Rabu, 20 Maret 2019

SEDIKIT CATATAN MENGENAI PASUKAN BATANG TEBO 
DALAM AGRESI BELANDA KE II 1949

7 Januari 1949
Pembantu Letnan Hoessin Saad selaku KODM Muara Bungo bersama Pembantu Letnan A. Hadi selaku Kepala Seksi Security STD diperintahkan oleh Komandan STD Letnan Kolonel Abundjani berangkat ke setiap marga dalam Kewedanaan Muara Bungo untuk membentuk dan menyusun pertahankan rakyat. kedatangan kedua Pembantu Letnan ini disambut baik oleh rakyat dan pemuda dari marga-marga di Kecamatan Tanah Tumbuh dengan perhatian penuh. Pada saat inilah pertahanan rakyat dapat disusun dan tugas-tugas pertahanan tidak langsung dapat disebarkan sampai ke dusun-dusun dengan kemajuan yang diharapkan. Dalam arti republiken di Kecamatan Tanah Tumbuh ini sudah dapat dipercaya dan diinsyafi. 

17 Januari 1949
Pembantu Letnan Hoessin Saad menerima surat penetapan dari Komandan STD untuk menjadi Komandan Sub Sektor di Tanah Tumbuh yang meliputi 3 marga, yaitu Marga Tanah Sepenggal (Lubuk Landai), Marga Bilangan V (Tanah Tumbuh), dan Marga Jujuhan (Rantau Ikil). Atas usaha yang giat dari Pembantu Letnan Hoessin Saat, pada 20 Februari 1949 dapat dibentuk tenaga-tenaga pemuda menjadi Pasukan Gerilya dengan nama-nama berikut:
  • Pasukan Pemuda Marga Tanah Sepanggal bernama Pasukan Ular Bidai dengan Kepala Pasukan H.Ismael Fahroeddin;
  •  Pasukan Pemuda Bilangan V bernama Pasukan Beruang Api dengan Kepala Pasukan M. Hassan;
  • Pasukan Pemuda Jujuhan bernama Pasukan Harimau Daun dengan Kepala Pasukan Muchammad;
  • Pasukan Pemuda Pelayang bernama Pasukan Elang Berantai dengan Kepala Pasukan Abubakar. 
Barisan dari pasukan-pasukan tersebut di atas diambil dari dusun-dusun dalam marga masing-masing. Dengan terbentuknya pertahanan rakyat ini, pengertian gerilya dan pertahanan tidak langsung dipahami oleh seluruh lapisan rakyat. 

2 Juni 1949
Diresmikannya Staf Pertempuran Gerilya Kecamatan Tanah Tumbuh yang dihadiri Residen Bachsan (Ketua DPD), A. Sjarnoebi (anggota DPD), Inspektur Sabirin selaku Wakil Kepala Polisi Keresidenan Jambi, dan Letnan Suchaimi selaku Wakil Komandan STD. 
Susunan Staf Pertempuran Gerilya (SPG) sebagai berikut:
  1. Ketua: Camat A. Hafar (Kepala Pemerintah Kecamatan Tanah Tumbuh)
  2. Wakil Ketua: Pembantu Letnan Hoessin Saad (Komandan Sub Sektor II)
  3. Pembantu-pembantu: Pip II Sabirin (Kepala Polisi Tanah Tumbuh)
  4. Pembantu-pembantu: H. A. Rachman (DPR)
  5. Pembantu-pembantu:H. Wahid (Pasirah Bilangan V)
  6. Pembantu-pembantu: H. Sari (Pasirah Tanah Sepenggal)
  7. Pembantu-pembantu: A. Kahar (Pasirah Jujuhan)
  8. Pembantu-pembantu: A. Umar (Panitia Pelayang)
  9. Pembantu-pembantu: H. Hanafie (DPR Sungai Landai)
Staf inilah yang bertugas melaksanakan bahan makanan untuk Pasukan Gerilya TNI dan Pasukan-Pasukan Pemuda. 

1-2 Agustus 1949
Dengan pimpinan Pembantu Letnan Hoessin Saad berangkatlah Pasukan Gerilya TNI dan Pasukan Pemuda ke Muara Bungo dengan jumlah kurang lebih 60. Keberangkatan ke Muara Bungo ditujukan mengadakan penyerbuan ke basis tentara Belanda di Muara Bungo. Sampai di sekitar Muara Bungo tepat jam 02.00 pagi dan pasukan saat itu telah tersebar memblok kota, hanya menanti komando berupa letussan pistol yang harus dilakukan oleh Pembantu Letnan Hoessin Saad. Tanpa diketahui, rupanya tentara Belanda mengepung rombongan Pembantu Letnan Hoessin Saat, sehingga rombongan ini mengundurkan diri, tidak dapat melakukan tembakan sebagai komando. Seluruh pasukan kembali ke Teluk Pandak, kecuali rombongan Pembantu Letnan Hoessin Saad yang sangat sulit meloloskan diri untuk kembali ke pangkalan di Teluk Pandak. Sulitnya rombongan Pembantu Letnan Hoessin Saat kembali Teluk Pandak karena tentara Belanda sudah mengdadakan patroli di jalan-jalan kota. 
beransur-ansur rombongan yang dikomandoi Pembantu Letnan Hoessin Saat menuju Teluk Pandak melalui hutan dan sejak malam hingga siang hari angoota rombongan tidak mendapat makanan. Tepat jam 3 siang rombongan pasukan Pembantu Letnan Hoessin Saat sampai di Teluk Pandak, namun semua pasukan yang datang terdahulu sudah mundur ke tmpat pertahanan di Empelu.Setibanya di Empelu rupanya semua pasukan yang datang terlebih dahulu tidak pula mendapatkan makan karena tidak ada beras. Saat itu juga Pembantu Letnan Hoessin Saad berangkat menuju Tanah Tumbuh menemui SPG (Camat Hafar). Beruntung beras ada dan sore itu juga diangkatlah beras oleh rakyat ke Empelu.

3-4 Agustus 1949
Disebabkan pada malam pertama penyerbuan tidak berhasil, Pembantu Letnan Hoessin Saad memilih 4 orang TNI yang berani masuk Muara Bungo untuk mengadakan gerilya. Mereka adalah:
  1. Sersan Mayor Ibrahim Sjamsir
  2. Sersan Mayor Usman Suib
  3. Sersan Arif
  4. Kopral M. Noer
Pukul 03.00 dini hari mereka berada di tengah kota, yaitu di muka Muara Bungo Hotel. Tanpa disadari Sersan Mayor Ibrahim Sjamsir melakukan tembakan ke atas hotel karena informasi di sanalah kedudukan tentara Belanda. Rupanya sebelumnya di siang hari tentara Belanda pindah kedudukan, yaitu ke rumah penduduk dekat mesjid dan hotel didiami oleh Pasukan Polisi Belanda. Adanya letusan senjata Sersan Mayor Ibrahim Sjamsir, tentara Belanda melakukan tembakan pada pasukan gerilya. Pasukan gerilya yang berjumlah 5 orang lalu berpencar melarikan diri sambil melepaskan tembakan. Pada pukul 05.30 pagi kami (pasukan gerilya) selamat sampai di Teluk Pandak. 

13 Agustus 1949
Oleh karena beras tidak ada lagi, pukul 15.30 sore Pembantu Letnan Hoessin Saad berangkat menuju Tanah Tumbuh dan sebagai wakilnya untuk memimpin pasukan yang bertahan di Teluk Pandak diserahkan kepada Sersan Mayor Ramli Taher. Pada tanggal 13 Agustus 1949 pukul 05.30 pasukan gerilya dikepung tentara Belanda atas petujuk seorang penghianat yang tinggal di Teluk Pandak. Penggerebekan tentara Belanda ini dapat menangkap Sersan Mayor Ramli Taher beserta 13 orang anggota TNI lengkap dengan senjatanya. Ketiga belas TNI ini diikat dan diinterogasi untuk menunjukkan keberadaan Pembantu Letnan Hoessin Saad dan pasukan TNI lainnya. Sersan Mayor Ramli Taher beserta 13 orang TNI lainnya tidak bersedia menunjukkan keberadaan Pembantu Letnan Hoessin. Akhirnya mereka dibawa ke Muara Bungo oleh brigade tentara Belanda, dan 1 brigade tentara Belanda lainnya terus melakukan penggempuran ke Lubuk Landai. 
Kebetulan pada hari itu hari pasar, pasar yang ramai tersebut diblokir tentara Belanda dan semua rakyat dikumpulkan dengan pengawalan bersenjata lengkap. Rakyat yang berkumpul diberi penjelasan berupa hasutan bahwa kedatangan mereka untuk menjaga keamanan karenaTNI selalu meminta bahan makan pada rakyat, sedangkan tentara Belanda akan memberi kepada rakyat beras distribusi.Setelah selesai memberikan penjelasan, hari itu juga tentara Belanda terus ke Tanah Tumbuh, tetapi di Tanah Tumbuh tidak dapat mengumpulkan rakyat karena rakyat sudah menyingkir ke hutan bersama para kepala dusunnya. Oleh tentara Belanda, seluruh orang Tionghoa disuruh ke luar dari tokonya untuk menunjukkan keberadaan TNI, tetapi orang-orang Tionghoa tersebut tidak bersedia menunjukkan keberadaan TNI dengan alasan tidak tahu keberadaannya. 
Saat tentara Belanda meneruskan penyerbuannya ke Tanah Tumbuh, Pembantu Letnan Hoessin Saad keluar menuju Pasar Lubuk Landai. Dikumpulkannya rakyat yang mendengar penjelasan tentara Belanda tadi. Pembantu Letnan Hoessin Saad menyabot penjelasan tentara Belanda sebelumnya dengan mengatakan bahwa penjelasan Belanda tersebut semata-mata membujuk dan penjelasan tersebut tidak benar. Pembantu Letnan Hoessin Saad menegaskan bahwa barang siapa menerima beras retribusi Belanda akan ditangkap dan ditembak mati TNI. Selanjutnya Pembantu Letnan Hoessin Saad meminta kepada rakyat untuk melakukan tugas pertahanan tidak langsung, seperti yang telah diberikan cara-caranya. Penjelasan Pembantu Letnan Hoessin Saad dipatuhi rakyat. Tidak lama kemudian tentara Belanda yang hendak kembali ke Muara Bungo tiba, tetapi rakyat sudah lari semua. Tentara Belanda heran bahwa rakyat tidak ada lagi dan mereka katakan bahwa rakyat komunis semua. 

17 Agustus 1949
Pada hari ini dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat memperingati 4 tahun kemerdekaan Indonesia. Pengibaran bendera merah putih dan upacara dilakukan dalam semak-semak di sekitar Pasar TanahTumbuh. Hal ini dilakukan karena khawatir tentara Belanda akan datang tiba-tiba. Pengawalan dilakukan sekuat-kuatnya di front Teluk Pandak oleh Pembantu Letnan Hoessin Saad.

2 September 1949
Sejak padi Pasukan TNI yang dipimpin oleh Pembantu Letnan Hoessin Saad berjaga-jaga di semak-semak sepanjang jalan sekitar Pasar Lubuk Landai. Hal ini karena mendapat informasi dari salah seorang intelejen TNI di Muara Bungo bahwa tentara Belanda akan melakukan patroli sampai ke Tanah Tumbuh. Oleh karena ditunggu hingga jam 16.00 sore tentara Belanda tidak datang, Pembantu Letnan Hoessin Saad memerintahkan semua pasukan keluar dan datang ke Pasar Lubuh Landai untuk makan, sebab dari pagi hari tidak makan.
Tepat pukul 18.15 sore, setelah pasukan makan dan beristirahat, tiba-tiba tentara Belanda 1 brigade datang menggunakan sepeda. Oleh karena tentara Belanda bersepeda dan agak sulit cepat turun dari sepedanya dan suasana remang-remang senja, suatu kesempatan bagi TNI meloloskan diri. Tidak ada seorangpun yang dapat ditangkap tentara Belanda. Tentara Belanda mengetahui bahwa TNI banyak di sana dan karena sudah malam mereka tidak dapat meneruskan perjalannnya ke Tanah Tumbuh. Mereka bermalam di Kantor Pasirah Lubuk Landai. Oleh tentara Belanda semua laki-laki penduduk pasar dikumpulkan untuk dijadikan pagar hidup bagi mereka. Awalnya akan dilakukan penyerangan pada posisi tentara Belanda ini tetapi sangat sulit karena banyak rakyat yang menjadi pagar hidup. Apabila dilakukan penyerangan dengan penembakan, dipastikan banyak korban jiwa rakyat, maka penyerangan dibatalkan.

7 September 1949
Pembantu Letnan HOessin Saad berangkat ke Muara Jujuhan untuk meminjam senapan yang berada di tangan rakyat untuk dipakai TNI. Hal ini dilakukan karena senjata yang dimiliki TNI jatuh ke tangan Belanda saat penggerebekan tentara Belanda pada Pasukan TNI di Teluk Pandak tanggal 13 dan 14 Agustus 1949. Dengan patuh dan insyaf masyarakat Jujuhan menyerahkan senjatanya dan terkumpul 19 pucuk senapan. Berbekal persenjataan ini pada 11 September 1949 berangkatlah Pasukan TNI ke Teluk Pandak untuk mengatur pertahanan baru.

11 Oktober 1949 
Diterima surat dari PMC Belanda di Muara Bungo yang menjelaskan berlakunya gancatan senjata antara tentara TNI dan tentara Belanda. Dengan keragu-raguan dan keberanian, dikirimkan Sersan Arif dan Kopral Zaini sebagai kurir pengantar surat dari Pembantu Letnan Hoessin Saad mengenai cease fire.  Diperoleh jawaban menyenangkan dari PMC dan kedua orang TNI tidak mendapat gangguan dari pasukan Belanda saat kembali ke Teluk Pandak. Sersan Arif dan Kopral Zaini membawa surat balasan dari PMC Belanda yang isinya undangan mengadakan perundingan di Air Gemuruh.

12 Oktober 1949
Pada pukul 09.00 Letnan I Daud, Letnan II Suchaimi, dan Pembantu Letnan Hoessin Saad berangkat ke Air Gemuruh untuk mengadakan perundingan dengan tentara Belanda. Pada pukul 10.00 diadakan perundingan dengan PMC Belanda bernama Vrachter, perundingan untuk menghilangkan permusuhan dan daerah patroli. Perundingan berjalan baik dan pukul 15.30 pasukan TNI kembali ke Teluk Pandak dan PMC Vrachter bersama pasukannya kembali ke Muara Bungo. Kembalinya rombongan tim perunding ke Teluk Pandak disambut seluruh lapisan masyarakat yang juga datang dari Tanah Tumbuh dan Lubuk Landai.

6 November 1949
Residen Bachsan, A. Sjarnubi, dan Komisaris Polisi A. Bastari beserta beberapa staf TNI berangkat ke Muara Bungo untuk mengadakan perundingan dengan para pembesar Belanda di Muara Tembesi.

11 Desember 1949
Pada pukul 17.30 semua Pasukan TNI memasuki Kota Muara Bungo untuk menerima penyerahan dari Pasukan Tentara Belanda.


Catatan:
Naskah ini merupakan dokumen Museum Perjuangan Rakyat Jambi yang ditulis tangan tanpa diketahui penulisnya.



Selasa, 12 Maret 2019

Pasukan Pemuda Gerilya Muara Bungo

Pasukan Pemuda Gerilya Muara Bungo merupakan pasukan tempur beranggotakan 18 orang pemuda yang diketuai Muhd. Jusuf Mauti dibentuk pada 5 Juni 1949. Struktur Pasukan Pemuda Gerilya yang dikenal juga sebagai Barisan Pemuda Marga terdiri dari ketua Muhd. Jusuf Mauti; logistik Abun Sani; Persenjataan Juliar B. J. Atjik, Penasehat Jacub Mauti dan Amad Basjaruddin, dan 13 anggota lainnya. Walaupun merupakan pasukan tempur, Pasukan Pemuda Gerilya ini berada di luar struktur kemiliteran yang berlaku. 

Oleh Komandan Sektor 1012 Letnan Adnan dan Staf STD (Sub Territorium Djambi) Letnan Suhaimi memberi kuasa pada Pasukan Pemuda Gerilya Muara Bungo untuk mengumpulkan senjata api yang ada di tangan masyarakat. Hasilnya diperoleh 14 pucuk senjata api berupa 1 pucuk senapan panjang Belanda, 1 pucuk senapan mauser, 1 pucuk cis, 1 pucuk senapan bouman, 1 pucuk senapan kaliber 16, 6 pucuk kecepek, 1 pucuk pistol colt 42, 1 pucuk pistol/revolver, dan 1 pucuk takagun. Senjata api yang terkumpul selanjutnya diserahkan kepada Komandan Sektor 1012. 

Untuk meningkatkan kinerja pasukan gerilya ini, pada 15 Juni 1949 Letnan Muda Nursaga diperintahkan oleh Komandan Sektor 1012 STD, Letnan Muda Adnan, membantu memberikan bimbingan pada Pasukan Pemuda Gerilya tersebut.

Ilustrasi Pertempuran di Muara Pelepat
Dalam kiprahnya, Pasukan Pemuda Gerilya setidaknya terlibat dalam 4 kali pertempuran melawan pasukan Belanda, yaitu pertama kali bertempur di Muara Pelepat pada 8 Juni 1949. Seperti diketahui pada 5 Juli 1949 Pos Pabean Darurat di Muara Pelepat yang saat itu komandannya Lettu Ramli Amir dan wakilnya Lenan Muda Husin Talib diserang Belanda. Dalam serangan tersebut seorang anggota polisi bernama Mat Keriting gugur tertembak.

Pertempuran kedua terjadi di Dusun Bebeko saat pagi hari tanggal 23 Juli 1949. Pada pertempuran kedua ini jatuh korban seorang anggota Pasukan Pemuda Gerilya dan pada hari itu juga Muara Bungo diduduki tentara Belanda. Didudukinya Kota Muara Bungo tidak menyurutkan semangat Pasukan Pemuda Gerilya untuk menyerang kedudukan pasukan Belanda. Pada 24 Juli 1949 dan merupakan pertempuran ketiga, Pasukan Pemuda Gerilya menyerang kedudukan tentara Belanda di Kota Muara Bungo. Hasilnya, Pasukan Pemuda Gerilya berhasil menewaskan 3 orang tentara Belanda.

Pertempuran keempat atau terakhir terjadi di Tambang Cucur/Tanjung Agung. Pertempuran berlangsung dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore dengan korban 2 orang tentara Belanda tewas. Mengenai peristiwa pertempuran ini Mukti Nasruddin dalam buku Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949 menuliskan:

".... Pada jam 07.30 di minggu pagi pertama bulan September 1949 tentara Belanda memasuki pasar Tanjung Agung, dan terjadilah tembaj-menembak selama lebih kurang setengah jam. Seorang tentara Belanda terluka dan di pihak kita (Indonesia) tidak ada seorang pun terluka. Saat tentara Belanda bergerak mundur kembali ke Muara Bungo, di Tambang Cucur mereka dihadang Pasukan Batang Bungo yang berasal dari Barisan Pemuda Marga di bawah komando Letnan Muda Umar, dan kontak senjata tidak terelakkan. Setelah baku tambak lebih kurang 1 jam Pasukan Batang Bungo terpaksa mengundurkan diri karena datangnya bantuan berupa pesawat penyerang Belanda yang terbang rendah. Pertempuran yang berlangsung satu jam tersebut menewaskan 2 orang tentara Belanda dan 2 lainnya terluka, sedangkan di pihak kita Prada Jum'at tertawan....".

Pada tanggal 28 Desember 1949 Pasukan Pemuda Gerilya memasuki Kota Muara Bungo dan 2 hari kemudian Pasukan Pemuda Gerilya resmi dibubarkan melalui Surat Keputusan dari Sub Territorium Djambi.


Sumber:
Arsip Koleksi Museum Perjuangan Rakyat Jambi.
A. Mukti Nasruddin. Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949. Jambi. Tanpa Tahun.

Selasa, 06 Maret 2018

COUPON PENUKARAN

     Pasca kemerdekaan (1945-1949), apalagi adanya pengakuan de facto atas kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatra oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 14 Oktober 1946, hubungan dagang antara Jambi dengan Singapura, terutama karet mulai berjalan dengan lancar. Rakyat yang semenjak penjajahan Jepang tidak sungguh-sungguh mengola kebun karet, semenjak pengakuan kedaulatan tersebut mulai bergairah kembali mengolah kebun karetnya.

     Melihat hubungan dagang antara Jambi dan Singapura mulai bergerak, Residen Jambi, Rd. Inu Kertapati mengambil kesepakatan dengan beberapa orang yang dipandang mampu agar dibentuk sebuah badan dagang yang dapat melaksanakan ekspor, terutama karet dan impor barang-barang kebutuhan rakyat, seperti sandang dan pangan. Sehubungan dengan hal tersebut didirikan Perekonomian Rakyat Djambi (PERAD) yang berkantor di bekas kantor dagang Belanda, yaitu Borneo Sumatera Handelsmaatschappij.

     Pada tahun 1947 daerah Jambi sudah ramai dan aman untuk berdagang. Mata uang yang dipakai sebagai alat transaksi pada waktu itu adalah US Dollar. Dengan hasil perdagangan inilah Founds Kemerdekaan Indonesia (FKS) Jambi berhasil mengumpulkan dana cukup besar dan dengan dana tersebut Pemerintah Republik Indonesia Daerah Jambi dapat menjalankan roda pemerintahan.

     Aktivitas Perdagangan yang mulai lancar tersebut tidak bertahan lama, karena terganggu oleh agresi militer yang dilakukan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 (Agresi Militer I). Akibat agresi militer ini distribusi mata uang ke wilayah pedalaman Republik Indonesia menjadi terganggu sehingga terjadi kelangkaan Oeang Republik Indonesia (ORI).

     Untuk mengatasi persoalan kekurangan uang tunai di daerah-daerah, Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengizinkan Pemerintah Daerah mencetak uang sendiri. Pada tanggal 26 Agustus 1947 Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintahan No.19/1947. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur wewenang Pemerintah Daerah untuk menerbitkan tanda pembayaran sementara yang sah dan hanya berlaku pada daerah setempat. Mata uang yang dibuat di daerah-daerah tersebut disebut sebagai Uang Republik Indonesia Daerah atau URIDA.

     URIDA pertama di Sumatera adalah URIPS atau Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera. Emisi pertama tertanggal 11 April 1947, berdasarkan Maklumat Gubernur Sumatera, Mr.Tengku Moehammad Hasan, No.92/KO tertanggal 8 April 1947. Akibat agresi militer yang terus dilakukan Belanda, percetakan URIPS yang semula ada di Pematang Siantar dipindahkan ke Bukit Tinggi dan selanjutnya dipindahkan lagi ke Rantau Ikil, Kabupaten Bungo Tebo, Jambi. 

     Untuk wilayah Keresidenan Jambi, dalam upaya mengatasi kelangkaan alat pembayaran yang sah, dan juga menjaga kelancaran jual beli barang dan pedagang kecil, Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Jambi memberi kuasa penuh kepada Pemerintah Keresidenan untuk mencetak uang pecahan kecil berupa Coupon Penukaran dengan nilai Rp.0,50,-,Rp.1,-,Rp.2,50,-,Rp.5,-,Rp.10,-, dan Rp.25,-.

     URIDA yang diterbitkan di Jambi ini bahannya dari kertas kopi, tinta stensil dan dengan warna tunggal (satu warna), seperti hitam, merah atau biru. Uang cetakan Jambi ini diterima oleh Rakyat Jambi dan dipakai untuk kegiatan jual beli. Melihat dari stabilisasi harga menunjukan tidak ada inflasi yang berarti pada waktu dan tidak ada pemalsuan.

     Kupon itu pada mulanya harus ditandatangani langsung oleh Residen Jambi, Rd. Inu Kertapati di sebelah kanan dan tanda tangan salah seorang anggota komisi keuangan yang ditunjuk di sebelah kiri. Oleh karena banyaknya kupon yang harus ditandatangani langsung oleh Rd. Inu Kertapati, diambil kebijaksanaan bahwa untuk tandatangan Residen cukup dengan stempel tanda tangan saja, tetapi tandatangan pendampingnya harus ditandatangani langsung oleh salah seorang anggota komisi keuangan yang ditunjuk pada kupon dengan harga tertentu.

     Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer Kedua dan berhasil menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Sebagian pemimpin RI mereka tangkap dan asingkan ke Pulau Bangka, tetapi perjuangan dan diplomasi berjalan terus. Belanda kemudian mendukung terbentuknya negara-negara berwilayah provinsi atau keresidenan untuk bergabung ke dalam Badan Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst Voor Federal Oeverleg (BFO).

     Secara umum pada waktu itu Indonesia terbagi menjadi dua wilayah, yaitu:

  1. Daerah Republik, yaitu wilayah merdeka yang dikuasai Pemerintah Republik Indonesia.
  2. Daerah Pendudukan Belanda (Pemerintah NICA dan BFO), yaitu wilayah yang diduduki kembali oleh Tentara Belanda dengan membangun negara-negara boneka.

     Di wilayah kekuasaan Republik Indonesia berlaku Oeang Republik Indonesia (ORI), dan berbagai macam uang kertas darurat yang dikenal dengan URIDA tersebut. Pada wilayah pendudukan Belanda beredar mata uang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Pemerintah Sipil Hindia Belanda.

     Agar penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia tetap berjalan, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatra Barat.

    Pada tanggal 13 Desember 1948 dikeluarkan peraturan pemerintah No.76/1948 yang menetapkan jangka waktu berlakunya URIDA, dan akan diatur kembalo oleh Menteri Keuangan lebih lanjut. Untuk mengatasi terbatasnya volume ORI, terutama di daerah pedalaman, pimpinan PDRI, MR. Lukman Hakim pada pemerintah Daerah Keresidenan Jambi yang berisi petunjuk bagi pencetakan ORI untuk daerah Jambi dan lainnya (Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949, 1990: 8). Sementara itu, pencetakan URIDA Jambi (Coupon Penukaran) tetap berlangsung dan pencetakannya disesuaikan dengan jumlah uang ORI dan ORIPS yang beredar sebagai pendukungnya.

    Walaupun bahan, desain dan teknik pencetakan URIDA masih sangat sederhana, perannya penting bagi perjuangan membela dan mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, keberadaan URIDA juga merupakan isyarat tentang kesanggupan berdesentralisasi dan berotonomi dalam rangka kesatuan Republik Indonesia, justru dalam situasi dan kondisi yang sulit.

     Bagi rakyat Jambi sendiri keberadaan Coupon Penukaran sangatlah berarti karena dapat digunakan sebagai alat pembayaran perdagangan karet, kopra dan hasil bumi lainnya. Bahkan, berkat stabilitas perdagangan yang cukup menguntungkan Rakyat Jambi mampu membeli senjata dan membantu pendanaan delegasi Indonesia ke PBB. 























Minggu, 25 Februari 2018

PEREKONOMIAN JAMBI TAHUN 1945-1950

Temuan arkeologis di sepanjang aliran Sungai Batanghari menunjukkan bahwa sejak abad 9 terjadi hubungan dagang antara Jambi dengan daerah-daerah lain, baik lokal maupun internasional. Hal ini dimungkinkan karena Jambi (saat itu berupa Kerajaan Melayu Jambi) terletak di jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Selaian sebagai pelabuhan transit bagi barang-barang yang masuk ke Jambi, juga merupakan pelabuhan pengekspor karet terbesar di Sumatra Tengah.

Pertanian dan perkebunan merupakan faktor yang sangat penting dalam perekonomian Jambi. Selain kopi dan teh, karet menjadi andalan ekspor Jambi sejak awal abad 19. Ketika harga karet cukup tinggi berimbas dengan meningkatnya penghasilan rakyat Jambi, terutama petani karet. Masa tersebut merupakan kejayaan dan kemakmuran atau disebut juga sebagai "hujan emas". Selain harga karet yang cukup tinggi, harga hasil bumi lainnya, seperti kopi, kopra, teh, lada, dan minyak juga meningkat di pasaran ekspor. Hubungan dagang antara Jambi dengan Singapura, Malaka, dan Cina semakin baik. Jambi menjual hasil perkebunannya kepada pedagang Cina yang merupakan pedagang perantara dengan Singapura. Sebaliknya, pedagang Cina membayar dengan bahan kebutuhan sehari-hari, seperti garam, tekstil, dan lain-lain. 

Terjadinya kelebihan produksi, terutama karet mengakibatkan turunnya harga di pasaran yang pada puncaknya di tahun 1930 saat terjadi depresi ekonomi. Harga karet yang semula puluhan rupiah per 100 kg merosot menjadi Rp. 2,- per 100 kg. Penurunan harga ini tentu saja menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Kesengsaraan ini dipertegas lagi dengan dikeluarkannya kebijakan Pemerintah Hindia Belanda membatasi produksi perkebunan, khususnya karet dan teh. Selain itu, pajak ekspor yang tinggi juga dikenakan pada rakyat. 

Di tahun 1937 depresi ekonomi beransur-ansur sirna. Seiring dengan meningkatnya harg karet, kenaikan harga karet membuat petani pemilik kebun mendapatan keuntungan dari sistem lisensi ekspor, yaitu sistem kupon. Kupon ini diberikan kepada petani dan pemilik kebun karet dengan cuma-cuma, sedangkan para pedagang dan eksportir harus membeli kupon ini. Tanpa kupon mereka tidak dapat mengekspor karet. Masa tersebut dikenal dengan sebutan "zaman kupon". Dengan cara menjual kupon kepada pedagang, petani mendapatkan uangnya. Banyak atau sedikitnya kupon yang diterima oleh petani pemilik tergantung pada luas kebun karet yang dimiliki, dan hasil dari kebun itu sendiri. Dengan meningkatnya harga karet menjadi Rp. 40,- per 100 kg rakyat kembali dapat menikmati kemakmuran. 

Ketika Jepang menduduki Jambi  di tanggal 10 Maret 1942, Pemerintah Jepang memberlakukan sistem ekonomi untuk kepentingan perang. Semua harta milik orang Belanda yang ada di daerah Jambi disita oleh Jepang, termasuk perkebunan teh, kopi, dan perusahaan-perusahaan lain yang banyak menghasilkan uang, seperti tambang minyak. 

Pemerintah Jepang menggunakan sistem monopoli terhadap penentuan harga barang yang mereka butuhkan. Dampak dari sistem ini sangat menyengsarakan rakyat yang tadinya terlena dengan kemakmuran. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di berbagai tempat. Bahan pokok, terutama beras, garam, gula, tekstil, dan minyak menjadi bahan yang sangat langka. Selain itu, rakyat juga diharuskan kerja paksa untuk kepentingan Pemerintah Jepang.

Pemerintah Jepang yang berkuasa saat itu selain membentuk lembaga perekonomian yang bernama Keizabu, juga membentuk badan-badan lain, seperti Mitsubishi Kaisya yang bergerak mengumpulkan hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan; Tozar Noji yang bergerak di bidang pertenunan; Namora yang bergerak di bidang pertambangan dan industri; dan Kawasaki Zidhozu yang bergerak di bidang pengangkutan.

Kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya dan diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 membawa kecerahan bagi perekonomian rakyat Jambi. Kontak dagang antara Jambi dan Singapura kembali terjadi secara barter. Kapal laut kembali memasuki pelabuhan-pelabuhan di Jambi. Para pedagang membawa kebutuhan rakyat dan keluar membawa karet serta hasil bumi lainnya.

Dengan lancarnya hubungan dagang antara Jambi dan 'Singapura, dibentuklah sebuah badan dagang yang bertugas melaksanakan ekspor karet dengan nama Perekonomian Rakyat Djambi (PERAD). Residen Jambi, Rd. Inu Kertapati menyerahkan kapal roda lambung "Johana" yang dulunya digunakan oleh Residen Belanda kepada PERAD guna mengangkut barang-barang kebutuhan rakyat dari daerah uluan (pedalaman) ke Kota Jambi, dan sebaliknya.

Parisipasi rakyat untuk mengumpulkan dana guna membela kemerdekaan juga terjadi di Jambi. Para petani dan pedagang karet yang menikmati hasil kontak dagang dengan Singapura dan Malaka mampu mengumpulkan dana. Dana tersebut diserahkan kepada Gubernur Sumatra, Mr. T. M. Hasan guna membantu melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan.

Munculnya Belanda yang membonceng tentara Sekutu ke Jambi di bulan Desember 1945 kembali membuat situasi ekonomi Jambi mengalami guncangan. Perdagangan antara Jambi dan Singapura diblokade Belanda di pantai Jambi. Demikian pula hubungan antar daerah juga mengalami kesulitan.

Pada awal kemerdekaan Pemerintah Indonesia masih memberlakukan tiga jenis mata uang, karena pemerintah menyadari belum mampu mengeluarkan uang sendiri. Ketiga jenis mata uang tersebut adalah De Javasche Bank, Uang Pemerintah Hindia Belanda, dan Uang Pendudukan Jepang.

Oleh karena standar uang yang ada tidak lagi menunjang jual beli di pasaran, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1946 dan menerbitkan mata uang emisi pertama uang kertas ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Pada saat yang sama uang Jepang yang berlaku di Indonesia disesuaikan dengan ORI, yaitu Rp. 50,-  uang Jepang disamakan dengan Rp. 1,0 uang ORI, di luar Jawa dan Sumatra Rp. 100,- uang Jepang sama dengan Rp. 1,- uang ORI.

Sulitnya komunikasi dan transportasi dengan daerah lain mengakibatkan ORI hanya beredar sampai Lampung, sementara rakyat sangat membutuhkan uang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Pada kenyataannya Uang ORI yang dikeluarkan Pemerintah RI bernilai tinggi (Rp. 25,-), sedangkan barang-barang kebutuhan sehari-hari masih rendah harganya.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, pemerintah mengeluarkan uang URIPS (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatra) yang berlaku untuk Provinsi Sumatra. Uang ini dikeluarkan pada 26 Agustus 1947 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19/1947. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1947 tertanggal 26 Agustus 1947 mengatur wewenang Pemerintah Daerah untuk menerbitkan tanda pembayaran sementara sah yang berlaku.


Kamis, 15 Februari 2018

MESIN CETAK URIPS

Mesin cetak URIPS yang berasal dari Desa Rantau Ikil, Kecamatan Jujuhan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi ketika ditemukan keadaannya tidak lengkap dan banyak yang rusak. Mesin cetak ini berbentuk bujur sangkar dengan panjang 290 cm, lebar 135 cm, dan tinggi 83 cm, terbuat dari besi dengan warna hitam. Saat mesin ini difungsikan (1949) kelengkapan mesin cetak ini terdiri dari:

1. 5 (lima) peti huruf, ukuran peti 40 x 15, 5x11 cm.
2. Motor Chevrolet, model 1943, No.4015838, yang digunakan untuk pembangkit listrik untuk menjalankan mesin cetak tersebut.
3. Mesin Charge merk Norman dari 1,75 PK, model 1940.
4. Homoligh 4 tact.
5. Alat pemotong kertas.
6. 235 liter tinta hitam.

Mesin cetak uang URIPS ini adalah sebagian dari mesin Percetakan Negara di Jambi yang didatangkan dari Singapura, dan dibeli dari Soi Liong dengan dana yang berasal dari "Fonds Kemerdekaan Indonesia". Saat itu Jambi sudah mengadakan hubungan dengan Singapura sehingga kesulitan-kesulitan yang dihadapi daerah-daerah di Sumatra, khususnya Jambi dapat diminalisir. Hubungan Jambi dengan Singapura di bidang perdagangan, yaitu Jambi menghasilkan karet dan bensin untuk kapal Udara Republik Indonesia, sedangkan dari Singapura dapat diperoleh senjata dan barang-barang keperluan lainnya.

Itulah sebabnya Jambi yang mempunyai kesempatan perdagangan dengan luar negeri menjadikan daerah Jambi agak makmur di antara daerah lain di Indonesia ketika ini. Oleh karena dekatnya hubungan dengan Singapura, Belanda pun menyelundukan orang-orangnya ke Jambi dan memasukkan uang URIPS Rp 25,- bergambar kapal terbang yang dan terkenal dengan Uang Das.

Pada masa Agresi Militer Belanda I tanggal 3 Juli 1947, di Jambi tidak terjadi kontak senjata secara frontal dengan pihak Belanda. Insiden bersenjata hanya terjadi didaerah Bayung Lencir, yaitu perbatasan Jambi dan Palembang dan di Tanjung Jabung.
      
Keadaan ekonomi di daerah Jambi saat Agresi Belanda tidaklah menguntungkan. Blokade yang dilakukan kapal patroli Belanda di daerah pantai menyulitkan para pedagang Jambi menjual hasil karetnya di Singapura. Akibatnya perekonomian rakyat merosot. Keuangan pemerintah kacau balau, sedangkan untuk dana perang gerilya banyak dibutuhkan biaya. Ditambah pula Belanda pun mengeluarkan mata uangnya, antara lain De Javasche Bank Rp.5, tahun 1946. 

Percetakan uang URIPS di Muaro Tebo 

Berdasarkan Instruksi Menteri Keuangan PDRI, Mr. Lukman Hakim, tanggal 18 Maret 1949 No. 273/PDRI Pemerintah Militer Jambi yang berada di Muara Tebo dipercayakan untuk mencetak uang URIPS. Dalam hal ini tugas dibebankan kepada Kepala Polisi A.Bastari sebagai sekretaris Dewan Pertahanan Daerah Jambi. Tempat mencetak uang URIPS berada di kantor Pekerjaan Umum,.Seksi Muaro Tebo, dekat lapangan olah raga di kompleks perkantoran kecamatan. Lokasi ini dekat jalan raya menuju pasar, sekitar 35 meter dari Makam Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin.

Untuk memasang dan menyetel mesin cetak dipercayakan kepada Kapten Udara/AURI Saryono dibantu Staf AURI antara lain Jahidin dan Muas. Oleh karena yang tersedia baru mesin cetaknya, perlu ditambahkan mesin penggerak dan lain-lain, seperti mesin mobil sedan kepunyaan Kapten Hasyim dan mesin mobil power.

Setelah keseluruhan perangkat dipasang dan dibersihkan, dimulailah mengoperasikan mesin cetak tersebut. Disebabkan klise uang URIPS tidak ada, dicoba membuat klise uang dari kayu bulian, dan untuk warna uang dari getah jernang (warna merah). Hasilnya tentu tidak bagus karena klise mudah pecah. Akhirnya didatangkan klise uang URIPS dari Percetakan Bukittinggi yang dibuat dari perunggu. Mengenai cara memperoleh klise uang ini diperoleh beberapa informasi, yaitu: 

  1. Klise uang URIPS dibawa oleh Ir.Indratjaya yaitu, Mentri Pekerjaan Umum atas nama Pemerintah PDRI beserta rombongan saat berkunjung ke Muaro Tebo.
  2. Dalam buku Monografi Daerah Jambi, halaman 27 dijelaskan bahwa klise untuk mencetak uang URIPS dibawa oleh Laksamana Udara Ruslan ke Muaro Tebo, diiringi instruksi Menteri Keuangan No.360/KU/PDRI, Tanggal 4-4 1949, antara lain menyatakan bahwa uang tersebut berlaku untuk seluruh Sumatera.
  3. Dalam Dokumen Perjuangan Jambi 1945-1950, halaman 44 dijelaskan bahwa utusan PDRI datang membawa klise dari perunggu, selanjutnya di halaman 57 dijelaskan bahwa pada tanggal 1 April 1949 Menteri Keuangan Mr. Lukman Hakim membawa klise dari perunggu. 
Akhirnya seluruh perlengkapan pencetakan uang URIPS terpenuhi, yaitu kertas dan tinta dari Jambi, sedangkan klise uang yang dibuat dari perunggu dari Bukittinggi. Klise uang URIPS dari Bukittinggi tidak saja digunakan oleh percetakan Jambi, tetapi juga di daerah lain, seperti URIST (Uang Republik Indonesia Sumatra Timur).


Pada bulan Juli 1949 saat Muaro Tebo diduduki Belanda, mesin ini ditempatkan di atas sebuah mobil dalam keadaan terpasang dan siap difungsikan sewaktu-waktu, serta dapat bergerak (mobil) untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena Muaro Tebo tidak aman lagi, akhirnya percetakan uang URIPS ini dipindahkan ke Pulau Pakan (Muaro Bungo).


Percetakan Uang URIPS di Pulau Pakan

Pulau Pakan merupakan suatu desa yang terletak di Barat Muaro Bungo (5 km dari Muaro Bungo) termasuk kedalam Marga Batin III Ilir. Tempat yang digunakan untuk mencetak uang URIPS adalah rumah Alm. Maani. Percetakan uang URIPS di Pulau Pakan ini tidak berlangsung lama, kurang lebih 2 bulan, dan di bulan Juni percetakan uang URIPS kembali pindah ke Rantau Ikil. 


Percetakan Uang URIPS di Rantau Ikil

Rantau Ikil terletak di tepi Sungai Jujuhan yang pada masa perang gerilya menjadi ibukota Keresidenan Jambi di bawah pemerintahan Residen Bachsan. Tempat yang digunakan untuk mencetak yang tersebut adalah sebuah Sekolah Rakyat 3 tahun (Vervolkschool) yang terletak di ujung Desa Rantau Ikil, di tepi jalan menuju Kampung Sekapur Sirih. Dikarenakan situasi pada waktu itu tidak aman dengan serangan-serangan yang dilakukan Belanda, pencetakan uang URIPS hanya berlangsung selama 2 bulan. Pada bulan Agustus 1949 Pemerintah Keresidenan dipindahkan ke Tanjung Belit yang letaknya di barat daya, sekitar 30 km dari Rantau Ikil. Seluruh sisa uang yang dapat diselamatkan dibawa ke Tanjung Belit, mesin cetak URIPS sendiri ditinggalkan di Rantau Ikil, dan mesin penggerak beserta mesin listrik dipindahkan ke Jambi. Atas kebijakan Gubernur Kepala Daerah TK I, Maschun Sofwan, mesin cetak ini dijadikan koleksi Museum Negeri Provinsi Jambi "Si Ginjei". 













Selasa, 13 Februari 2018

Memo Thio Thiam Tjong

LAPORAN KUNJUNGAN DI JAMBI 18-20 JANUARI 1949


Kamis, 18 Januari 1949. jam 1 siang kami berangkat menggunakan pesawat terbang ke Palembang bersama ahli bahasa Kwamn Chao Min yang bekerja di kantor saya. Alasannya membawanya karena sebelum perang dia tinggal di Jambi dan mengenal betul daerah tersebut. 

Beberapa hari sebelumnya saya bertemu Tuan Van der Velde. Ia bercerita bahwa setiap hari ada 2 hingga 3 pesawat terbang ke Jambi yang mengangkut barang-barang milik B.P.M (Bataafse Petroleum Maatschappij). Di bandar udara Palembang kami mendengar bahwa sekarang pesawat ke Jambi hanya ada apabila diperlukan, tidak setiap hari. Untung hari itu ada pesawat militer yang ke Jambi, dan kami dapat ikut serta. 


Dekat Jambi kami melihat nyala api dan gumpalan asap pekat yang berasal dari sumur-sumur minyak yang terbakar. Kemudian kami mendengar dari Tuan Van der Velde bahwa kebakaran tersebut tidak gawat dan segera dapat dipadamkan. Jam 5 sore kami mendarat di bandar udara Jambi yang sama sekali tidak rusak. Melalui telegram kami meminta transport ke kota. Tuan Van der Velde dan Kontrolir Naardig datang menyambut kami di salah satu dari dua mobil penumpang baru yang belum lama berselang sampai di Jambi. Kendaraan yang lain disediakan untuk Residen Indonesia. Jalan ke kota jelek, tetapi aman sekali. 

Untuk memudahkan hubungan dengan masyarakat Cina, kami ditempatkan dalam sebuah asrama untuk staf Firma Singapore Hok Tong. setelah diberitahukan, ketua dan anggota pengurus Chung Hua segera memberi salam pada kami, tetapi sudah jam 18.30 dan jam 19.30 jam malam mulai diberlakukan. Kami berjanji untuk esok hari, jam 8 pagi mengadakan pertemuan dengan pengurus Chung Hua Tsung Hui dan orang-orang Cina terkemuka di Jambi. Pertemuan diadakan di gedung sekolah Cina dan dihadiri kurang lebih 50 orang. Mereka menyampaikan keinginan dan keperluan pada saya. 


Besarnya Musibah 

Musibah yang menimpa Kota Jambi telah begitu luas terjadi. Percobaan pendaratan tentara Belanda pada tanggal 29 Desember 1948 pagi jam 9.00 mengalami kegagalan karena awan tebal. Pesawat-pesawat harus terbang keliling di atas kota menyebarkan pamflet, dan kembali lagi kepangkalan. Percobaan pada hari yang sama diulangi pada jam 14.30, dan berhasil. Ketika pendaratan pasukan para dan pesawat transport selesai, sudah terlalu sore untuk merebut kota. Pasukan tinggal di luar kota. malam itu jam 19.00 perampokan dan pembakaran dimulai.


Sehari sesudah perebutan Jogja oleh Belanda, Pejabat Republik di Jambi memerintahkan para pemegang karet untuk mengumpulkan persediaan mereka dalam gudang-gudang bea cukai dipelabuhan. Pada malam tanggal 29 Desember 1949, gudang yang berisi 2.500 ton karet dibakar, percetakan Cina yang yang digunakan oleh orang-orang Republik untuk mencetak uang diledakan. Tidak lama kemudian pusat kampung Cina menjadi mangsa lidah api. Dua pertiga dari jumlah rumah-rumah Cina dan toko Cina terbakar sampai ludes. Kerugian material yang diderita orang-orang Cina kurang lebih 15 Juta Dolla Singapore (straits dollars).

Syukur korban Manusia dapat disebut sedikit, hanya 7 orang terbunuh karena peluru nyasar. Dengan adanya pembakaran-pembakaran dan penjarahan, juga TNI membawa sebagian besar persediaan beras yang ada sewaktu mundur.

Penerimaan Bantuan

Chung Hua Tsung Hui Palembang segera mengirimkan 15 Ton beras dan 681 pon susu bubuk KLIM, serta uang sebanyak f.30.000,-. Pada hari kedatangan saya di Jambi datang kapal dari Singapore dengan membawa bahan bantuan yang terdiri dari 1.273 peti berisi beras dan ikan asin, bahan makanan lainnya), dan sejumlah pakaian. Federasi Chung Hua Tsung Hui seluruh Indonesia (Indonesia Chung Hua Tsung Hui Lien Ho Pan Sze Tau) mengirim uang sebesar f.55.000,- dan 28.800 yard tekstil. 

Konsulat Cina di Pelembang memberi bantuan atas nama Pemerintah Cina sebesar f.20.000,-. Memang agak memalukan Pemerintah, kecuali pembagian pakaian tua dari badan sosial, tidak berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaan para korban aksi militer ini.

Urusan ekonomi menyediakan 21 ton beras dengan harga 75 sen per kilo. Saya membicarakan hal ini dengan tuan Van Der Velde yang sepaham dengan saya, bahwa bantuan dengan korban termasuk tugas atasan, namun dia tidak menerima instruksi. Dia mau bertanggung jawab mengembalikan uang yang dibayar Chung Hua Tsung Hui untuk 21 ton beras, dan membebaskan biaya masuk bahan bantuan yang baru datang dari Singapura.

Ternyata, sejak aksi politik pertama tahun 1947, Chung Hua Tsung Hui melakukan pekerjaan yang sangat baik, yaitu dengan memberikan pertolongan pertama kepada korban. Mereka dapat lebih cepat dari para pegawai instansi dengan aksi bantuan dan memberikan pertolongan yang diperlukan segera. Otoritas setempat, khususnya urusan sosial seharusnya bekerja sama dengan organisasi ini atau yang sejenis, dan inisiatif swasta harus digalakan.

Keadaan Ekonomi

Walau kerugian materi yang diderita orang-orang Cina di Jambi sangat besar, namun mereka tidak putus asa. Mereka tampak sibuk kembali diatas reruntuhan rumah-rumah dan toko-toko untuk membangun kembali los-los dan sebagainya dari berbagai bahan. Pasar-pasar buka kembali dan penuh dengan penjual, sebagian besar petani sayuran Cina.

Uang NICA yang beredar masih sangat sedikit. Suatu suntikan uang (dana) yang cukup besar diperlukan untuk menjalankan kehidupan ekonomi kembali. Agar selekas mungkin kehidupan ekonomi kembali, perdagangan perlu hidup dengan cepat di daerah yang dulu begitu kaya. Mengenai ekspor karet, sejak dahulu sebagian besar berada dalam tangan pedagang Cina. Mereka membeli hasil di pedalaman dari penduduk Indonesia dan diangkut ke Jambi untuk dilakukan pemilahan atau remilling.

Juga sangat diharapkan, jika memungkinkan para pedagang karet yang sekarang ada dan para pengusaha pabrik penggilingan karet kembali melakukan usaha mereka selekas mungkin. Dengan demikian penduduk (para produsen) dapat menjual hasil mereka. Demi kepentingan penduduk, para pedagang Cina diperkenankan menentukan yang diperlukan dan dibuka kemungkinan ekspor karet ke Palembang untuk menghasilkan devisa.

Tersedianya alat pembayaran setempat yang sah hanya dapat dilakukan sementara oleh penguasa. Bagi para pedagang Jambi yang mempunyai uang di bank-bank di tempat lain (misalnya Palembang) diadakan peraturan, yang mana kas negara dapat menerima uang dari Palembang. Berarti ada perbaikan penting.

Pembangunan kembali yang cepat dari bagian terbesar Pecinan yang rusak memerlukan kredit pembangunan dengan kondisi pembayaran yang mudah. Algemene Volkscrediet Bank (Bank umum perkreditan rakyat) yang memberikan sejenis kredit untuk pembangunan pasar-pasar yang terbakar (Pecinan) di pelbagai tempat di Kalimantan Barat (Mandar, Montrado, dsb) juga perlu digerakan di sini. (Terjemahan).










Senin, 13 Februari 2017

Skripsi Mahasiswa Berkenaan Dengan Sejarah Jambi


Di bawah ini dipaparkan sejumlah skripsi ditulis mahasiswa yang menjadikan Museum Perjuangan Rakyat Jambi sebagai sumber data penelitian sejarah.

1. Ahmad Apandi. Perjuangan Rakyat Kerinci Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda II di Sungai Penuh 1949. Jambi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Batanghari. 2009. 

2. Amir Syarifuddin. Pendidikan Di Jambi Pada Masa Pendudukan Jepang. Jambi: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Batanghari.  2010/2011.

3. Fajar Dwi Astuti. Peranan H. M. Kamil Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Daerah Jambi. Jambi: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Batanghari. 2009. 

4. Febbrizal. Elit Jambi di Masa Revolusi Fisik. Padang: Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang. 2015.

5. Nunik Pratiwi. Sejarah Pembentukan Provinsi Jambi. Jambi: Fakultas Adab-Sastra dan Kebudayaan Islam, Institut Agama Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi. 2013.