Agustus 1904. (Budi Prihatna).
Sumber: Budi Prihatna. Tesis. Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.